Stasiun
Kereta Api Pasar Jatinegara (JNG) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Jatinegara,
merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 1 Jakarta yang berada pada
ketinggian +16 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun yang cukup besar.
Stasiun
ini terletak di Jalan Raya Bekasi Barat No. 1 RT. 13 RW. 16 Kelurahan Pisangan
Baru, Kecamatan Matraman, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi
stasiun ini terletak di depan Pasar Batu Mulia Jakarta, atau yang dikenal
dengan Jakarta Gems Center.
Keberadaan
Stasiun Jatinegara tidak terlepas dari adanya pembangunan jalur kereta api dari
Jakarta Kota-Bekasi lewat Pasar Senen sepanjang 27 kilometer oleh Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij
(BOS) pada tahun 1887, dan kemudian dilanjutkan ke Kedunggedeh yang selesai
pada 1891 serta diteruskan lagi hingga ke Karawang.
Pada
saat membangun jalur Kedunggedeh-Karawang, Maskapai BOS mengalami kesulitan
keuangan sehingga tidak mampu meneruskan jalur tersebut, dan tidak bisa merawat
jalur yang sudah ada. Akhirnya, jalur bekas milik Maskapai BOS ini dibeli oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada Agustus 1898, dan pengelolaannya diserahkan
kepada Staatsspoorwegen (perusahaan
kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda). Kemudian Staatsspoorwegen (SS) melanjutkan pembangunan jalur Kedunggedeh-Karawang
sepanjang 6 kilometer pada 1898. Dari Kerawang, SS meneruskan pembangunan jalur
rel ke Cikampek hingga Purwakarta sepanjang 41 kilometer pada 1902. Tak hanya
itu, SS juga membangun jalur rel Cikampek-Cirebon sepanjang 137 kilometer pada
1912, yang pada akhirnya terkoneksi dengan jalur kereta api dari Jawa Tengah.
Awalnya, bangunan Stasiun Jatinegara ini masihlah sederhana pada saat dibangun oleh Maskapai BOS. Wilayah Jatinegara dulunya masih bernama Meester Cornelis. Nama Meester Cornelis mengacu kepada seorang bernama Cornelis Senen, seorang pria kaya asal Pulau Lontor, Banda, Maluku yang bermukim di Batavia sejak tahun 1621. Di Batavia, Cornelis Senen menjadi guru agama Kristen, membuka sekolah dan memimpin ibadat agama Kristen serta menyampaikan khotbah dalam bahasa Melayu dan Portugis. Jabatannya sebagai guru itulah yang membuat ia mendapat sebutan “Meester” atau “Tuan Guru.”
Pada
waktu itu, Cornelis Senen berkeinginan sekali menjadi pendeta, niat itu ditolak
oleh Belanda karena tidak memenuhi syarat. Meski demikian, Belanda tetap
mengizinkan Cornelis Senen menjadi guru agama Kristen, dan sekaligus diberi
wilayah berupa hutan di tepi Ciliwung untuk ditempati dan sekalgus digarapnya.
Tanah luas penuh pepohonan itulah yang kemudian dikenal dengan nama Meester Cornelis.
Seiring
perjalanan waktu, daerah Meester Cornelis
semakin berkembang dan kian menjadi ramai sekitar tahun 1905. Banyak orang
Tionghoa yang juga berdatangan ke daerah itu untuk mengadu nasib, dan orang
Belanda yang bermukim di situ. Seiring itu pula, banyak bangunan fasilitas
publik dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada periode tersebut. Termasuk SS
akhirnya juga berencana melakukan rancang bangun stasiun lama yang sudah dibuat
oleh Maskapai BOS menjadi stasiun yang lebih besar untuk mengantisipasi
perkembangan pesat di wilayah Meester
Cornelis. Pembangunan stasiun tersebut kemudian dikerjakan pada tahun 1910,
dan desain arsitekturnya dirancang oleh Ir. S. Snuyf dari Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW). Stasiun ini
dirancang sebagai stasiun penghubung yang penting sebagai rangkaian yang baru
ke stasiun Weltevreden dan jalur yang
ada ke Tanjung Priok melalui Stasiun Pasar Senen.
Dalam
perjalanannya stasiun ini pernah beberapa kali berganti nama. Pada waktu jalur ini
masih dikelola oleh Maskapai BOS, stasiun ini dikenal dengan Stasiun BOS.
Kemudian setelah diambil alih oleh SS, nama stasiun ini berubah menjadi Stasiun
Staatsspoorwegen. Lalu, setelah
dibangun kembali dan diperluas, stasiun ini menjadi Stasiun Meester Cornelis. Dan, setelah Jepang
menduduki Jakarta, stasiun ini diganti oleh Jepang menjadi Stasiun Jatinegara
sampai saat ini. Hal ini mengikuti perubahan nama dari Meester Cornelis menjadi Jatinegara yang dilakukan oleh Jepang,
karena Jepang tidak suka dengan nama-nama yang masih berbau Belanda.
Dilihat
dari fasade bangunan stasiun ini,
tampak seperti gaya peralihan antara Indische
Empire dengan gaya kolonial modern. Tampak depan tidak simetris, namun
terlihat adanya penekanan bagian tengah sebagai focal point melalui ukuran ruang dan ketinggian bangunan yang lebih
menonjol. Di bagian atas puncak atapnya terdapat kubah kecil (louvre), sedangkan di bagian muka atap
terdapat semacam domer tapi membentuk
gevel kecil.
Memasuki
bangunan stasiun dari pintu utama, akan menjumpai hall yang tinggi langit-langitnya. Sehingga memungkinan adanya
jendela atap (clerestory), yang
berfungsi untuk memasukkan cahaya matahari. Di hall tersebut ada beberapa loket untuk
penjualan karcis. Dulu, sewaktu stasiun ini masih digunakan untuk
pemberangkatan kereta api ke Jawa Tengah maupun Jawa Timur, pemandangan di
loket selalu berjubel. Tapi semenjak digunakan untuk stasiun commuter line, sudah tidak berjubel lagi
namun masih menunjukkan keramaian juga.
Stasiun
ini juga memiliki beberapa jalur aktif sebanyak 5 jalur. Hal ini dikarenakan
Stasiun Jatinegara merupakan jalur penghubung antara Stasiun Manggarai, Stasiun Pasar Senen, dan Stasiun Bekasi. Bagian peronnya telah ditinggikan dengan atap
tambahan berbentuk sayap.
Stasiun
Jatinegara ini telah ditetapkan sebagai daftar tinggalan sejarah yang telah
ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi UU RI Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 011/M/1999 tanggal 12 Januari 1999. *** [240416]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar