The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Stasiun Rogojampi: Jejak Sejarah Kereta Api di Ujung Timur Jawa

Stasiun Kereta Api Rogojampi, atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Rogojampi (RGP) adalah salah satu simpul transportasi penting di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Terletak di Jalan Stasiun Rogojampi, Dusun Pancoran Kulon, Desa Rogojampi, stasiun ini termasuk dalam kelas I yang berada di bawah Daerah Operasi IX Jember. Dengan ketinggian +89 meter di atas permukaan laut, Stasiun Rogojampi menyimpan sejarah panjang sebagai bagian dari jaringan kereta api masa kolonial Belanda.

Stasiun Rogojampi dibangun pada tahun 1903 oleh Staatsspoorwegen (SS). Pembangunannya bersamaan dengan pengerjaan jalur rel Mrawan-Rogojampi-Banyuwangi sepanjang 58 kilometer, yang merupakan bagian dari Oosterlijnen (jalur timur) SS. 

Stasiun Rogojampi di malam hari

Staatsspoorwegen (SS), atau lengkapnya Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch–Indië, adalah perusahaan kereta api utama pemerintah Hindia Belanda yang menjadi pesaing perusahaan kereta api swasta di Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Bangunan utama stasiun ini masih mempertahankan nuansa kolonial, meski mengalami beberapa renovasi. Salah satu perubahan signifikan terjadi pada akhir 2019, ketika kanopi lama dibongkar dan diganti dengan struktur baru yang lebih luas untuk meningkatkan kenyamanan penumpang.

Dahulu, dari Jalur 1, terdapat percabangan menuju Stasiun Benculuk melalui Stasiun Srono. Jalur cabang sepanjang 18 kilometer ini dibangun oleh SS pada tahu 1921-1922 sebagai bagian dari Dienst der Eenvoudige Lijnen (layanan jalur sederhana). Sayangnya, jalur ini sudah tidak beroperasi, meninggalkan bekas rel yang kini sebagian tertutup tanah.

Suasana peron Stasiun Rogojampi yang berkanopi

Di arah timur laut, sebelum mencapai Stasiun Banyuwangi Kota, terdapat Stasiun Kabat yang sudah nonaktif sejak akhir 1990-an. Keberadaannya menjadi saksi bisu perkembangan transportasi kereta api di Banyuwangi.

Meski tak lagi menjadi pusat percabangan, Stasiun Rogojampi tetap menjadi titik pemberhentian penting bagi kereta penumpang seperti Blambangan Ekspres (Ketapang-Pasar Senen), Sri Tanjung (Ketapang-Yogyakarta), Probowangi (Ketapang-Surabaya), Logawa (Ketapang-Purwokerto), Mutiara Timur (Ketapang-Surabaya Gubeng), Tawang Alun (Ketapang-Malang Kotalama), maupun Ijen Ekspres (Ketapan-Malang Kotabaru) seperti yang saya tumpangi pada Kamis (03/07) malam hari dari Stasiun Rogojampi ini.

Papan arah di Stasiun Rogojampi, Banyuwangi

Keberadaannya ini juga mendukung mobilitas warga Banyuwangi dan wisatawan yang hendak menuju Bali melalui Pelabuhan Ketapang.

Stasiun Rogojampi bukan sekadar bangunan tua, melainkan saksi perkembangan transportasi kereta api di ujung timur Pulau Jawa. Meski beberapa jalurnya telah mati, stasiun ini tetap hidup melayani penumpang dengan nuansa klasik yang memikat.

Dengan letaknya yang strategis, Stasiun Rogojampi terus menjadi bagian penting dari perjalanan kereta api di Jawa Timur, menghubungkan masa lalu dengan modernitas. *** [170725]



Share:

Pura Luhur Giri Salaka: Melangkah di Tapak Suci Alas Purwo

Langit Alas Purwo siang itu seperti diselubungi selimut sunyi. Rimbun pohon-pohon tua dan desir angin dari arah pantai menciptakan alunan alam yang seakan berbicara dengan jiwa. Usai menyerap keheningan sakral di Situs Kawitan, Pak Dhe Suparno dan Bu Dhe Mardiyati mengajak Andhika Krisnaloka, S.Sos dan saya bergeser sekitar 50 meter menuju ke sebuah tempat yang tak kalah sakral, yaitu Pura Luhur Giri Salaka.

Pura ini bukan sekadar bangunan pemujaan biasa. Ia adalah perwujudan spiritualitas yang tumbuh dari akar kepercayaan masyarakat Hindu di wilayah Tegaldlimo dan Bali. Dibangun pada tahun 1996, Pura Luhur Giri Salaka hadir sebagai tempat penyangga bagi luberan peziarah yang membludak ke Situs Kawitan, terutama pada hari-hari besar seperti Pagerwesi. Dalam setiap perayaan, atmosfernya seolah menjelma menjadi lorong waktu - memanggil kembali nilai-nilai purba dan kesucian masa lampau.

Peziarah sedang melakukan ritual doa menghadap meru di Utama Mandala

Etimologi dan Makna Nama

Nama "Pura Luhur Giri Salaka" mengandung makna filosofis yang dalam. Pura berasal dari bahasa Sansekerta “pur” (kota, banteng) atau “pura” (kota, tempat suci). Sehingga, pura dalam pengertian ini bermakna tempat suci umat Hindu di Tegaldlimo, Banyuwangi, yang sering dikatikan dengan kompleks suci yang dikelilingi tembok.

Luhur berasal dari bahasa Jawa Kuno atau Kawi “luhur” (tinggi, mulia, suci). Sehingga, makna “luhur” di sini menunjukkan kesucian, keluhuran, atau kedudukan spiritual yang tinggi.

Giri berasal dari bahasa Sansekerta “giri” (gunung atau bukit). Dimaksudkan sebagai simbol kedekatan dengan alam dan kadéwan. Dalam konteks pura ini, mungkin merujuk pada letaknya di perbukitan atau wilayah tinggi di Alas Purwo.

Sedangkan, salaka berasal dari bahasa Jawa Kuno atau Kawi “salaka” (perak). Perak melambangkan kemurnian, kejernihan, dan cahaya spiritual.

Jika disatukan, Pura Luhur Giri Salaka dapat dimaknai sebagai “tempat suci yang mulia di bukit (gunung) yang bersinar suci laksana perak”, mencerminkan posisinya sebagai tempat pembersihan diri dan kontemplasi di tengah belantara Alas Purwo - yang dipercaya sebagai tanah pertama munculnya peradaban Jawa.

Candi bentar Pura Luhur Giri Salaka Alas Purwo, Banyuwangi

Tata Ruang dan Arsitektur Spiritual

Sebagaimana pura-pura di Bali, tata letak Pura Luhur Giri Salaka mengikuti filosofi Tri Mandala, yaitu tiga zona suci, yakni Nista Mandala (Jaban Pisan), Madya Mandala (Jaba Tengah), dan Utama Mandala (Jeroan).

Nista Mandala (Jaban Pisan)

Area paling luar, tempat penyucian diri sebelum masuk ke zona lebih dalam. Gerbang candi bentar berdiri tegak sebagai pemisah dunia profan dan sakral.

Madya Mandala (Jaban Tengah)

Zona tengah untuk persiapan ritual, tempat berdirinya bale kulkul dan bale pawedan, di mana mantra-mantra dibacakan dan kentongan (kulkul)  dibunyikan sebagai penanda dimulainya upacara.

Utama Mandala (Jeroan)

Zona paling sakral, inti dari pura. Di sinilah terdapat padmasana, meru bertingkat sebagai simbol Gunung Mahameru, dan berbagai pelinggih untuk pemujaan roh leluhur dan dewa-dewi.

Bangunan-bangunan ini dibuat dari batu andesit dan bata merah, dengan detail ornamen naga, garuda, dan padma - simbol-simbol spiritual yang merekatkan arsitektur Bali dengan nuansa Jawa Kuno. Atap meru bertingkat yang menjulang di pelataran utama menegaskan hubungan vertikal manusia dengan alam dan Sang Hyang Widhi.

Kori Agung Pura Luhur Giri Salaka Alas Purwo, Banyuwangi

Alam sebagai Simbol

Keunikan Pura Luhur Giri Salaka tak lepas dari lanskap alam di sekitarnya. Dikelilingi oleh lebatnya hutan tropis Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), tempat ini seolah menjadi jembatan antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata. 

Seperti yang pernah ditulis oleh Charles Baudelaire (1821-1846), penyair, penulis esai, penerjemah, dan kritikus seni Prancis, dalam puisinya Correspondances:

“La Nature est un temple où de vivants piliers

Laissent parfois sortir de confuses paroles;

L'homme y passe à travers des forêts de symboles

Qui l'observent avec des regards familiers.”


“Alam adalah kuil tempat pilar-pilar hidup

Terkadang mengeluarkan kata-kata yang membingungkan;

Manusia mendekatinya melalui hutan simbol

Yang mengamatinya dengan tatapan yang familiar.”


Kutipan ini merefleksikan keberadaan Pura Luhur Giri Salaka: ia bukan sekadar tempat ibadah, tapi kuil yang tumbuh dari pangkuan alam, penuh simbol, dan menyimpan lapisan makna yang hanya dapat dirasakan oleh hati yang hening.

Gerbang menuju Utama Mandala

Ruang Spiritual di Tengah Rimba

Tak sedikit peziarah yang datang bukan hanya untuk bersembahyang, tapi juga untuk melukat - ritual penyucian diri - dan meditasi dalam keheningan hutan. Lokasinya yang berdampingan dengan Situs Kawitan, yang ditemukan tahun 1967, memperkuat aura tempat ini sebagai ruang spiritual yang menyambung masa lalu dan masa kini.

Pura ini menjadi saksi dialog hening antara manusia dan alam, antara doa dan daun-daun yang gemetar diterpa angin. Setiap elemen, dari batu candi hingga suara alam, seolah memanggil jiwa untuk kembali ke akar kesadaran.

Di tengah belantara Alas Purwo yang mistis, Pura Luhur Giri Salaka berdiri sebagai penjaga sunyi - menyatu dengan alam dan menjelma menjadi titik temu antara spiritualitas, sejarah, dan simbol-simbol semesta. Di sini, setiap langkah menjadi doa, dan setiap napas adalah bagian dari harmoni kosmik. *** [140725]



Share:

Situs Kawitan, Gerbang Kadéwan di Ujung Timur Jawa

Memasuki gerbang Rowobendo, Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), bagaikan menyelami lorong waktu yang membawa kita ke dimensi spiritual masa lalu Jawa. Di kiri dan kanan jalan beraspal yang membelah hutan lebat, pepohonan mahoni (Swietenia macrophylla) berdiri tegak, menyambut pengunjung dalam suasana yang tenang dan wibawa.

Tak jauh dari gerbang utama, terdapat sebuah pura yang menyimpan kisah kuno, yaitu Situs Kawitan. Terletak di Resor Rowobendo, wilayah administrasi Desa Kendalrejo, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, situs ini bukan sekadar tempat persembahyangan umat Hindu, melainkan sebuah penanda awal, jejak purba yang menghubungkan manusia dengan asal-usulnya.

Fasad Pura Situs Kawitan di Alas Purwo, Banyuwangi

Situs ini pertama kali ditemukan dalam kondisi terkubur pada tahun 1967. Berupa reruntuhan bangunan gapura, situs ini diyakini sebagai petilasan Mpu Bharada, resi agung yang dalam sejarah spiritual Jawa dikenal sebagai guru Raja Airlangga, penguasa Kerajaan Kahuripan dari Kediri yang pernah menundukkan Calon Arang, tokoh mistik yang menciptakan kekacauan di Bali (Zulfahri et. al., 2015).

Konon, dalam perjalanan spiritualnya dari Jawa ke Bali, Mpu Bharada singgah di kawasan Alas Purwo, sebuah kawasan hutan yang secara etimologis berarti "hutan pertama atau awal". Hal ini dikarenakan kata "alas" berarti hutan, dan "purwo" berarti awal dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena itu, Alas Purwo diyakini sebagai daratan pertama yang tercipta di Pulau Jawa.

Demikian pula, nama Situs Kawitan berasal dari kata "kawitan" yang berarti asal atau tempat bermula. Sebuah tempat yang tak hanya menyimpan reruntuhan batu tua, tetapi juga menyimpan makna spiritual tentang awal mula peradaban dan pencarian makna hidup manusia.

Di samping gapura Pura Situs Kawitan terlihat patung kodok dengan dipayungi aneka warna

Di pelataran Situs Kawitan, terdapat storyboard yang menceritakan temuan arkeologis berupa gerbang kuno. Struktur ini terbuat dari batu kapur, khas formasi karst yang terbentuk akibat pengangkatan dari laut dangkal. Sebuah bukti geologis bahwa Alas Purwo menyimpan lapisan sejarah yang sangat tua.

Penelitian mengaitkan reruntuhan ini dengan masa Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang berkuasa pada abad ke-14 Masehi. Dugaan ini diperkuat oleh Prasasti Balawi (1305 M) yang pertama kali menyebutkan nama Blambangan. Sebelum ditemukan, lokasi situs ini dulunya merupakan kebun-kebun labu milik penduduk setempat.

Sementara itu, penemuan cangkang kerang di gua-gua di daerah Alas Purwo juga mendukung teori bahwa pendaratan pertama manusia Austronesia di Jawa terjadi di daerah ini sekitar 3500 SM. Sebuah jejak kuno yang memperdalam makna kawitan sebagai awal kehidupan dan spiritualitas.

Peziarah dari Dusun Krajan, Desa Kedunggebang, Kecamatan Tegaldlimo - Pa Dhe Suparno dan Bu Dhe Mardiyati - dan keponakannya sedang bermeditasi di halaman tengah Pura Situs Kawitan

Setelah situs tersebut ditemukan, masyarakat Hindu di sekitar Tegaldlimo kemudian menjadikannya tempat suci. Untuk menjaga kelestarian situs utama, mereka membangun Pura Luhur Giri Salaka di sebelahnya sebagai tempat ibadah yang lebih luas. Meski begitu, Situs Kawitan tetap berdiri kokoh menghadap ke timur, menyerupai pura-pura di Bali dengan jalan setapak putih yang memancarkan aura sakral.

Memasuki pura Situs Kawitan, pengunjung bisa menyaksikan bongkahan batu karst berukuran besar yang tersusun rapi dan terbungkus kain kuning. Di atas batu tersebut, sebuah persembahan diletakkan sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan keselamatan. Di sinilah spiritualitas bertemu dengan sejarah. Situs Kawitan menjadi gerbang kadéwan, tempat manusia memohon bimbingan Sang Pencipta.

Setiap 210 hari sekali, umat Hindu berkumpul untuk melaksanakan Upacara Pagerwesi, yang jatuh pada hari Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Sebuah ritual untuk menyelamatkan ilmu pengetahuan dari para dewa agar tidak dikuasai oleh raksasa kegelapan. Kata "Pagerwesi" sendiri berarti benteng besi, simbol kekuatan spiritual dan perlindungan diri.

Gerbang Pura Situs Kawitan dilihat dari dalam pura

Upacara ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu pelemahan (persembahan sesaji kepada Bhatara Kala, simbol kekuatan alam), pawongan (prosesi turunnya ilmu pengetahuan dari para dewa), dan khayangan (ungkapan syukur atas pengetahuan dan kehidupan yang diberi).

Situs Kawitan bukan sekadar batu tua yang sunyi. Ia adalah penanda zaman, saksi spiritual, dan monumen budaya yang masih hidup dalam denyut Hinduisme masyarakat Banyuwangi. Dalam kesunyian Alas Purwo, di balik rindangnya pepohonan mahoni, Situs Kawitan berdiri sebagai pengingat tentang asal-usul dan pencarian makna hidup. Bukan hanya tempat suci umat Hindu, melainkan juga titik temu antara sejarah, spiritualitas, dan alam yang tak terjamah.

Melangkah ke Situs Kawitan bukan hanya menapaki menuju sebuah gapura tua bagi peziarah, tetapi juga menyusuri jejak leluhur yang merayakan kehidupan, ilmu pengetahuan, dan hubungan sakral dengan semesta.

Storyboard Situs Kawitan dipasang di pelataran yang dekat dengan jalan beraspal mulus

Seperti yang pernah dikatakan oleh John Muir, Bapak Taman Nasional, “The clearest way into the Universe is through a forest wilderness” (Jalan paling jelas menuju Alam Semesta adalah melalui hutan belantara). 

Maka tak heran jika di jantung hutan purba ini, kita merasa lebih dekat - bukan hanya dengan alam, tapi juga dengan spiritualitas, berupa diri manusia, pepohonan, dan binatang. *** [130725]



Share:

Stasiun Kalisetail: Jejak Panjang Rel di Bumi Blambangan

Stasiun Kereta Api Kalisetail (KSL) bukan sekadar titik persinggahan bagi kereta yang melintas di kawasan timur Pulau Jawa. Terletak di ketinggian +272 meter di atas permukaan laut, di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, stasiun ini menyimpan sejarah panjang yang terukir sejak zaman kolonial Hindia Belanda.

Bangunan utama Stasiun Kalisetail masih mempertahankan arsitektur asli warisan masa lalu meski sudah ada sedikit penambahan-penambahan, menandai jejak kehadiran Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda. 

Peron Stasiun Kalisetail

SS, yang berdiri pada tahun 1875, merupakan pionir dan pesaing kuat dari perusahaan kereta swasta NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij). Dalam ekspansinya di wilayah timur Jawa, SS membangun jalur Kalisat–Mrawan pada tahun 1902 yang dilanjutkan hingga ke Banyuwangi setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1903. 

Jalur sepanjang 58 kilometer ini menjadi bagian dari SS Oosterlijnen - wilayah operasional SS yang mencakup hampir seluruh jalur di selatan dan timur Jawa Timur serta sebagian timur Jawa Tengah.

Genta Stasiun Kalisetail di dekat ruang kontrol

Pembangunan jalur ini bukan tanpa alasan. Daerah Banyuwangi yang kaya akan hasil bumi dan memiliki potensi pelabuhan penting di ujung timur Jawa, menjadi magnet ekonomi yang harus dihubungkan ke pusat produksi dan distribusi di wilayah barat dan tengah Jawa. Maka, kehadiran Stasiun Kalisetail menjadi penting sebagai simpul penghubung dalam jaringan transportasi ini.

Berbeda dengan kemegahan stasiun besar lainnya, Stasiun Kalisetail dibangun secara sederhana. Awalnya, peronnya bahkan belum memiliki kanopi. Namun, transformasi terus dilakukan. Pada Desember 2023, stasiun ini telah dilengkapi dengan kanopi (overcapping) di peron, memberikan kenyamanan bagi penumpang yang menunggu atau naik-turun kereta api, bebas dari panas dan hujan.

KA Ijen Express memasuki Stasiun Kalisetail pada pukul 20.25 WIB di hari Selasa (17/06)

Kini, Stasiun Kalisetail dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) di bawah wilayah Daerah Operasi 9 Jember dan menyandang status sebagai stasiun kelas 1. Lokasinya yang strategis - berada di Jalan Raya Kalisetail No. 11, tak jauh dari Pasar Desa Sempu dan deretan pusat kuliner setempat - membuatnya ramai oleh lalu lintas penumpang dari berbagai daerah. 

Tiga jalur aktif melayani kegiatan operasional stasiun ini, di mana jalur 2 menjadi sepur lurus, dan jalur 1 serta 3 digunakan untuk persilangan antar kereta, baik dari yang datang dari arah barat (Stasiun Kempit) maupun dari arah timur (Stasiun Temuguruh).

Setiap dentuman roda kereta yang melintas di atas rel Stasiun Kalisetail membawa lebih dari sekadar penumpang - ia membawa memori, cerita, dan semangat perjalanan yang terus bergerak maju, menyambungkan masa lalu dengan masa depan Banyuwangi dan Indonesia. *** [270625]



Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami