Setelah
melepas lelah sambil menyejukan diri di Taman Suropati, saya melanjutkan
langkah ke arah rute jalur bus KOPAJA P20 yang mengarah ke Mampang Prapatan.
Dalam perjalanan menuju rute tersebut, langkah kaki pun terhenti sejenak
lantaran pesona gedung lawas yang
megah.
Gedung
lawas yang menghadap ke utara ini,
kini digunakan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Museum ini terletak
di Jalan Imam Bonjol No. 1 RT. 09 RW. 04 Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng,
Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi museum ini berada di sebelah
barat GPIB Paulus, atau sebelah timur kediaman duta besar Saudi Arabia.
Dalam
brosur yang diterbitkan oleh museum ini, menyebutkan bahwa gedung ini didirikan
sekitar tahun 1920-an dengan menggunakan gaya arsitektur Art Deco. Rancangan
gedung ini dikerjakan oleh arsitek Belanda J.F.L Blankenberg di atas tanah
seluas 3.914 m² dan luas bangunannya 1.138 m². Pada tahun 1931, pemiliknya
atas nama PT Asuransi Jiwasraya. Ketika pecah Perang Pasifik, gedung ini
dipakai Britse Consul Generaal (British Consul General) sampai Jepang
menduduki Hindia Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda. Tadashi Maeda lahir di Kagoshima, Jepang, pada tahun 1898. Selama masa pendudukan Jepang atas Hindia Belanda, beliau menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat tentara Kekaisaran Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, gedung ini tetap menjadi kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda sampai Sekutu mendarat di Hindia Belanda, September 1945. Setelah kekalahan Jepang gedung ini menjadi Markas Tentara Inggris. Pemindahan status kepemilikan gedung ini, terjadi dalam aksi nasionalisasi terhadap milik bangsa asing di Indonesia. Gedung ini diserahkan kepada Departemen Keuangan dan pengelolaannya oleh Perusahaan Asuransi Jiwasraya.
Pada
1961, gedung ini dikontrak oleh Kedutaan Inggris sampai dengan 1981.
Selanjutnya gedung ini diterima oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada
28 Desember 1981. Tahun 1982, gedung ini sempat digunakan oleh Perpustakaan
Nasional sebagai perkantoran.
Gedung
ini menjadi sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia karena pada 16-17
Agustus 1945 terjadi peristiwa sejarah, yaitu perumusan naskah proklamasi
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pada tahun 1984 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Prof. Nugroho Notosusanto menginstruksikan kepada Direktorat
Permuseuman agar merealisasikan gedung bersejarah ini menjadi Museum Perumusan
Naskah Proklamasi.
Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0476/1996 tanggal 24
November 1992, gedung ini ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah
Proklamasi, yaitu sebagai Unit Pelaksana Teknis di bidang Kebudayaan di bawah
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kini
Museum Perumusan Naskah Proklamasi berada di lingkungan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 47
tahun 2012 tanggal 20 Juli 2012.
Ruang Pamer dan Koleksi Museum
Sesuai
dengan denah yang ada di layar monitor yang disediakan oleh Museum Perumusan
Naskah Proklamasi, gedung ini memiliki dua lantai. Baik lantai bawah maupun
lantai atas terdapat sejumlah ruang pamer.
Pengunjung
yang ingin masuk ke dalam museum akan diterima oleh petugas jaga museum, dengan
mempersilakan pengunjung untuk mengisi buku tamu terlebih dahulu dan kemudian
petugas akan menyodorkan karcis masuk dengan biaya Rp 2.000,00. Lalu,
pengunjung akan dipersilakan menikmati koleksi museum yang ada di dalamnya, tentunya
dimulai dari ruang lantai bawah terlebih dahulu baru menyusul ke lantai atas.
Lantai Bawah
Di
lantai bawah ini sebenarnya terdapat sebelas ruang, namun untuk ruang pamer
museum ini hanya disajikan empat ruang saja. Keempat ruang tersebut adalah:
Ruang I: Ruang Pra Perumusan Naskah
Proklamasi
Pada
ruang I ini terdapat satu set meja kursi yang dulu digunakan untuk pertemuan
dengan Tadashi Maeda. Kursi yang berwarna kuning terdiri atas empat buah dengan
satu meja berbentuk bulat dan berukuran kecil.
Pada
tanggal 16 Agustus 1945, Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Soebardjo diterima
oleh Laksamana Muda Tadashi Maeda di kediamannya sekitar pukul 22.00 sepulang
dari Rengasdengklok. Mereka menjelaskan kepada Maeda tentang akan diadakannya
pertemuan untuk persiapan menjelang Indonesia merdeka.
Maeda
memberitahukan pesan Gunseikan
(Pemerintah Militer Jepang) kepada rombongan yang pulang dari Rengasdengklok
agar menemuinya. Kemudian mereka dengan ditemani Maeda dan Miyoshi Sunkichiro
(Juru bicara Angkatan Darat Jepang) berangkat ke Gunseikan dan bertemu dengan Mayor Jenderal Nishimura Otoshi. Mayor
Jenderal Nishimura menjelaskan bahwa pihak Jepang tidak dapat membantu, karena
telah ada kesepakatan dengan pihak Sekutu untuk mempertahankan status quo di Indonesia. Ia juga
melarang adanya rapat yang akan dilangsungkan di rumah Maeda.
Bung
Karno, Bung Hatta dan Ahmad Soebardjo tiba kembali di rumah Maeda sekitar pukul
02.30 WIB. Mereka menjelaskan kepada Maeda akan memproklamasikan Kemerdekaan
Indonesia sekarang juga. Maeda tidak campur tangan dan mengundurkan diri ke
kamarnya di lantai atas, yang sekarang digunakan sebagai Ruang I.
Ruang II: Ruang Perumusan Naskah Proklamasi
Ruang
II ini memiliki ukuran yang lebih besar ketimbang
ruang I. Di dalam ruang ini terdapat satu set meja dan kursi. Mejanya berukuran
besar berbentuk bulat telur dengan warna pelitur, sedangkan kursi berjumlah
banyak mengelilingi meja tersebut. Dulu, ruangan ini merupakan ruang makan.
Menjelang
dini hari sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno, Bung
Hatta dan Ahmad Soebarjo memasuki ruang makan, mereka duduk mengitari meja
makan panjang. Bung Karno mulai mempersiapkan draft Naskah Proklamasi,
sedangkan Bung Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan.
Setelah teks diberi judul “Proklamasi”, dialog pertama yang dihasilkan dari kesepakatan tiga tokoh nasional itu adalah, “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.
Kemudian
kalimat kedua ditambah oleh Bung Hatta, berupa pernyataan mengenai pengalihan
kekuasaan. Akhirnya, selesailah konsep naskah proklamasi dengan beberapa
coretan sebagai tanda pertukaran pendapat dalam merumuskannya.
Setelah
selesai, naskah tersebut dibawa ke serambi muka untuk dibacakan dihadapan para
tokoh yang telah menunggu.
Ruang III: Ruang Pengetikan Naskah
Proklamasi
Ruang
III ini berukuran kecil dan letaknya berada di bawah tangga menuju ke lantai
atas. Ruang ini dulu digunakan oleh Sayuti Melik dalam mengetik naskah
proklamasi bersama B.M. Diah.
Setelah
konsep naskah proklamasi yang disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad
Soebardjo disetujui oleh hadirin, Bung Karno meminta Sayuti Melik mengetik
naskah proklamasi tersebut.
Sayuti
Melik mengetik naskah proklamasi di ruang bawah dekat dapur, dengan ditemani
oleh B.M. Diah.
Pada saat pengetikan, Sayuti Melik melakukan perubahan tiga kata. Kata “tempoh” menjadi “tempo”, kata wakil-wakli Bangsa Indonesia”, berubah menjadi “Atas Nama Bangsa Indonesia”, begitu pula dalam penulisan hari, bulan dan tahun.
Setelah
naskah proklamasi selesai diketik segera dibawa kembali ke tempat hadirin untuk
ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Bung
Karno dan Bung Hatta menandatangani naskah tersebut di atas piano yang terdapat
di bawah tangga ruangan.
Ruang IV: Ruang Pengesahan Naskah
Proklamasi
Ruang
VI ini merupakan ruangan yang paling besar yang ada di lantai bawah. Setiap
pengunjung yang masuk ke dalam museum ini sebenarnya tanpa disadari telah
memasuki ruang IV, hanya saja karena pengunjung berkeliling ruangan maka mereka
akan mengikuti denah ruangan tersebut. Ruang IV ini merupakan Ruang Pengesahan
Naskah Proklamasi dan tempat berkumpulnya para tokoh yang hadir.
Konsep
naskah proklamasi yang telah dirumuskan oleh Bung karno, Bung Hatta, dan Ahmad
Soebardjo dibawa ke serambi muka menemui para hadirin yang telah menunggu. Bung
karno kemudian membacakan rumusan pernyataan kemerdekaan yang telah dibuat itu
secara perlahan-lahan dan berulang-ulang.
Sesudah itu beliau bertanya kepada para hadirin, setuju atau tidaknya terhadap rumusan itu. Menurut Bung Hatta, jawaban dari hadirin adalah gemuruh suara menyatakan setuju. Kemudian diulangi lagi pertanyaan oleh Bung karno, “Benar-benar saudara setuju?” jawabannya adalah sama, yaitu “setuju”.
Kemudian
sempat timbul pertentangan pendapat mengenai siapa yang akan menandatangani
naskah proklamasi tersebut.
Akhirnya
Sukarni maju ke muka dan dengan suara lantang mengatakan: “Bukan kita semua
yang hadir di sini, harus menandatangani naskah, cukup dua orang saja
menandatanganinya atas nama rakyat Indonesia, yaitu Soekarno dan Hatta”.
Usul
itu pun diterima hadirin dengan tepuk tangan dan berseri. Kemudian Bung Karno
memerintahkan Sayuti melik untuk mengetik naskah proklamasi tersebut.
Lantai Atas
Di
lantai atas ini sebenarnya terdapat sembilan ruang ditambah dengan 3 balkon.
Dua balkon berada di depan, terletak di sisi timur dan barat. Sedangkan, balkon
satunya berada di belakang di sisi timur.
Dari
kesembilan ruang tersebut, lima ruang saja yang disajikan untuk memajang
koleksi museum ini. Kelima ruang tersebut adalah:
Ruang I: Kamar Tidur Maeda
Semula
ruang I ini merupakan kamar tidur yang digunakan oleh Tadashi Maeda. Pada ruang
I ini banyak didominasi koleksi museum yang berkisah mengenai biografi beberapa
tokoh yang hadir dalam perumusan naskah proklamasi, antara lain Ir. Soekarno,
Drs. Mohammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Burhanudin Mohamad Diah, Anang Abdul Hamidhan, Ki Hadjar Dewantara, Mr. R. Soepomo, Mr. Johannes Latoeharhary, Dr.KRT Radjiman Wedyodiningrat, Dr. G.S.S.J Ratulangi, Sukarni, Mr. I Goesti Ketut Poedja, dan Mr. R. Iwa Kusumasumantri.
Selain
itu, juga terdapat beberapa baju mereka dalam perjuangan disertai topi dan juga
stempel di kala itu.
Ruang II: Ruang Kerja Pribadi
Pada
awalnya ruang II ini merupakan ruang kerja bagi Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Kemudian disulap menjadi ruang pamer II yang memajang sejumlah koleksi museum
ini. Koleksi museum ini pada umumnya berupa documentary board yang mengisahkan
berbagai sejarah perjanjian antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda,
seperti Perjanjian Renville, Meja Bundar, dan sebagainya.
Perjuangan
mempertahankan kemerdekaan tidak hanya dilakukan secara fisik saja tetapi juga
dengan cara diplomasi. Awal perjuangan diplomasi terjadi di gedung ini, yaitu
17 November 1945 diadakan pertemuan antara pihak Indonesia yang dipimpin oleh
Perdana Menteri Sutan Syahrir dan pihak Belanda yang dipimpin oleh DR. H.J. Van
Mook, sedangkan dari pihak Sekutu diwakili oleh Letnan Jenderal Christisson.
Selain
itu, juga terdapat foto Laksamana Muda Tadashi Maeda bersama para
pembantunya.
Pada
7 Oktober 1946, atas jasa baik Inggris perundingan dilakukann lagi di gedung
ini yaitu antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Pihak Indonesia diwakili
oleh Sutan Syahrir dan pihak Belanda oleh Prof. Schermerhorn, sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn.
Ruang III: Kamar Tidur Sekretaris
Ruang
III ini dulunya merupakan kamar tidur sekretaris Maeda. Kemudian digunakan
menjadi ruang pamer III yang mengetengahkan sejumlah peristiwa sejarah yang
berhubungan dengan pergerakan di Indonesia.
Ruang IV: Ruang Perkantoran Staf Rumah
Tangga dan Tempat Istirahat
Semula
ruang IV ini merupakan ruang kantor bagi staf rumah tangga Laksamana Muda
Tadashi Maeda, dan sekaligus sebagai ruang istirahatnya.
Di
dalam ruang ini terdapat sejumlah peninggalan yang berhubungan dengan alat-alat
perkantoran yang digunakan di ruangan ini, ditambah dengann documentary board yang dipasang di
dinding. Documentary board tersebut
berkisah tentang peristiwa sejarah seputaran kemerdekaan Indonesia.
Ruang V: Kamar Tidur Pembantu Wanita
Ruang
V ini berada di dekat tangga naik ke lantai atas. Dulu, ruangan ini merupakan
kamar tidur pembantu wanita Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Ruang
V ini juga memuat koleksi museum yang berkisah mengenai peristiwa sejarah
lainnya yang berkenaan dengan seputar Indonesia merdeka.
Museum
Perumusan Naskah Proklamasi ini terletak di lokasi yang strategis di dekat
Taman Suropati, sehingga mudah diakses dengan menggunakan kendaraan bermotor,
baik kendaraan roda dua maupun roda empat.
Kendaraan
umum yang melewati museum ini adalah Patas AC 76 Jurusan Senen-Ciputat, Patas
AC 16 Jurusan Rawamangun-Lebak Bulus, Patas AC 11 Jurusan Pulau Gadung-Grogol,
dan bus PPD 213 Jurusan Kampung Melayu-Grogol. Semua trayek tersebut berhenti
di halte museum ini. *** [060416]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar