Rek, ayo rek! Mlaku-mlaku nang Tunjungan.
Semula kawasan Tunjungan dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
menghubungkan Benedenstad (Kota
Bawah) dengan Bovenstad (Kota Atas).
Kota Bawah merupakan pusat regional yang berada di Surabaya Utara yang menjadi
awal mula sejarah perkembangan Kota Surabaya. Pusat pemerintahan ketika itu
masih berada di utara Jembatan Merah, sehingga segala pusat kegiatan masyarakat
termasuk di dalamnya perdagangan dan jasa serta permukiman berada di sekitar
Jembatan Merah, Ampel dan Kembang Jepun. Kota Bawah ini sering disebut sebagai
kota tuanya Surabaya (Oude stad).
Sementara
itu, mulai awal tahun 1900-an perkembangan kota mulai mengarah ke selatan dan
timur. Kawasan lain di luar Benedenstad
termasuk kawasan Atas (Bovenstad).
Kemunculan kawasan baru tersebut dirancang bebas banjir, seperti kawasan Darmo.
Sebagai kawasan penghubung itulah, Tunjungan berkembang menjadi pusat bisnis baru akibat kejenuhan pusat komersial yang berada di sekitar Jembatan Merah kala itu. Akibatnya, di sepanjang Jalan Tunjungan bermunculan bangunan komersial yang cukup berkembang pada waktu itu dari tahun 1910 hingga 1935. Maka tak mengherankan, bila Anda sedang berjalan-jalan di kawasan Tunjungan banyak dijumpai bangunan peninggalan kolonial Belanda. Salah satunya adalah Toko Lalwani. Toko Lalwani terletak di Jalan Tunjungan No. 30 Kelurahan Genteng, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi toko ini berada di sebelah utara Bank of India Indonesia, atau depan Optik Seis.
Dulu,
Toko Lalwani ini merupakan salah satu toko tekstil berkelas yang menjual pernak
pernik ala India dan Timur Tengah, seperti sari,
sisha, korden, dan kain, untuk pria
dan wanita. Harganya pada waktu itu tergolong mahal karena semuanya barang
impor. Memang, toko ini dulunya untuk melayani kebutuhan orang-orang Eropa atau
borjuis lainnya yang berada di Surabaya. Selain itu, Toko Lalwani ini dulu juga
terkenal dalam bidang penjahitan (tailor)
khusus pria, yang menerima pesanan dengan gaya yang terbaru yang dikerjakan
oleh ahli penjahit yang dimiliki oleh Toko Lalwani ini.
Dari
awal berdiri sekitar tahun 1930-an, Toko Lalwani memiliki ciri khas tersendiri
yang ditandai dengan plakat nama berwarna merah di tembok bagian atas.
Tertulis: “Toko Lalwani Issardas &
Sons, Tundjungan 30”. Namun, sejak tahun 1990-an toko ini sudah tidak
menunjukkan aktivitas seperti di masa jayanya, dan bahkan mulai ditinggalkan
penghuninya. Sampai sekarang ini, Toko Lalwani terlihat mangkrak, dan menjadi
rumah walet, yang masuk melalui lubang kecil di antara celah cendela kaca yang
berada di atas. Sedangkan, bagian dinding bawahnya terlihat kumuh karena banyak
coretan-coretan pada dinding dengan menggunakan cat semprot.
Berdasarkan
Surat Keputusan Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/004/402.1.04/1998 tentang
Penetapan Benda Cagar Budaya di Wilayah Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II
Surabaya, gedung bercat putih ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya
dengan nomor urut 100. *** [09/01/16]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar