Sesuai
permintaan Ratu Dwarawati, seorang putri dari Campa, dan atas persetujuan
suaminya yaitu Raja Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V), maka berangkatlah
rombongan Sayyid Ali Rahmatullah (Raden Rahmat) menuju Ampel Denta yang
terletak di Kadipaten Surabaya.. Selama dalam perjalanan itu, beliau melakukan
dakwah pada penduduk dusun yang dilaluinya. Dakwah yang dilakukannya cukup
unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar
tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas itu dibagikan kepada
penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarnya dengan
bacaan kalimat syahadat saja.
Penduduk
yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas. Akar yang dianyam bersama rotan itu
ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam.
Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan pada Raden Rahmat.
Pada saat
demikianlah, beliau memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai dengan tingkat
pemahaman mereka. Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki Desa
Kembang Kuning yang termasuk dalam wilayah pinggiran Kadipaten Surabaya. Kala
itu, di daerah Kembang Kuning masih banyak hutan dan rawa-rawa.
Lantas, Raden Rahmat dan rombongannya mbabat alas Kembang Kuning serta mendirikan tempat sembahyang (langgar) yang sangat sederhana. Langgar ini menyerupai cungkup yang terbuat dari bambu. Meski langgar yang dibangun masih sangat sederhana, namun kala itu langgar ini dijadikan sebagai pusat syiar Islam di kawasan Kembang Kuning. Bahkan bisa dikatakan, langgar inilah yang pertama kali didirikan. Konon langgar ini dibangun hanya butuh waktu semalam dan di kawasan sekitar bangunan langgar banyak tumbuh bunga berwarna kuning. Sehingga pada pagi harinya masyarakat sangat terkejut dengan keberadaan langgar tersebut. Maka masyarakat sekitar kemudian menyebutnya Langgar Tiban (Langgar Kembang Kuning).
Lalu,
langgar ini dipercayakan untuk diasuh oleh salah satu muridnya yang bernama
Wirosroyo karena Raden Rahmat mau melanjutkan perjalanannya menuju Ampel Denta (yang kelak bergelar Sunan Ampel).
Ki Wirosroyo sebelumnya beragama Hindu.
Langgar
yang didirikan Raden Rahmat dengan rombongannya inipun akhirnya tak terurus dan
tertutup hutan belantara sepeninggal Ki Wirosroyo, dan baru beberapa puluh
tahun kemudian, ditemukan kembali oleh penduduk sekitar, dan dipergunakan
kembali. Dari tahun ke tahun, langgar yang dulu terbuat dari bilik bambu ternyata mengalami pemugaran dan dijadikan masjid. Masjid kecil berdiri sekitar tahun 1950-an sedangkan bangunan yang ada saat ini dibangun di tahun 1963 dan berdiri hingga sekarang, dan dinamakan Masjid
Rahmat serta bentuk langgar sebelumnya
diabadikan dalam ukiran semen yang diletakkan di dinding depan di serambi
sebelah kanan.
Masjid
Rahmat ini dibongkar menggunakan dana bantuan Yayasan Semesta Berencana dan
bertahan hingga tahun 2004. Sayangnya, beberapa bentuk bangunan aslinya kini
sudah tidak lagi bisa ditemui di masjid ini. Bahkan beberapa sumur yang
diyakini keramat juga ditutup untuk umum. Renovasi total ini sengaja
dilakukan karena takut akan adanya pengkultusan yang dikhawatirkan mendekati
syirik.
Masjid
yang terletak di Jalan Kembang Kuning 79-81 Kelurahan Darmo, Kecamatan
Wonokromo, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur ini, telah ditetapkan benda cagar
budaya sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Walikota Surabaya Nomor
188.45/251/402.1.04/1996 dengan nomor urut 47. Sehingga, masjid yang merupakan
salah satu masjid tertua di Surabaya ini harus dilindungi, dan dijaga
kelestariannya. *** [180114]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar