Kabupaten
Tanah Datar di Sumatera Barat tengah menghelat promosi pariwisata yang obyeknya
relative bervariasi, mencakup atraksi budaya, peninggalan sejarah, produk
budaya, ragam kuliner, dan panorama alam. Namun, berkunjung ke Tanah Datar
tidak lengkap tanpa menelusuri Nagari Tuo Pariangan.
Daerah
yang terletak di kaki Gunung Marapi tersebut berdasarkan tambo atau cerita
rakyat dipercaya luas sebagai asal-usul orang Minangkabau. Dalam tambo yang
tersimpan di nagari itu, Wali Nagari Tuo Pariangan April Khatib Saidi meyakini
asal-usul orang Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain.
Iskandar
Zulkarnain adalah seorang penguasa dengan wilayah kekuasaan yang membentang
dari belahan bumi bagian barat hingga timur yang hidup pada ribuan tahun lalu.
Mitos
tentang kehebatan Iskandar ini membuat banyak penguasa dalam berbagai
kebudayaan mengaitkan asal-usulnya dengan kisah tersebut. Dalam versi tambo
Minang, April menyebutkan awalnya Sultan Iskandar memiliki tiga anak, yakni
Sultan Suri Maharajo Dirajo, Sultan Maharajo Alif, dan Sultan Maharajo Depang
yang merantau ke negeri seberang.
Di
tengah jalan ketiganya berpisah, dan tinggal Sultan Suri Maharajo Dirajo
bersama pengikutnya yang berlayar hingga tiba di kawasan Gunung Marapi. Goa-goa
tempat tinggal yang berupa ruangan akhirnya disebut “Paruangan” hingga kemudian
menjadi “Nagari Pariangan”.
Nagari riang
Adapun
nama Pariangan disebutkan berasal dari keriangan yang didapat tatkala penduduk
nagari berhasil menjerat rusa untuk dimakan. Keriangan itu juga masih tampak
ketika menyusuri wilayah nagari yang memiliki mata air panas alami itu.
Tempat
pemandian berupa pancuran air panas didirikan di dekat Masjid Ishlah yang
berarsitektur tradisional. Tempat mandi dengan pemisahan ruang bagi laki-laki
dan perempuan itu memiliki dua pancuran untuk air panas dan air dingin.
Sensasi
panas dan dinginnya tidak seberapa serta tidak sampai menyakiti kulit. Kucuran
air yang sampai di kulit cenderung terasa hangat. Sejumlah warga menggunakan
lokasi pemandian untuk keperluan sehari-hari. Sekalipun ada juga pengunjung
yang penasaran mencoba.
“Ada
juga pengunjung dari Pekanbaru, Jakarta, dan daerah lain di Sumbar yang datang
mandi di sini,” kata Rahmat Hidayat,
warga setempat.
Namun,
pengunjung juga mesti bersiap dengan pemandangan yang cenderung mengganggu di
sekitar lokasi pemandian itu. Pasalnya, tumpukan sampah domestik yang
didominasi pembungkus berbahan plastik banyak terlihat di sekitar aliran air
sungai yang berbatu.
Nagari
Tuo Pariangan bisa dicapai sekitar 2,5 jam perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Jika hendak menggunakan kendaraan umum, silakan memilih bus atau mobil biro
perjalanan rute Padang-Batusangkar.
Sekitar
15 kilometer sebelum tiba di Batusangkar terdapat pintu masuk dengan atap
bagonjong yang jadi penanda wilayah Nagari Tuo Pariangan. Kita akan disambut
dengan hamparan sawah tak lama sesudah memasuki gerbang itu.
Nagari
itu terdiri atas empat jorong, yakni Jorong Pariangan, Padangpanjang, Sikaladi,
dan Guguak. Luasnya 2.749 hektar dengan 6.012 penduduk yang mayoritas petani.
Dengan sejumlah obyek wisata sejarah, atraksi budaya, dan alam, Nagari Tuo
Pariangan tengah gencar berupaya sebagai lokasi kunjungan utama di Tanah Datar.
Untuk
keperluan itu, tiga buah rumah gadang dibuka secara gratis sebagai penginapan.
Setiap rumah gadang bisa menampung sedikitnya 40 orang.
Sekitar
1.500 pengunjung dari sejumlah negara datang ke nagari itu setiap bulannya.
“Baru saja kami menerima 120 mahasiswa asal Malaysia untuk studi tentang
sejarah nagari ini selama 40 hari,” kata April.
Atraksi
budaya yang khas ialah kebiasaan ziarah dan berzikir yang dilakukan penduduk
nagari sesuai ibadah puasa di bulan Syawal. Tradisi setelah enam hari puasa
yang dimulai sejak tanggal 2 Syawal itu dilakukan setiap hari Kamis.
“Ditetapkan hari Kamis karena menurut keyakinan orang di Nagari Tuo Pariangan,
pada saat itulah arwah para pendahulu bisa berkesempatan datang ke
tengah-tengah kita,” kata April.
Salah
satu yang terus dipromosikan sebagai obyek wisata unggulan adalah atraksi Pacu
Jawi. Tontonan berupa sepasang sapi yang dipacu joki setiap usai panen dan saat
mulai menanam padi itu telah masyhur hingga mancanegara.
Jejak budaya
Beragam
obyek lain seperti delapan buah batu sandar yang terdapat di dalam kompleks Kuburan
Panjang Datuak Tantejo Gurhano adalah peninggalan sejarah yang mengagumkan.
Batu-batu sandar itu menjadi tempat duduk tetua adat masing-masing delapan suku
untuk bermusyawarah.
Karena
itulah dikenal juga sebagai Medan Nan Bapaneh atau tempat bermusyawarah. Tokoh
adat Nagari Tuo Pariangan, Aswardi Sutan Tumangguang, mengatakan, delapan suku
yang sejak awal menghuni Nagari Tuo Pariangan adalah Dalimo, Sikumbang, Koto,
Dalimo Panjang, Dalimo Singkek, Pisang, Melayu, dan Piliang.
“Saat
ini suku Sikumbang sudah tidak di sini karena pindah ke daerah lain,” kata
Aswardi.
Di
sini terdapat kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano yang berukuran 25,5 meter
x 7 meter. Panjang Datuak tokoh pembuat Balairung Sari Tabek di Nagari Tabek,
Kecamatan Pariangan. Balairung itu merupakan tempat bermusyawarah utama yang
terbuat dari kayu dan atap ijuk dengan waktu pembuatan sekitar 450 tahun lalu.
Adapun
kompleks Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano yang kini sudah ditetapkan
sebagai situs cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Pubakala (BP3)
Batusangkar berada di atas lahas seluas 629 meter persegi. Hampir mirip dengan
berbagai kisah di beberapa lokasi kuburan kuno di Indonesia, warga setempat
percaya hasil pengukuran panjang kuburan pada waktu berbeda tidak akan pernah
sama.
Nagari
Tuo Pariangan juga memiliki peninggalan berupa rumah-rumah gadang. Terdapat 35
unit rumah gadang di nagari itu. Namun, tujuh unit rumah gadang rusak berat dan
10 unit lainnya rusak ringan.
Sejumlah
rumah gadang dengan rangkiang atau lumbung padi di pelataran itu tampak kusam
dengan kayu lapuk. Bagian atap bagonjong masih tampak utuh. Namun, di bagian
jenjang atau tangga menuju bagian dalam rumah sudah tampak ditumbuhi tanaman
liar.
“Rumah-rumah
gadang itu rusak karena faktor umur bangunan yang rata-rata sudah lebih dari
200 tahun. Juga karena sudah tidak ditinggali lagi oleh kaum sebagai pemilik,”
kata Aswardi.
Ia
menambahkan, sebagian anggota kaum yang memiliki rumah gadang sudah memiliki
rumah sendiri atau merantau ke luar kawasan nagari itu. Hal itu menyebabkan
rumah-rumah gadang tidak lagi terawat.
“Apalagi
biaya untuk memperbaiki rumah gadang relatif mahal,” ujar Aswardi.
Menurut
dia, perbaikan tidak bisa serta-merta dilakukan. Pasalnya, harus ada
kesepakatan di dalam kaum dengan persetujuan ninik mamak atau tokoh adat dalam
kaum tersebut.
Dalam
kultur Minangkabau, rumah gadang yang dimiliki kaum tertentu merupakan salah
satu identitas kebudayaan dalam sistem sosial kemasyarakatan yang dikuasai
secara matrilineal. Rumah gadang merupakan bentuk penegasan atas eksistensi
suatu kaum tertentu di Minangkabau.
Kepala
Seksi Promosi Wisata Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga
Kabupaten Tanah Datar Efrison mengatakan, porsi pembangunan pariwisata untuk
nagari itu memang belum termasuk dalam prioritas program selama sepuluh tahun
terakhir. Adapun obyek-obyek wisata yang telah masuk dalam prioritas program
adalah Istano Basa Pagaruyung, Air Terjun Lembah Anai, Tanjung Mutiara di Danau
Singkarak, panorama alam Tabek Patah, pemandangan Puncak Pato, dan situs Batu
Angkek-Angkek.
Bukti sejarah
Menurut
Koordinator Kelompok Kerja Dokumentasi dan Publikasi Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar Teguh Hidayat, hingga sejauh ini belum
ada bukti otentik yang memastikan Nagari Tuo Pariangan sebagai lokasi asal-usul
orang Minangkabau.
Ia
menambahkan, hal tersebut tidak lepas dari belum adanya bukti ilmiah yang
terkait dengan tambo mengenai keyakinan bahwa Nagari Pariangan merupakan lokasi
asal-usul orang Minang.
Kadang
kala yang sulit di Minang ini mencari korelasi dan relevansi antara tambo dan
bukti-bukti sejarah yang sesungguhnya. Saatnya ada penelitian ilmiah tentang
topic tersebut. *** [INGKI RINALDI]
Sumber:
- KOMPAS edisi Selasa, 23 Oktober 2012 hal. 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar