Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Kota Solo memiliki peninggalan-peninggalan yang masih dapat kita saksikan hingga saat ini, meski banyak pula peninggalan yang sudah beralih fungsi maupun hilang sama sekali. Salah satu peninggalan yang masih bisa dikunjungi untuk disaksikan saat ini adalah lingkungan perumahan Baluwarti yang masih mempertahankan kawasan dengan nuansa tradisionalnya.
Baluwarti berasal dari bahasa Portugis “baluarte” yang berarti benteng, dalam bahasa Jawa artinya tembok istana. Jadi, Baluwarti merupakan batas istana yang di dalamnya terdapat istana dan tempat tinggal raja beserta keluarganya (sentana dalem) serta abdi dalem terdekat dengan raja.
Secara administratif, lingkungan perumahan Baluwarti berada di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Kelurahan Baluwarti menjadi unik karena lingkungan rumah penduduknya berada di dalam tembok keraton dengan ukuran ketebalan 2 m dan tinggi 6 m, serta hampir semua bentuk bangunannya bercirikan arsitektur tradisional khas Baluwarti yang dipengaruhi arsitektur Jawa, Cina dan Eropa dengan pola ruang yang khas. Selain arsitekturnya, kampung Baluwarti juga masih memegang teguh dalam hal adat-istiadat, kebiasaan, tata cara dan budaya masyarakatnya.
Kekhasan inilah yang menjadikan lingkungan perumahan yang berada di Baluwarti masuk dalam kawasan cagar budaya yang ada di Kota Solo, dan sekalugus merupakan peninggalan yang bernilai sejarah.
Awalnya, lingkungan perumahan di sini adalah terdapatnya regol yang khas dengan tembok pembatas pekarangannya. Dengan adanya tembok ini seolah-olah menyembunyikan rumah-rumah di dalamnya, menghalangi pandangan keluar bagi penghuninya.
Karena perkembangan dari keluarga-keluarga yang menempati perumahan tersebut, maka dengan seizin raja atau pun tidak telah disekat/membuat bangunan-bangunan baru di halamannya yang kemudian dikenal dengan istilah magersari.
Kawasan ini mempunyai dua buah pintu gerbang utama, yaitu Kori Brajanala utara dan Kori Brajanala selatan, satu dengan lainnya dihubungkan oleh dua jalur jalan yang sejajar dengan tembok keraton. Pada awal tahun 1900 Susuhunan Paku Buwono X memperluas wilayah Baluwarti dan menambahnya dengan dua buah pintu butulan yang terletak di sebelah tenggara dan sebelah barat daya. Masing-masing diresmikan pada tahun 1906 M dan pada tahun 1907 M. Dengan adanya dua pintu tambahan ini penduduk yang tinggal di Baluwarti dapat lebih leluasa berhubungan dengan masyarakat di luar Keraton Surakarta.
Dilihat dari sejarah awalnya, hunian kawasan Baluwarti ini adalah lingkungan perumahan bagi sentana dalem dan abdi dalem maka bila ditelusuri dari toponim munculnya nama-nama kampong yang berada di bawah naungan Kelurahan Baluwarti menunjukkan dari keberadaan para abdi dalem yang menghuni di situ.
Kampung Wirengan, letaknya mulai dari pintu gerbang (lawang gapit) barat ke timur sampai pintu gerbang selatan (Kori Brajanala). Wirengan berasal dari kata wireng (penari wayang orang atau tari-tarian klasik). Dahulu merupakan tempat tinggal para abdi dalem dan sentana dalem yang mengurusi soal tari-menari wayang orang dan hiburan lain.
Kampung Lumbung, letaknya mulai dari pintu gerbang selatan ke utara sampai pertigaan ke timur lalu ke selatan terus ke timur sampai lawang gapit sebelah timur. Lumbung adalah tempat penyimpanan bahan makanan milik keraton. Letaknya di sebelah timur bangunan keraton.
Kampung Tamtaman, letaknya di sebelah utara Carangan. Tempat abdi dalem prajurit Tamtama, yaitu prajurit pengawal raja. Termasuk dalam kelompok ini adalah prajurit Jayanantaka.
Kampung Carangan, letaknya di sebelah utara Lumbung. Tempat abdi dalem prajurit, yang biasanya menggunakan sebutan carang. Misalnya, Carangdiguna, Carangkartika, Carangwijaya dan sebagainya.
Kampung Kasatriyan, letaknya di sebelah barat Tamtaman. Tempat sentana dalem yang menjadi abdi dalem untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.
Kampung Gambuhan, letaknya di sebelah utara pintu butulan (pintu tembus) bagian barat. Tempat abdi dalem penabuh gamelan (niyaga) istana dan ahli gending.
Sumber:
- Ir. Eko Budihardjo, M.Sc (Ketua), 1987, Penelitian Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah Surakarta, Semarang: BAPPEDA Tingkat I Jawa Tengan dan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang
- Radjiman, 2011, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat, Surakarta: Krida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar