The Story of Indonesian Heritage

Langgar Merdeka

Langgar dalam bahasa Jawa menunjuk kepada masjid kecil tempat mengaji atau biasa disebut juga dengan surau. Dalam istilah yang dicomot dari bahasa Arab, dikenal dengan mushola. Orang Aceh biasa menamai masjid kecil dengan istilah meunasah.
Namun, masjid kecil yang berada di Jalan Radjiman No. 565 Laweyan, Surakarta ini sudah jamak dan dikenal luas sebagai Langgar Merdeka. Langgar Merdeka merupakan salah satu tempat ibadah umat Islam yang berada di kawasan Kampoeng Batik Laweyan, dan sekaligus sebagai penunjuk arah bagi semua orang yang akan menuju ke Kampoeng Batik Laweyan.
Berdasarkan proposal renovasi Langgar Merdeka (2010) yang diunggah dalam https://www.facebook.com disebutkan bahwa bangunan Langgar Merdeka merupakan wakaf (secara lisan) dari almarhum Bapak H. Imam Mashadi dan almarhumah Ibu Hj. Aminah Imam Mashadi. Pembangunan Langgar  Merdeka dimulai pada tahun 1942 dan selesai pada tanggal 26 Februari 1946 yang kemudian diresmikan oleh Menteri Sosial pertama yaitu almarhum Bapak Mulyadi Joyo Martono.
Langgar Merdeka berdiri setelah berdirinya Masjid Al Makmur di Kampung Setono, Kelurahan Laweyan pada tahun 1944. Bangunan Langgar Merdeka sebelumnya adalah bangunan rumah milik orang Cina yang dipakai untuk berjualan candu (ganja) yang kemudian dibeli oleh almarhun Bapak H. Imam Mashadi.
Nama Langgar Merdeka diambil dalam rangka memperingati kemerdekaan RI, namun pada saat Agresi Militer Belanda ke II tahun 1949 diganti namanya dengan Langgar Al Ikhlas karena dilarang menggunakan kata “ Merdeka ” oleh pemerintah Belanda yang menduduki Surakarta. Setelah Agresi Militer Belanda ke II berakhir, kembali memakai nama Langgar Merdeka di tahun 1950. Pada saat Agresi Militer Belanda ke II, Langgar Merdeka juga pernah dijatuhi 2 ( dua ) buah bom oleh militer Belanda, namun atas berkat pertolongan Allah SWT bom tidak mengenai Langgar Merdeka dan juga tidak meledak.


Bangunan Langgar Merdeka dibangun 2 ( dua ) lantai dengan maksud lantai atas difungsikan sebagai tempat ibadah / sholat sedangkan lantai bawah difungsikan untuk penunggu / pengelola Langgar Merdeka dengan dibuat model toko-toko agar dapat dipergunakan oleh pengelola untuk usaha yang hasilnya untuk menghidupi kebutuhan langgar dan dan kehidupan pengelolanya.
Adapun pengelola Langgar Merdeka dimulai oleh almarhum Bapak H. Muntasir (dari Surakarta dan  tidak bermukim di Langgar Merdeka). Kemudian pengelola dilanjutkan oleh almarhum Bapak KH. Ghufron bersama keluarganya. Beliau merupakan saudara almarhum Bapak KH. Jufri dari Salatiga yang merupakan pengungsi dari Salatiga pada saat Agresi Militer Belanda ke II.  Selanjutnya sekitar tahun 1949-an pengelolaan dilanjutkan oleh almarhum KH. Ahmad Musanni beserta keluarganya yang berasal dari Kidul Pasar Laweyan Surakarta. Setelah KH. Ahmad Musanni wafat di tahun 1990, pengelolaan Langgar Merdeka dilanjutkan oleh putra menantu almarhum KH. Ahmad Musanni yaitu Bapak H. M. Sholeh sampai sekarang.
Untuk lebih meningkatkan profesionalisme di bidang manajemen pengelolaan, maka sejak tanggal 4 Desember 2006 keberadaan Langgar Merdeka resmi dikelola oleh sebuah yayasan yang bernama Yayasan Langgar Merdeka Kampoeng Batik Laweyan dengan Akta Notaris No. 01 tertangal 04 Desember 2006 oleh Notaris  Chatharina Maria Novia Puspita Wardani, SH.
Bangunan Langgar Merdeka yang berdiri di atas tanah wakaf seluas 179 m² dan tidak memiliki halaman sama sekali, kini merupakan salah satu ikon dari KampoengBatik Laweyan.
Berbeda dengan bangunan langgar pada umumnya, langgar ini tampak tertutup dengan dinding tembok dan jendela atau pintu pada setiap dindingnya. Boven-licht berupa rooster.
Pada bagian atas terdapat menara yang menjadi satu dengan bangunan langgarnya, dan penerusan dari ruang mihrab.
Sebagai pembatas antara ruang shalat pria dan wanita dengan penyekat kayu setinggi 2 m, pada beberapa tempat dapat dibuka sebagai penghubung.
Struktur bangunan memakai dinding batu bata dan rangka atap kayu, demikian pula lantai atasnya dan penutup atap genteng.
Menurut SK Walikota Surakarta No.646/116/1/1997 tentang Peraturan Daerah cagar Budaya, maka Langgar Merdeka merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Kampoeng Batik Laweyan yang wajib untuk dilindungi, dipelihara dan dilestarikan, dan di fisik bangunannya juga telah ditempeli plakat tembaga dari Pemkot Surakarta sebagai pertanda atau prasasti yang menerangkan bahwa Langgar Meredeka merupakan bangunan cagar budaya dengan No. 04-35/D/Lw/2012. *** [140813]
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami