Perijinan
dari Kantor Camat Rejotangan untuk melakukan Quick Survey Pemanfaatan Dana Desa di wilayah adminstratif
Kecamatan Rejotangan belum bisa turun lantaran Camat Rejotangan sedang ada meeting di Kabupaten Tulungagung.
Informasi yang didapat, Camat akan mengantor setelah pulang dari Kabupaten
Tulungagung menjelang Dhuhur.
Di
sela-sela penantian ini, saya mencoba mengunjungi sebuah situs yang tidak
begitu jauh dari Kantor Camat Rejotangan yang berjarak sekitar 5 kilometer.
Situs tersebut dikenal dengan sebutan Situs Aryo Jeding. Penamaan situs ini
didasarkan pada nama desa di mana situs tersebut diketemukan. Situs ini
terletak di Dusun Aryo Blitar, Desa Aryo Jeding, Kecamatan Rejotangan,
Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Lokasi situs ini agak masuk ke
permukiman warga, sehingga situs ini tidak terlihat dari jalan raya
Tulungagung-Blitar. Tepatnya berada di belakang bangunan peternakan ayam, atau
sekitar 400 meter utara Balai Desa Aryo Jeding.
Menurut informasi dari seorang juru pelihara situs yang bernama Warno, diperoleh sebuah ceritera bahwa Situs Aryo Jeding merupakan petilasan Ki Ageng Nilo Suwarno, seorang adipati dari Kadipaten Blitar di bawah otoritas Kerajaan Majapahit. Petilasan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat, diyakini sebagai tempat berdirinya Kadipaten Blitar. Hal ini dilandasi pada penemuan sejumlah umpak yang merupakan bekas tempat menaruh soko guru pendopo Kadipaten Blitar. Sedangkan, di sebelah utaranya banyak ditemukan sumur-sumur kuno. Sumur-sumur kuno tersebut menandakan bahwa di daerah ini dulunya sudah membentuk sebuah permukiman yang cukup ramai.
Oleh
karena itu, Situs Aryo Jeding memiliki berbagai sebutan, mulai dari Candi Nilo
Suwarno hingga Sitihinggil. Sebutan Candi Nilo Suwarno ini didasarkan penemuan
beberapa kala, yoni, arca-arca dan beberapa komponen candi lainnya di
reruntuhan situs ini. Sedangkan, sebutan Sitihinggil
diperkirakan karena ditemukannya bekas bangunan Kadipaten Blitar di daerah
sekitar situs ini. Sitihinggil sebagai tempat yang tinggi, pada umumnya
menggambarkan bahwa di daerah tersebut berdiri sebuah kerajaan besar maupun
kecil. Kebetulan Kadipaten Blitar pada waktu merepresentasikan sebagai kerajaan
kecil. Kadipaten ini kala itu dipimpin oleh seorang adipati bernama Ki Ageng
Nilo Suwarno (Adipati I) dengan patihnya bernama Ki Ageng Sengguruh.
Setelah ada intrik yang dimainkan oleh Patih Ki Ageng Sengguruh, Kadipaten Blitar mengalami makar halus yang pada akhirnya menempatkan Ki Ageng Sengguruh sebagai Adipati II sepeninggal Nilo Suwarno. Lalu, posisi adipati akhirnya bisa direbut kembali oleh Joko Kandung yang tak lain adalah putranya Ki Ageng Nilo Suwarno. Namun, Joko Kandung tidak meneruskan kekuasaannya melainkan meninggalkan kadipaten dan tidak pernah kembali lagi ke Aryo Jeding.
Ada
yang memperkirakan sejak itu, lokasi Kadipaten Blitar dipindahkan ke daerah
yang sekarang dikenal dengan Blitar. Seiring pemekaran wilayah, daerah Aryo
Jeding diberikan kepada Tulungagung. Dulu, menurut Warno, Aryo Jeding ini merupakan
ibu kota Kadipaten Blitar. Hal ini dimulai pada abad ke-19 ketika itu Kabupaten
Blitar menyumbangkan daerah Ngunut dan sekitarnya kepada Kabupaten Tulungagung
yang masih baru berdiri. Untuk mengetahui kisah Ki Ageng Nilo Suwarno dan Ki
Ageng Sengguruh, bisa di baca di sini.
Petilasan
ini banyak dikunjungi orang dari berbagai daerah dengan tujuan berbeda-beda.
Pada masa G-30S/PKI, petilasan ini pernah dihancurkan warga. Kemudian pada
tahun 1982 berhasil diketemukan lagi, dan sekarang telah ditetapkan sebagai
cagar budaya yang ada di Tulungagung. ***
[250116]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar