Perlu
waktu lama untuk menemukan kembali koleksi buku terbitan tahun 1933 tentang
sejarah kota Semarang. Membuka buku itu, saya merasa seperti napak tilas ke
kawasan Kota Lama, yang pada masa lalu sebagian orang menyebutnya Outstadt.
Arsitek
UNDIP Murtomo B Adji dalam Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman:
Arsitektur Kolonial Kota Lama Semarang (2008) menyebutkan luas kawasan itu
terpisah dari blok di sekitarnya, seperti “kota” tersendiri sehingga ada yang
menyebut Little Netherland.
Hingga
saat ini masyarakat masih bisa melihat sisa kebesaran kawasan itu. Sejumlah
bangunan kuno yang pada masa Hindia Belanda difungsikan sebagai perkantoran
masih berdiri kokoh. Ada yang terpelihara dengan baik semisal Gereja Immanuel
(Gereja Blenduk), termasuk yang direfungsikan seperti kantor Bank Mandiri dan
PT. Asuransi Jiwasraya.
Karena
itu, saya mengapresiasi penyelenggaraan Festival Kota Lama, baru-baru ini (SM,
05/10/12), yang bertujuan antara lain melestarikan sekaligus memberdayakan
kawasan itu. Festival juga terkait dengan penyambutan Visit Jateng 2013.
Upaya
itu perlu kita acungi jempol mengingat ada pihak swasta berpartisipasi. Artikel
saya di harian ini edisi 20 November 2007 juga menyebutkan, “Kota Lama harus
kita manfaatkan untuk tempat penyelenggaraan festival, seni budaya, atau tempat
lomba masakan dan jajanan khas Semarang.”
Membaca
buku sejarah kota ini dan pemberitaan Festival Kota Lama, membuat saya merasa
perlu mengingatkan arti penting mengonservasi kawasan itu, yang memiliki nilai
kesejarahan tinggi dan keunikan, berbeda dari landmark kota besar lain di
Indonesia.
Tidak
bisa dipungkiri kehadiran Kota Lama tidak terlepas dari sejarah pembentukan
kota ini. Gedung-gedung di Kota Lama dibangun di satu kompleks atau blok yang
memang didesain untuk sentra perdagangan bangsa Belanda, China, dan pribumi. Di
antara gedung-gedung itu, ada Hotel Jansen, yang kini sudah rata dengan tanah.
Kota Perdagangan
Perjalanan
sejarah Semarang sebagaimana ditulis Liem Thian Joe (Riwayat Semarang, 2004)
menyebutkan sejak abad 18 – 19 kota ini sudah menjadi kota perdagangan. Ia juga
menulis pada 1896 kota ini sudah memiliki sarana dan prasaran perhubungan
angkutan laut, serta informasi dan komunikasi.
Tentu
fasilitas atau perangkat yang tersedia sangat minim dan sederhana, seperti
sepeda dan gerobak untuk mengangkut hasil bumi gudang ke pelabuhan. Tahun 1863,
Semarang bahkan sudah menerbitkan lembaran iklan Semarangsch Nieuws en
Advertentieblad, media untuk mempromosikan perdagangan.
Dalam
perkembangannya, lembaran iklan itu berganti format menjadi surat kabar, dengan
nama de Locomotief.
Kawasan
Kota Lama dibelah oleh jalan besar, Heerenstraat (kini Jalan Letjen Soeprapto),
dan seorang tokoh Belanda Sneevliet menamai itu Benedenstat (Kota Bawah).
Penamaan itu untuk membedakan penyebutan daerah Candi sebagai Kota Baru atau
Kota Atas.
Heerenstraat
merupakan embrio pusat perdagangan, dengan perusahaan yang menonjol antara lain
Mirandolle Voute & Co (bisnis utama gula) dan Kian Gwan (kongsi milik Oei
Tjie Sien, pengekspor hasil bumi).
Pada
masanya perusahaan itu sangat terkenal dan tahun 1905 mulai menjalankan
usahanya dari perkantoran di Kota Lama.
Pemangku
kebijakan juga perlu menata lalu lintas di kawasan itu, termasuk lalu lintas ke
tempat rekreasi lain di kota ini. Penataan arus lalu lintas sekaligus untuk
menciptakan kenyamanan dan menjaga gedung-gedung tua itu dari getaran yang
ditimbulkan kendaraan berat yang melintas di dekatnya.
Selain
itu, perlu membuat brosur terkait Kota Lama, yang bisa dititipkan di rumah
makan, hotel, stasiun, terminal, bandara, dan pelabuhan, yang menjadi akses
masuk wisatawan.
Upaya
itu untuk melengkapi promosi melalui internet. Pemkot harus lebih serius
membenahi Kota Lama supaya bisa dipasarkan melalui kegiatan lokal, regional,
ataupun internasional. *** [R. Haryanto, warga Semarang]
Sumber:
- SUARA MERDEKA edisi Seni, 22 Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar