The Story of Indonesian Heritage

Asal Mula Sumber Garam Di Kuwu

Tersebutlah keadaan anak gadis petani yang tinggal di pondok dalam hutan yang pernah disinggahi Aji Saka ketika baru saja mendarat di Pulau Jawa. Sepeninggal Aji Saka, gadis tadi menjadi hamil akibat memangku pisau milik tamunya itu.
Mungkin tangkai pisau yang hilang itulah yang kemudian menjelma menjadi kandungan dalam perut gadis tersebut.
Setelah genap usia kandungan gadis tersebut maka lahirlah anaknya. Tetapi yang mengherankan anak yang lahir dari rahim gadis anak petani tadi tidak berujud bayi seperti halnya anak manusia pada umumnya melainkan berujud seekor anak ular.
Sebenarnya keluarga petani itu merasa malu mempunyai cucu seekor ular itu tetapi apa boleh buat, mengkin sudah suratan takdirnya harus begitu, demikian piker mereka. Untunglah mereka tinggal di tengah hutan, jauh dari keramaian manusia sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui hal tersebut.
Ular itu dipelihara baik-baik oleh keluarga petani dan dinamakan Baruklinting. Setelah dewasa berpikirlah ia mengapa di pondok yang mereka tempati itu penghuninya hanya terdiri dari kakek, nenek, ibunya, dan dia sendiri. Lalu di manakah ayahnya dan bagaimana ujud ayahnya itu, apakah berbentuk manusia atau ular? Sampai berapa lama Baruklinting belum berhasil mengetahui rahasia keluarganya itu. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya tentang masalah tersebut. Dari ibunya itu didapatlah keterangan tentang dirinya dan asal mulanya ia lahir, yaitu sejak Aji Saka bertamu di pondoknya. Dan diceriterakan pula bahwa ayahnya, Si Aji Saka kini telah menjadi raja besar yang memerintah negeri Medangkamulan bergelar Prabu Jaka. Dari keterangan ibunya itu tahulah kini bahwa ia sebenarnya adalah anak seorang raja. Maka bermaksudlah ia akan menemui ayahnya. Ketika ia mengemukakan keinginannya tersebut kepada seisi pondok mula-mula tidak disetujui. Mereka khawatir kalau Prabu Jaka tidak mengakui Baruklinting sebagai anaknya. Tetapi Baruklinting terus mendesak sehingga akhirnya mereka tidak melarang lagi. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Baruklinting menuju istana Prabu Jaka. Sampai di pintu gerbang istana, Baruklinting ditanya oleh penjaga. Kepada penjaga itu diterangkan bahwa sesungguhnya ia adalah putera Prabu Jaka dan maksud kedatangannya itu adalah untuk menemui ayahnya yang selama ini belum pernah ia lihat.
Penjaga itu lalu menghadap Prabu Jaka untuk melaporkan kedatangan Baruklinting. Sang Prabu tatkala menerima laporan dari penjaga lalu teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu yaitu ketika hilangnya tangkai pisau dari pangkauan anak gadis pemilik pondok yang ditumpanginya. Dalam hatinya Sang Prabu telah menduga bahwa ular yang datang itu adalah anaknya, tetapi beliau merasa malu untuk mengakui ular itu sebagai anaknya. Kemudian dititahkan kepada penjaga agar Baruklinting dibawa menghadap. Penjaga itu lalu menyembah, dan sesudah it uterus mundur. Dan tidak berapa lama kemudian penjaga itu telah menghadap lagi bersama Baruklinting. Sang Prabu Jaka menanyai Baruklinting, siapa ia sebenarnya serta apa maksud kedatangannya. Maka sembah Baruklinting, “Ampun Tuanku, menurut penuturan ibu hamba, yang kini tinggal di sebuah pondok dalah hutan hamba adalah putera paduka. Menurut ceriteranya dulu beberapa tahun yang lalu paduka pernah singgah di pondok tempat tinggal ibuku. Kemudian paduka meminjamkan pisau kepada ibuku dengan pesan agar pisau itu jangan sampai diletakkan di pangkuannya. Rupanya ibuku lupa akan pesan paduka itu karena dengan tidak disengaja pisau itu sehabis dipakai lalu diletakkan di pangkuannya. Sesudah itu terjadi suatu keajaiban, yaitu pisau tadi hilang tangkainya. Pisau yang tidak bertangkai itu lalu paduka ambil kemudian paduka terus meninggalkan pondok. Sepeninggal paduka, ibuku hamil dan setelah genap bulannya maka lahirlah hamba yang berujud ular ini. Adapun maksud kedatangan hamba menghadap paduka ini ialah ingin bertemu dengan paduka ayahanda karena seumur hidup belum pernah melihat ayahanda.”
Dalam hati Sang Prabu mengetahui kebenaran kata-kata Baruklinting tersebut tetapi beliau malu kepada para prajurit karena tidak wajar seorang manusia beranak ular. Maka untuk siasat menyingkirkan Baruklinting, Sang Prabu bersabda, “Jikalau engkau menghendaki agar saya akui sebagai anak maka terlebih dahulu engkau harus membuktikannya dengan suatu perbuatan yang sepadan dengan derajatmu sebagai seorang putera raja. Adapun tugas yang harus kau jalankan untuk pembuktian itu ialah kau harus mengalahkan buaya putih yang hingga saat ini menjadi penguasa lautan selatan. Ketahuilah bahwa buaya putih itu adalah musuh besarku dan ia telah bertekad akan membinasakan diriku.”
Selanjutnya Sang Prabu masih mengajukan syarat-syarat lagi, antara lain:
1.       Baruklinting pada waktu pergi dan pulang dari lautan selatan nanti harus menempuh jalan di bawah tanah dengan alas an supaya tidak merusak tanaman milik anak negeri.
2.       Jika sudah berhasil mengalahkan buaya putih nanti maka ia harus membawa pulang kepala musuhnya itu beserta air laut, rumput laut dan bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan laut sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah melakukan tugasnya.
Karena Baruklinting ingin sekali diakui sebagai putera Sang Prabu maka tugas yang berat it uterus disanggupi. Bagi dia pekerjaan semacam itu dapat dilaksanakannya.
Dalam hati Sang Prabu berkata, “Tentunya Baruklinting tidak akan mampu mengalahkan buaya putih yang sakti itu. Ia pasti binas dikalahkan buaya putih penjelmaan Dewatacengkar itu. Dengan demikian ia tidak akan kembali ke sini lagi. Berarti saya bebas, tidak perlu memenuhi janjiku.”
Adapun Baruklinting setelah menerima titah Sang Prabu terus berangkat ke lautan selatan lewat bawah tanah. Ia tidak merasa gentar menghadapi pekerjaan berat yang akan dilakukannya itu. Singkatnya, ia telah berhasil menemukan buaya putih dan terjadi perang tanding. Pertempuran itu cukup sengit sehingga menimbulkan gelombang laut yang besar. Akhirnya dengan suatu siasat Baruklinting berhasil mengalahkan buaya putih itu yang kemudian dibunuh. Kepalanya terus dipotong untuk dipersembahkan kepada Sang Prabu. Bersama dengan kepala itu dibawa pula air laut, rumput laut, dan bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan laut sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah melakukan tugasnya.
Setelah syarat-syarat itu terkumpul baruklinting lalu bersiap-siap akan kembali ke Keraton Medangkamulan. Seperti halnya pada waktu berangkat maka pada waktu pulang Baruklinting juga menempuh jalan bawah tanah. Karena terlalu lelah, dalam melakukan perjalanan jauh tambahan pula habis berkelahi serta membawa barang yang berat, maka Baruklinting bermaksud akan istirahat di atas tanah. Ia muncul di suatu tempat di permukaan bumi dan tempat itu lalu menjadi sumber penggaraman berupa belik atau sendang. Sampai sekarang tempat ini masih dapat dilihat letaknya di Desa Yono, Kecamatan Tawangharjo. Kabarnya di tempat ini tumbuh pohon luntas dan rumput grinting yang asalnya dari lautan selatan.
Setelah puas beristirahat, Baruklinting lalu masuk ke dalam tanah lagi akan meneruskan perjalanan. Ia berjalan ke arah timur dan sampai di suatu tempat. Di sini ia menjadi bingung dikiranya tempat itu tepat di bawah halaman istana Medangkamulan sehingga ia muncul di situ. Ternyata tempat itu bukan yang dimaksud. Tempat munculnya yang kedua kalinya ini menjadi sumber garam pula, sekarang dikenal dengan nama Desa Crewek. Baruklinting setelah mengetahui bahwa tempat tersebut bukan yang dimaksdu, lalu masuk lagi ke dalam tanah untuk meneruskan perjalanannya sehingga melampaui tempat yang sebenarnya akan dituju (ke banjur, Jawa) karena tidak tahu. Tempat munculnya yang ketiga kalinya ini disebut Desa banjur, berasal dari perkataan ke banjur. Desa ini kemudian menjadi sumber garam. Karena merasa keliru lagi, Baruklinting lalu masuk ke dalam tanah akan terus mencari. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh akhirnya ia merasa sangat lelah dan tidak kuat meneruskan perjalanan lagi. Ia memutuskan untuk muncul ke permukaan bumi lagi dengan maksud akan beristirahat (bahasa Jawa kekuwon). Kemudian tempat munculnya yang terakhir ini dinamakan Desa Kuwu. Nama ini berasal dari perkataan ke kuwu. Desa Kuwu itu kemudian menjadi sumber garam pula dan merupakan sumber garam yang terbesar di antara sumber-sumber yang lain. Sampai di sini baruklinting tidak meneruskan perjalanannya lagi ke Medangkamulan. Rupanya ia telah menyadari bahwa Sang Prabu menitahkan untuk melakukan pekerjaan yang berat itu hanyalah suatu siasat belaka untuk menyingkirkan dirinya.
Demikianlah asal mula terjadinya sumber garam di daerah Kuwu dan sekitarnya yang konon ada hubungannya dengan perjalanan Aji Saka ke Tanah Jawa. Sampai sekarang sumber garam itu masih tetap berproduksi dan merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Sedangkan nama-nama desa penghasil garam yang disebut dalam cerita ini pun sampai sekarang masih ada.
Adapun Desa Kuwu terletak di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah. Sumber garam ini oleh masyarakat setempat biasa di Bledug Kuwu, karena adanya suara semburan lumpur dari dalam tanah. ***

Sumber:
Sri Sumarsih, BA, ____, Asal Mula Sumber Garam Kuwu: Cerita Rakyat dari Daerah Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI hal. 63-68.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami