Minggu
(20/03) saya membeli makan siang di dekat Pasar Semolowaru, pulangnya saya
memotong jalan melewati perumahan. Sampai pos jaga perumahan, yang berada di
pertemuan antara Jalan Semolowaru Tengah IX dan Semolowaru Tengah XIV, saya
menjumpai seorang ibu menggendong bakul (tenggok,
Jawa) di punggungnya. Ibu itu kemudian menaruh bakul di dekat pos jaga
tersebut. Lalu, saya bertanya ke ibu separoh baya itu: “Jual apa, Bu?”
“Semanggi,
Mas?” jawab sang ibu sambil menata bakulnya.
“Waduh,
apa pula itu?” seloroh saya untuk mengundang eksplanasi dari ibu tadi.
“Pecel, Mas. Sayurane saking godhong semanggi.”
terang ibu tersebut.
Akhirnya,
dari obrolan saya dengan ibu yang ternyata penjual pecel semanggi tersebut
berbuah sebuah pengetahuan kuliner khas Surabaya.
Semanggi
(Marsilea Crenata Presl) adalah sekelompok
paku air (Salviniales) dari marga Marsilea yang di Indonesia mudah
ditemukan di pematang sawah atau tepi saluran irigasi. Tanaman ini memang doyan air berbentuk semak menjalar sepanjang
sekitar 25 cm. Berwarna hijau kecoklatan, dan majemuk di mana tiap tangkai
terdiri dari tiga atau empat helai daun, lonjong, tepi rata, pangkal runcing,
panjang kurang lebih 2 cm, dan lebar sekitar 1 cm. Sepintas terlihat seperti
bunga tapak dara, hanya saja kalau Semanggi warnanya hijau.
Daun
tanaman semanggi bisa dijadikan bahan makanan. Orang asli Australia (Aborigin)
tercatat sebagai kelompok masyarakat yang juga memanfaatkan daun tersebut
sebagai bahan makanan. Di Surabaya, semanggi adalah warisan kuliner tradisional
yang hingga kini masih bisa ditemui. Makanan warga Surabaya ini terdiri dari
rebusan daun semanggi, kecambah, bunga turi juga daun ketela. Tak lupa diberi
siraman, yang membuatnya berbeda adalah racikan bumbu tela kukus, lalu ditumbuk
hingga halus dan ditambah kemiri goreng. Satu hal yang tidak boleh ketinggalan
ketika menyantap semanggi adalah kerupuk puli.
Yang membuat semanggi begitu melegenda karena sajiannya yang istimewa. Berada di atas ‘pincuk’ atau semacam daun pisang yang dibentuk menyerupai kerucut sebagai pengganti piring. Terkadang, disediakan suru (daun pisang yang dibentuk menyerupai sendok) untuk memakannya. Soal rasa tidak perlu khawatir, selain enak makanan tradisional yang satu ini juga menyehatkan bagi tubuh.
Daun
semanggi diyakini dapat menyembuhkan beberapa penyakit di antaranya kolesterol,
kencing manis, osteoporesis ataupun asma. Memasak makanan ini pun tak boleh
sembarangan. Agar rasanya enak, beragam sayuran harus direbus di dalam panci
yang terbuat dari tanah liat dan dimasak di atas tungku berbahan bakar kayu
bakar.
Walaupun
kini penjual semanggi sedikit, namun keistimewaan semanggi memang tak lekang
dimakan usia. Penjual semanggi masih tetap menggunakan kain jarit dan selendang
untuk memanggul semanggi. Hal ini membuktikan bahwa budaya bangsa ini masih
tetap terjaga. Sebagian besar penjual makanan ini berasal dari Desa Kendung,
Benowo, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Desa ini dikenal dengan nama Kampung
Semanggi. Di sana warga membudidayakan tanaman Semanggi karena sebagian besar
penduduknya berprofesi sebagai penjual semanggi.
Dahulu
semanggi ditemukan secara tidak sengaja. Tanaman ini tumbuh secara liar di
daerah Benowo. Kemudian masyarakat di daerah Benowo khususnya di Desa Kendung
mulai menanam semanggi di depan rumah dan dijadikan sebagai sumber mata
pencaharian mereka sehari-hari. Semanggi sudah diproduksi oleh masyarakat
sekitar Benowo dan Manukan. Hampir semua pedagang semanggi yang ada di Surabaya
ini berasal dari tempat yang sama dan juga masih saling terikat hubungan
saudara. Tidak semua penjual semanggi memasak atau memproduksi sendiri barang
dagangannya, sebagian dari penjual tersebut mencapat stock dari tengkulak dan hanya bertugas sebagai penjual saja.
Setiap pagi mereka berbondong-bondong meminjam atau istilahnya carter bemo untuk berangkat bersama-sama
ke tempat di mana mereka akan berjualan. Sistem tempat berjualan mereka
berpencar, tidak berpatokan hanya pada satu tempat saja. Jika pada hari biasa
mereka biasanya berjualan keliling dari kampung ke kampung hingga ke gang-gang
perumahan untuk menjajakan jualannya. Namun jika hari Sabtu atau Minggu dan
hari libur, penjual semanggi biasa ditemui di beberapa sudut taman kota seperti
taman bungkul, dan taman prestasi. Tetapi biasanya, sebelum matahari terbenam
para penjual semanggi ini sudah kembali pulang.
Makanan
yang sudah menjadi ikon Kota Surabaya ini ternyata mulai ada sejak tahun 1945,
dan saking kondangnya kekayaan
kuliner khas Surabaya ini pernah menjadi sebuah lagu keroncong yang diciptakan
oleh S. Padimin pada era 1950-an dengan judul Semanggi Suroboyo.
Begini
lirik lagunya:
Semanggi Suroboyo
Lontong balap Wonokromo
Dimakan enak sekali,
Sayur semanggi krupuk puli
Bung ... mari ...
Harganya sangat murah,
Sayur semanggi Suroboyo
Didukung serta dijual
Masuk kampung keluar kampung
Bung ... beli ...
Sedap benar bumbunya dan enak rasanya
Kankung turi cukulan dicampurnya
Dan tak lupa tempenya
Mari bung mari beli sepincuk hanya setali
Tentu memuaskan hati
Mari beli sayur semanggi
Bung ... beli ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar