Gedung museum ini dibangun atas prakarsa Pangdam XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Erfi Triassunu. Pembangunan museum Sarwo Edhie Wibowo bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada para pejuang Trikora khususnya dan didedikasikan kepada para Pangdam XVII/Cenderawasih terdahulu, dan kontribusinya dalam mempertahankan eksistensi NKRI di tanah Papua dan pengabdian luhur pada masyarakat Papua ini. Di samping untuk memberikan gambaran perjuangan Trikora dan mengisi kemerdekaan di tanah Papua.
Bangunan ini sengaja dibuat dengan gaya bangunan khas Papua. Gedung Museum Sarwo Edhie Wibowo berbentuk bangunan yang mewakili dua suku pegunungan dan pantai, jenis bangunan permanen dengan luas bangunan 250 meter persegi.
Bangunan museum ini terdiri dari:
a. Ruang utama koleksi
b. Ruang Kepala Museum
c. Ruang penjualan souvenir khas Papua
d. Taman dan Patung Letjen Purn. Sarwo Edhie Wibowo
e. Tempat transit pengunjung
Lama pelaksanaan pembangunan museum ini kurang lebih selama 6 bulan, mulai tanggal 7 April sampai dengan 30 November 2011, sedangkan biaya pembangunan museum ini adalah sebesar 1,3 miliar yang bersumber dari sumbangan semua pihak yang bersifat tidak mengikat.
Telah kita pahami bersama, bahwa perjalanan sejarah suatu bangsa merupakan catatan panjang yang memuat nilai-nilai untuk dijadikan sebagai bahan renungan, sehingga patut diabadikan ke dalam museum, agar generasi penerus bangsa dapat mengenang jejak kejuangan para pendahulu yang telah banyak berjasa kepada bangsa dan negara Indonesia yang sangat kita cintai, khususnya di tanah Papua.
Para pendahulu kita, bukan saja berjasa dalam menanamkan nilai Ksatria Pelindung Rakyat, tetapi juga telah menanamkan serangkaian nilai luhur pengabdian kepada komponen masyarakat di tanah Papua, apabila nilai-nilai tersebut dapat dipelihara dan dijadikan sebagai dasar dalam kehidupan dan perilaku prajurit, niscaya jiwa dan semangat kepahlawanan, keperintisan, kejuangan dan kesetiakawanan social akan menjadi sumber motivasi dalam melaksanakan tugas mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sungguh tidak berlebihan bila dikatakan, bahwa nilai kejuangan yang luhur dari pendahulu Kodam XVII/Cenderawasih “nyaris sempurna”, oleh karenanya, dengan berdirinya Museum Sarwo Edhie Wibowo, Kodam XVII/Cenderawasih kiranya dapat menjadi bahan kajian generasi penerus TNI maupun kaum muda dan pelajar yang berada di wilayah Papua. Keberadaan museum ini kiranya juga dapat menambah kontribusi positif bagi prajurit dan semua komponen bangsa.
Pendirian Museum Sarwo Edhie Wibowo ini juga atas dasar pemahaman yang kuat bahwa Kodam XVII/Cenderawasih lahir dari kancah perjuangan bangsa Indonesia, perjuangan seluruh rakyat yang didorong oleh perasaan senasib sepenanggungan dan sikap rela berkorban, adanya kepercayaan diri yang kuat, semangat pantang menyerah untuk mengintegrasikan seluruh wilayah nasional dari Sabang sampai Merauke. Inilah sepenggal sejarah yang melatarbelakangi lahirnya Kodam XVII/Cenderawasih, yang selanjutnya menjadi inspirasi berdirinya Museum Sarwo Edhie Wibowo.
Pada saat itu, dalam suasana konflik dengan Belanda atas penyelesaian pengembalian Irian Barat, Presiden RI Bung Karno mengumandangkan Tri Komado Rakyat yang disingkat TRIKORA di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Tri Komando Rakyat ini mendapat respon dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat Irian Barat.
Untuk mewujudkan Tri Komando Rakyat tersebut, pada bulan Februari 1962 dibentuk Komando Mandala pembebasan Irian Barat dengan Panglima Mayjen TNI Soeharto.
Pada tanggal 8 Agustus 1962, Panglima Angkatan Darat membentuk Kodam XVII Irian Barat dengan Surat Keputusan Pangad Nomor: KPTS 1052/8/1962 dengan nama lengkapnya Komando Daerah Militer Irian Barat. Selanjutnya tanggal 15 Agustus 1962 berlangsung perundingan secara bilateral pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda di New York yang menghasilkan penandatanganan Persetujuan Indonesia-Nederland mengenai:
1. Gencatan senjata dilakukan di Irian Barat
2. Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia melalui PBB
Sebagai tindak lanjut persetujuan New York tersebut, maka PBB membentuk pemerintahan transisi di Irian Barat, yaitu UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority). Untuk menyiapkan pengalihan tanggung jawab keamanan dari UNTEA, Pemerintah Republik Indonesia membentuk satuan tugas yang disebut Kontingen Indonesia Irian Barat (KOTINDO) yang secara taktis di bawah UNTEA yang kemudian menjadi inti Kodan XVII/Irian Barat. Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan selanjutnya pada tanggal 17 Mei 1963 Kodam XVII/Irian Barat dirubah menjadi Kodam XVII/Cenderawasih, yang segera melaksanakan fungsinya baik sebagai kekuatan pertahanan keamanan maupun sebagai kekuatan social masyarakat. Atas dasar fakta sejarah ini, maka pada tanggal 17 Mei 1963 ditetapkan sebagai hari jadi Kodam XVII/Cenderawasih.
Itulah catatan sejarah yang menjadi latar belakang pendirian museum ini. Perlu diketahui, persiapan pendirian museum dimulai pada tanggal 7 April 2011 dengan peletakan batu pertamanya oleh Pangdam XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Erfi Triassunu. Gedung ini diresmikan sebagai museum pada tangga 30 November 2011 dan didedikasikan khusus untuk Sarwo Edhie Wibowo sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih yang ke-4 (1968-1970) serta seluruh Pangdam XVII/Cenderawasih yang terdahulu dan kepada para pejuang Trikora. Lokasi gedung museum terletak sekitar 3 Km dari pusat kota Jayapura.
Koleksi Museum
Memasuki Museum Sarwo Edhie Wibowo dari pintu selatan, pengunjung akan melihat dua pucuk meriam di depan museum. Sementara itu di halaman depan bangunan induk, patung Sarwo Edhie Wibowo tampak gagah berwibawa di atas prasasti menyambut pengunjung. Bangunan induk museum memiliki satu pintu di bagian depannya dan sebuah pintu di bagian belakang yang menghubungkan dengan aula. Bangunan induk terdiri dari satu ruangan besar yang berlantai kayu sekaligus tempat digelarnya benda-benda koleksi museum.
Seperti umumnya museum sejarah, penyajiannya dalam bentuk diorama. Museum Sarwo Edhie Wibowo memiliki diorama yang menceritakan tentang peristiwa Trikora. Koleksi museum terdiri atas macam-macam senapan yang digunakan para pejuang saat merebut Irian Barat, juga terdapat kapal macan tutul dalam bentuk replika/miniatur, berbagai benda hasil seni pahat juga menjadi koleksi menarik museum ini. Sementara itu, untuk tetap menjaga/melestarikan sejarah perjuangan pembebasan Irian Barat, Museum Sarwo Edhie Wibowo juga mempunyai koleksi film dokumenter pembebasan Irian Barat, hasil penelusuran Pendam XVII/Cenderawasih dan film ini bisa diputar dan diperlihatkan kepada setiap pengunjung museum. Selain itu, museum ini juga memiliki koleksi pakaian, foto kegiatan dan benda-benda koleksi para Pangdam terdahulu, yaitu:
- Brigjen TNI U Rukman (1963-1964)
- Brigjen TNI R. Kartidjo (1964-1966)
- Brigjen TNI Bintoro (1966-1968)
- Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo (1968-1970)
- Brigjen TNI Acub Zainal (1970-1973)
- Brigjen TNI Kisrad Sutrisno (1973-1975)
- Brigjen TNI Imam Munandar (1975-1978)
- Brigjen TNI C.I. Santoso (1978-1982)
- Brigjen TNI R.K. Sembiring Meliala (1982-1985)
- Mayjen TNI H. Simanjuntak (1985-1986)
- Mayjen TNI Setijana (1986-1987)
- Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar (1987-1989)
- Mayjen TNI Abinowo (1989-1992)
- Mayjen TNI E.E. Mangindaan (1992-1993)
- Mayjen TNI Tarub (1993-1994)
- Mayjen TNI I Ketut Wirdana (1994-1995)
- Mayjen TNI Dunidja (1995-1996)
- Mayjen TNI Johny Lumintang (1996-1998)
- Mayjen TNI Amir Sembiring (1998-1999)
- Mayjen TNI Albert Ingkiriwang (1999-2000)
- Mayjen TNI Tonny A. Rompis (2000)
- Mayjen TNI Mahidin Simbolon (2001-2003)
- Mayjen TNI Nurdin Zaenal M.M. (2003-2005)
- Mayjen TNI George Toisuta (2005-2006)
- Mayjen TNI Zamroni S.E. (2006-2007)
- Mayjen TNI Haryadi Soetanto (2007-2008)
- Mayjen TNI Azmin Yusril Nasution (2008-2010)
- Mayjen TNI Hotma Marbun (2010-2010)
- Mayjen TNI Erfi Triassunu (2010- )
Setelah melihat-lihat koleksi museum, pengunjung dapat berbelanja berbagai kerajinan khas Papua di sayap barat gedung induk museum di mana terdapat ruangan yang merupakan took benda-benda hasil kerajinan berbagai etnik di Papua.
Sumber:
SUARA CENDERAWASIH edisi Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar