The Story of Indonesian Heritage

Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Harapan Kanjeng Raden Adipati (KRA) Cokronagoro I (Bupati pertama Purworejo) untuk membangun sarana ibadah bagi ummat Islam yang ada di Kota Purworejo, rupanya dapat segera terwujud, karena sarana bahan bangunan untuk pembuatan Masjid Agung sudah tersedia di wilayah alam Purworejo sendiri.
Untuk kebetuhan kayu, sudah tersedia pohon jati yang cukup banyak di Desa Bragolan, Onder Districht Purwodadi kala itu. Adapun yang menjadi Wedana Purwodadi adalah Raden Tumenggung Prawironagoro yang tiada lain adalah adik kandung Bupati KRA. Cokronagoro I.


Untuk umpak (landasan) dari tiang utama (sokoguru) masjid tersedia batu-batu persegi bekas yoni (pasangan lingga). Lingga dan yoni ini banyak ditemukan berserakan di sepanjang tepi Sungai Bogowonto, sehingga banyak pula yang dijadikan umpak rumah maupun masjid di daerah Purworejo, karena sudah tidak dipakai untuk pemujaan lagi.
Batu-batu fondasi banyak didapat dari sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya. Batu kapur (gamping) dapat diperoleh dari Bukit Menoreh, serta batu bata merah dapat dengan mudah disediakan oleh masyarakat Purworejo.


Berbekal dari bahan-bahan yang tersedia tersebut, KRA Cokronagoro I segera memerintahkan kepada Ki Patih Cokrojoyo, yaitu Pepatih Dalem Kadipaten Purworejo untuk memulai membangun Masjid Agung dengan tiada henti-hentinya memohon kepada Allah SWT agar terlaksana dengan sebaik-baiknya, dan dapat menjadi sarana ibadah yang berharga bagi rakyat Kadipaten Purworejo sampai kelak kemudian hari. Konon, arsitek masjid ini adalah Khasan Muhammad Shuufi, seorang arsitek kenamaan pada masa itu.
Di atas tanah wakaf yang luasnya hampir 9.000 meter persegi, Masjid Agung Purworejo dibangun. Tercatat dalam Babad Kedhung Kebo, pembangunan Masjid Agung Purworejo dengan sengkalan “Guna Sad Giri Bumi” (Guna = 3, Sad = 6, Giri = 7, Bumi = 1). Berdasarkan kaidah bahasa Jawa, pembacaan sengkalan tersebut dimulai dari belakang. Jadi 3671 dibaca dari belakang menjadi 1763. Tahun Alip 1763 Jawa tersebut bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 M.
Arsitektur bangunan Masjid Agung Purworejo meniru bentuk Masjid Agung Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, di mana sewaktu masih mengabdi menjadi Mantri Gladag di Kraton Kasunanan dengan nama Raden Ngabehi Resodiwiryo, sering melakukan ibadah di Masjid Agung Surakarta.
Bentuk bangunan tersebut, dalam Kitab Kawruh Kalang (Buku Ilmu Bangunan Jawa) disebut model Tajug Lawakan Lambang Teplok di mana tiang utamanya menopang langsung atap (brunjungan). Sedangkan, bangunan serambi menggunakan atap limasan yang disebut Limasan Trajumas.
Pada awalnya, ukuran Masjid Agung Purworejo adalah 21 m x 21 m, sedangkan serambi berukuran 8 m x 21 m. Tinggi brunjungan 23 m.
Tiang utama (sokoguru) ada 4 buah dengan ukuran 54 cm x 54 cm, dan tinggi 15 m, yang terbuat dari kayu jati Pendowo, dan berdiri di atas umpak yoni. Sedangkan, tiang pananggap (pembantu) berjumlah 12 buah ukuran 70 cm x 70 cm terbuat dari batu bata.
Bentuk atap brunjungan terdiri atas 3 tingkat, yaitu atap 1 (terbawah) disebut atap panitih, melambangkan syariah. Atap 2 disebut atap pananggap, melambangkan thoriqoh. Atap 3 disebut atap brunjung, melambangkan hakikat.
Puncak yang menjadi bagian tertinggi dari Masjid Agung Purworejo, dinamakan mustoko, yang melambangkan ma’rifat. Mustoko ini terbuat dari perunggu dengan hiasan Daun Kadaka Hutan yang dari jauh tampak seperti angsa yang menari.
Mihrab Masjid Agung dibuat kemudian, jauh setelah bangunan masjid selesai, yaitu tahun 1326 Hijriyah atau 1904 Masehi, dengan sengkalan berbentuk gambar hiasan pada lengkungan mihrab yang berbunyi “Pang Pinajang Srikaya Sagodhonge” (Pang, cabang = 6, Pinajang, dihias = 2, Srikaya, buah Srikaya = 3, dan Godhong, daun = 1).  Jika dibalik, membacanya menjadi 1326 (Hijriyah).
Pada masa pemerintahan Bupati Letkol H. Supantho (1975 – 1985), pada tahun 1976 – 1977 dilakukan renovasi serambi. Serambi yang berukuran 8 m x 21 m menjadi dua kali lipatnya, yaitu 16 m x 21 m. Atap Limasan Trajumas dirubah menjadi bentuk kubah, serta tampak depan yang jauh berbeda dari bentuk semula.
Selanjutnya pada pemerintahan Bupati Drs. H. Goernito (1990 – 2000) dan Sekwildanya dijabat oleh Drs. H. Soetarto Rachmat, yaitu pada tahun 1993 diadakan renovasi besar-besaran. Bangunan serambi diperluas lagi menjadi dua kali luas sebelumnya, kemudian atap kubah diganti dengan dua buah atap limasan. Tampak muka tetap seperti semula hanya dimajukan. Di halaman masjid, sebelah tenggara dibangun sebuah menara berbentuk tugu dengan dasar segi lima, melambangkan Pancasila. Tingginya sekitar 25 m.
Pada masa Kepala Kantor Departemen Agama dijabat oleh Drs. H. Mochammad Soeripto, dan Ketua Takmir Masjid Agung adalah K.H. Drs. M. Ghufron Faqih, dengan persetujuan para ‘alim ulama, Masjid Agung Purworejo diberi nama, yaitu Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo. Masjid ini berlokasi di Jalan Mayjen Sutoyo No. 81  Sindurjan, Purworejo.***


Kepustakaan:
  • HR Oteng Suherman, 2011, Kisah Masjid Agung Purworejo dengan Bedug Raksasanya, Purworej: PD Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Purworejo.
  • Paper Tugas Akhir di Jurusan Arsitektur FT UNDIP, dengan nama file: RIA_TAURINA_D.pdf.
  
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami