Inilah
ikon Solo yang dikenal luas oleh masyarakat luar daerah, selain Sungai Bengawan
Solo. Menempati bekas lahan parkir bagi kereta-kereta kuda para sentana, abdi dalem, dan tamu dari kerajaan lain di selatan Masjid Agung
Kraton Surakarta seluas 12.950 m², Pasar Klewer dulunya bernama Pakretan atau tempat parkir kereta kuda.
Pakretan ini akan ramai ketika ada pisowanan
ageng, seperti Idul Fitri maupun acara lainnya.
Pasar
ini berada di ujung jalan tertua di Solo, Jalan Secoyudan (kini Jalan Radjiman),
Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon. Jalur lurus dari barat ke timur
inilah yang dilewati Sinuhun Paku Buwono II beserta keluarga saat boyongan (pindahan) dari Kraton Mataram
Kartasura yang hancur ke Kraton Surakarta Hadiningrat di Desa Sala pada 1744.
Ketika kereta api mulai masuk dan melintas di jalan protokol Solo pada 1923,
kawasan ini pun berubah nama menjadi Pasar Slompretan.
Tapi,
penjajahan Jepang pada 1942 – 1945 sempat membuat aktivitas pasar mandek. Hidup
susah menyebabkan masyarakat menjual kain-kain bekas demi sesuap nasi. Dari
sini muncul nama Pasar Klewer dari kata “kleweran”
atau berjuntaian karena kain-kain lungsuran
dijajakan secara ala kadarnya, bahkan berjuntaian ke tanah. Biasanya kain yang
dijual ditaruh di bahu para pedagang, baik pria maupun perempuan, sambil lalu
lalang menawarkan dagangannya kepada orang yang melintas di jalan tersebut.
Dulu, sebelum mengisi Pasar Slompretan, para pedagang kain tersebut berada di Banjarsari, tepatnya berada di sebelah selatan Kantor PDAM yang terdahulu. Karena Pasar Slompretan kelihatan sepi dan tidak terawat, pemerintah kala itu memindahkan pedagang yang “kleweran” ke pasar tersebut. Mengingat yang pindah tersebut kebanyakan pedagang kain yang “kleweran” maka Pasar Slompretan ganti nama menjadi Pasar Klewer.
Sejak
dibangun dua lantai dan diresmikan Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto
pada 9 Juni 1971, kini Pasar Klewer merupakan pusat grosir tekstil dan batik
terkenal di Indonesia. Di 2.062 kios dan lebih dari 500 oprokan atau los,
pengunjung leluasa memilih batik tulis dan cap khas Solo. ***
Kepustakaan:
- R.M. Sajid, 1984, Babad Sala, Solo: Rekso Pustoko Mangkunegaran
- Majalah Ontime Travelounge Edisi May 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar