The Story of Indonesian Heritage

Bedug Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Setelah Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo selesai dibangun, KRA. Cokronagoro I merasa belum puas tanpa adanya perangkat lainnya yang isitimewa dan hebat. Lalu, beliau menghendaki adanya bedug yang besar yang akan ditabuh sebagai pertanda adzan akan dikumandangkan untuk saatnya waktu shalat tiba.
Selanjutnya, beliau mengumpulkan para pejabat dan kerabat Kadipaten Purworejo untuk menyampaikan maksudnya untuk membuat bedug yang istimewa kepada para hadirin. RT Prawironagoro, Wedana Purwodadi, yang tidak lain adalah adik kandung beliau sendiri, menyanggupinya untuk membuat bedug besar yang bahannya sudah ada di daerah kekuasaannya, yaitu berupa tunggul atau bongkot kayu jati Pendowo, yang batang serta cabang-cabangnya sudah dipakai untuk tiang-tiang Masjid Agung dan Pendopo Kadipaten Purworejo, yang berada di Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kawedanan Purwodadi.


Semuangnya mufakat akan usulan dari RT Prawironegoro. Bedug besar harus dibuat dengan ukuran yang besar guna mengimbangi kebesaran Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo. Maka diputuskan agar segera dibuat bedug besar oleh RT Prawironegoro. Sedangkan, untuk kulit bedug besar diserahkan kepada Wedana Loano, yang di daerahnya banyak terdapat sapi besar jenis benggala atau ongale. Sedangkan nanti pengangkutannya diserahkan kepada kerabat Bupati. Ketika bedug besar tersebut selesai dibuat (selama 6 tahun), kerabat Bupati mulai berusaha mengangkut bedug tersebut namun ternyat tidak satupun sanggup untuk melaksanakan tugas tersebut.
RT Prawironegoro setelah berpikir, lalu memberanikan diri untuk mengusulkan kepada Sang Bupati, bahwa menantunya sendiri yang akan bersedia untuk menerima tugas memimpin pekerjaan tersebut. Adapun menantu Sang Tumenggung ialah seorang kyai atau na’ib dari Desa Solotihang, Loano, yang bernama KH. Muhammad Irsyad yang mempunyai kemampuan lebih daripada orang lain.
Akhirnya, Sang Bupati menyetujui. Lalu, oleh beliau diangkatlah dengan resmi KH. Muhammad Irsyad guna melaksanakan tugas berat tersebut. Dalam istilah Jawa disebut “Kasinengkakaken ing ngaluhur”, dari orang biasa menjadi orang terhormat yang mendapat kepercayaan dari KRA. Cokronagoro I. Karena tugas ini diberikan kepada orang luar kerabat Bupati, di mana hanya ada hubungan istrinya yang masih kerabat dalem, dalam istilah Jawa “sinered ing bengkung” (bengkung atau stagen adalah ikat pinggang wanita yang terbuat dari kain, untuk mengikat kain batik yang dipakainya).
Bedug yang saat ini dikenal sebagai Bedug Ageng Kyai Pendowo atau Kyai Bagelen, memiliki panjang 292 cm dengan diameter bagian depan 194 cm, diameter bagian belakang 180 cm, keliling bagian depan 601 cm, dan keliling lingkar bagian belakang 564 cm. Semula kulit penutup bedug bagian depan dan belakang terbuat dari kulit sapi ongale, namun pada tanggal 3 Mei 1936 bagian belakang diganti kulit lembu dari Desa Winong. Jadi hanya bagian depannya saja yang masih asli dari kulit sapi ongale.
Untuk memaku kulit bedug di bagian depan dipergunakan paku keeling sebanyak 112 buah. Bagian belakang dipergunakan paku keeling sebanyak 98 buah. Pada bulan Mei 1993, bagian belakang rusak lagi, dan diganti kulit lembu yang besar. Pembuatan bedug besar ini diperkirakan antara tahun 1834 hingga 1840 Masehi.
Diyakini hingga kini, hanya Bedug Ageng Kyai Pendowo atau Kyai Bagelen ini sajalah satu-satunya bedug yang mempunyai ukuran paling besar yang terbuat dari kayu jati utuh tanpa ada sambungan sedikitpun. Bahkan mungkin yang terbesar di Indonesia, boleh jadi di Asia Tenggara maupun seluruh dunia. ***  

Kepustakaan: 
  • HR Oteng Suherman, 2011, Kisah Masjid Agung Purworejo dengan Bedug Raksasanya, Purworej: PD Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Purworejo.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami