Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengumumkan, pada Mei ini musim sudah berganti dari kemarau (Kompas, 3/5). Artinya, warga Jakarta sudah harus kembali bersiap menghadapi krisis air bersih, seperti tahun-tahun lalu.
Air bersih sebetulnya persoalan klasik Jakarta. Krisis air minum sudah sering terjadi sejak awal pembangunan kota Batavia oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen pada 1619. Maklum, Batavia adalah kota pesisir yang dibangun di daerah muara sungai (Ciliwung), di mana air tawar merupakan komoditas yang tak banyak tersedia di alam.
Lebih tak menguntungkan lagi, Batavia juga sebuah kota di negeri tropis yang dibangun di dataran rendah berawa-rawa yang justru menjadi sumber seribu satu macam penyakit. Pada abad ke-17 dan 18 angka tingkat kematian di sana relatif tinggi. Pada abad ke-18 Batavia sempat dipuji para pelancong sebagai Koningin van het Oosten, Ratu dari Timur.
Hal ini karena Batavia merupakan kota bergaya Eropa yang indah di belahan dunia Timur. Namun, pada akhir abad yang sama, gara-gara banyak orang Belanda yang mati, Batavia mendapat julukan baru: Het Graf der Hollander, Kuburan Orang Belanda!
Sampai awal abad ke-20, warga Batavia masih dihantui aneka penyakit yang mematikan: kolera, tipus, dan difteri, yang antara lain disebabkan buruknya kualitas air minum. Wabah kolera sering terjadi dan selalu minta banyak korban jiwa. Menurut sebuah cerita dari abad ke-18, saking banyaknya orang yang meninggal dalam wabah kolera, tak jarang orang harus pergi mengantar jenazah kerabat, teman, atau tetangga ke kuburan sampai beberapa kali dalam sehari. Gubernur Jenderal Abraham van Rebeeck (1708-1713) meninggal dunia setelah menderita disentri, penyakit tropis lain yang juga sering menyerang warga Batavia.
Buruknya kondisi kesehatan juga disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat soal pentingnya menjaga pola hidup sehat. Pada abad ke-18 banyak warga Batavia belum tahu bahwa kuman di dalam air akan mati jika air mentah dimasak sampai mendidih. Sampai abad ke-19 warga umumnya tak peduli dan meminum air Ciliwung mentah-mentah.
Sejak 1744, pasien-pasien rumah sakit hanya diberi minum teh atau kopi karena air putih sudah tercemar dan tak layak diminum orang sakit. Pada 1753, setelah mendapat saran dari seorang dokter, Gubernur Jenderal Jacob Mossel mengajurkan warga agar memindahkan air dari satu tempayan ke tempayan lain agar mengendap sehingga tampak bersih dan dapat diminum tanpa dimasak.
Sumur artesis
Menurut Scott Merrilees dalam buku Batavia in Nineteenth Century Photographs, untuk mengatasi persoalan air bersih, menjelang pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun sumur-sumur artesis di berbagai tempat di Batavia. Sumur pertama digali di dalam Benteng Pangeran Frederik (Prins Frederik Citadel), di tempat Masjid Istiqlal berdiri sekarang, dan selesai pada 1843. Entah kenapa, sumur-sumur berikutnya baru digali hampir 30 tahun kemudian. Pada tahun 1870-an ada enam sumur yang selesai digali, termasuk satu di sisi utara Koningsplein, Medan Merdeka Utara, kurang lebih di seberang istana gubernur jenderal yang kini jadi Istana Presiden.
Pembangunan sumur air tanah dalam ini terus dilakukan hingga akhir 1920-an. Waktu itu di seluruh Batavia sudah ada 50-an sumur artesis, yang kedalamannya bervariasi mulai dari 100 meter sampai hampir 400 meter. Di samping itu, juga dibangun 14 stasiun mesin pompa untuk meningkatkan tekanan air di dalam pipa-pipa pendistribusian.
Dalam sebuah buku tentang Batavia terbitan 1891 disebutkan, pemerintah telah membangun jaringan pipa pendistribusian sepanjang 90 kilometer. Melalui pipa-pipa itu air sumur dialirkan sampai ke daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, termasuk ke daerah Meester Cornelis (Jatinegara). Segenap warga kota, baik pribumi maupun Eropa, boleh memanfaatkan air berkualitas baik ini dengan gratis. Sejak adanya sumur artesis ini, kondisi kebersihan dan kesehatan di Batavia meningkat secara signifikan.
Namun, banyak warga yang tak menyukai rasa air sumur dalam ini. Warnanya keruh sehingga kalau dipakai untuk menyeduh teh, warna air teh jadi hitam. Dengan demikian, air Ciliwung tetap merupakan air minum paling favorit di Batavia.
Meski jumlahnya sudah mencapai 50, sumur-sumur artesis tak mampu menghasilkan air dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk Batavia. Pada Oktober 1918 pemerintah memutuskan membangun jaringan pipa baru untuk mengalirkan air bersih ke Batavia dari mata air di Ciomas, di kaki Gunung Salak, Bogor. Pembangunan infrastruktur ini selesai pada akhir 1922 yang diikuti dengan penonaktifan sumur-sumur artesis dan pembongkaran bangunan-bangunan pelindungnya.
Meski berusaha terus meningkatkan pelayanannya, pemerintah kolonial Belanda tak pernah sanggup memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga Batavia yang jumlahnya terus meningkat. Sampai akhir zaman penjajahan, sebagian warga masih tetap mengandalkan kebutuhan air bersih mereka dari sumber-sumber lain, seperti sungai, sumur dangkal, atau dari pedagang air keliling.
Kini, sudah lebih dari satu setengah abad berlalu sejak berdirinya sumur artesis pertama, yang menandai awal usaha pemerintah memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga Batavia. Namun, pemerintah masih tetap saja belum mampu memasok air bersih bagi segenap warga kota yang kini bernama Jakarta.
Sumber:
- KOMPAS edisi Selasa, 5 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar