Lokasi
masjid bersejarah ini berdekatan dengan Istana Deli, di Kecamatan Medan Maimun,
Medan. Masjid Raya Al Mashun mulai dibangun pada 21 Agustus 1906, selesai dan
dibuka untuk umum pada 10 September 1909. Saat itu, yang berkuasa di Kesultanan
Deli adalah Sultan Mamun al Rasyid Perkasa Alamsyah IX. Seluruh biaya
pembangunan masjid, yang diperkirakan mencapai satu juta gulden, ditanggung
sendiri oleh Sultan. Namun konon, Tjong
A Fie, salah satu tokoh paling berpengaruh di Medan, yang juga terkenal dengan
kekayaan, kedermawanan, dan akulturasinya juga punya kontribusi mendukung
pembangunan masjid ini.
Pada
awalnya Masjid Raya Al Mashun dirancang oleh arsitek Belanda Van Erp, yang juga
merancang Istana Maimun. Namun kemudian prosesnya dikerjakan JA Tingdeman. Van
Erp dipanggil ke Pulau Jawa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk ikut
merestorasi Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Untuk
mengerjakan masjid tersebut, Tingdeman mengimpor beberapa bahan bangunan
seperti marmer untuk dekorasi dari Italia dan Jerman, kaca patri dari China,
serta lampu gantung dari Perancis.
Masjid
ini merupakan masjid kerajaan, oleh sebab itu dibangun sangat megah. Ketika
itu, Sultan berprinsip, kemegahan masjid lebih utama daripada istananya
sendiri. Ada tiga sebutan populer untuk masjid ini, yaitu Masjid al Mashun,
Masjid Deli, dan Masjid Agung Medan. Salah satu kelebihan masjid ini adalah
bentuknya yang masih asli, belum mengalami perubahan.
Bangunan
masjid terbagi menjadi tiga, yaitu ruang utama, tempat wudhu, dan gerbang
masuk. Ruang utama digunakan sebagai tempat shalat, berbentuk segi delapan tidak
sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat beranda yang menempel dan
menjorok keluar. Di depan setiap beranda terdapat tangga. Pada beranda depan
yang terletak di timur, terdapat plengkung majemuk, seperti yang terdapat di
masjid-masjid Andalusia.
Sisi kiri (selatan-timur) dan kanan (utara-timur) ruang shalat utama dikelilingi oleh gang. Gang ini mempunyai deretan bukaan (jendela tak berdaun) lengkung yang berdiri di atas balok, bukan kolom. Bentuk denah segi delapan pada ruang utama diperlihatkan dengan kolom-kolom berbentuk silindris pada setiap titik sudut marmer. Kolom-kolom tersebut menyangga plengkung yang bentuk dan hiasannya bercorak Moorish dan Arabesque. Di atas plengkung tersebut, terdapat tambour (dinding tumpuan kubah) utama. Kubah utama terbesar mengatapi bagian tengah di depan mihrab dan mimbar. Bentuk kubah itu mengikuti model Turki, dengan bentuk patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikelilingi oleh kubah-kubah berbentuk sama, tetapi berukuran lebih kecil.
Pada
bagian depan di sebelah timur, terdapat gerbang. Keberadaan gerbang ini
memperkuat arah posisi kiblat. Diduga desain ini mendapat pengaruh dari
arsitektur masjid-masjid kuno di India, Arab dan Mesir. Dalam posisi terpisah,
terdapat gerbang utama dengan arsitektur India, terpisah dari ruang utama.
Bentuknya berupa bujur sangkar beratap datar. Pada sisi kanan (utara-timur)
masjid terdapat minaret dengan bentuk yang unik, dengan dengan bujur sangkar
yang menyangga bagian atasnya yang berbentuk silindris. Hiasan badan minaret
merupakan campuran model Mesir, Iran dan Arab. Pengaruh Gotik juga terdapat
pada masjid ini, antara lain tampak pada bagian atas jendela yang berambang
patah. Mihrabnya yang indah, terbuat dari marmer dan diatapi oleh kubah
runcing.
Jendela-jendela
yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca patri yang sangat
berharga, sisa peninggalan art nouveau,
seluruh ornamen di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan
permukaan lengkungan kaya dengan hiasan bunga dan tetumbuhan. ***
[051111]
Kepustakaan:
Nur Asiah, 2009, Seri Ensiklopedia Ilmu Pengetahuan Sosial
Peninggalan Bersejarah Indonesia, Jakarta: PT Mediantara Semesta
LIONMAG The Inflight Magazine of Lion Air Edisi Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar