Prasasti
batu yang masih in situ ditemukan di
Dukuh Watugodeg, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Provinsi
Jawa Timur. Daerah Turen, yang merupakan penyesuaian bunyi dari Turyyan.
Tampaknya, inilah salah toponimi pada masa Mataram Kuno yang masih lestari.
Prasasti
ini berukuran: tinggi 130 cm, lebar 118 cm, dan tebal 21 cm. Bertulisan pada
kedua sisinya, sisi depan berjumlah 43 baris dan sisi belakang berjumlah 32
baris.
Prasasti
Turyyan telah dialihaksarakan dan dibahas secara ringkas oleh J.G. de Casparis
(1988) dalam tulisannya yang berjudul “Where
Was Pu Sindok’s Capital Situated?”, Studies in South and Southeast Asian
Archaeology No. 2:39-52.
Menurut
de Casparis, di dalam prasasti Turyyan disebutkan mengenai pengelompokan para
pejabat pemerintahan berdasarkan strata tingkatan jabatan dan kepangkatan,
seperti Rakai, Rakryan, Samgat, Pu, Sang Dyah, Si, dan lain-lain.
Selain itu, prasasti ini juga menerangkan bahwa pada bulan Śrawana tanggal 15 Śuklapaksa tahun 851 Śaka (24 Juli 929 Masehi), Dang Atu Pu Sahitya, seorang dari Desa Kulawara, telah memohon kepada Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa, agar diberi hadiah tanah untuk mendirikan suatu bangunan suci. Permohonan itu dikabulkan raja, dan diambilkan sebidang sawah di Desa Turyyan yang menghasilkan pajak sebesar 3 suwarna emas. Pajak yang dihasilkan Desa Turyyan setahun adalah 1 kati dan 3 suwarna emas; yang 3 suwarna itulah yang dianugerahkan kepada Dang Atu Pu Sahitya. Ditambah lagi dengan sebidang tanah tegalan di sebelah barat sungai dan tanah di sebelah utara pasar Desa Turyyan. Tanah yang di sebelah barat sungai itu untuk tempat mendirikan bangunan suci, dan penduduknya hendaknya bekerja bakti membuat bendungan terusannya sungai tadi, mulai dari Air Luah, sedangkan tanah di sebelah utara pasar itu untuk kamulan dan pajak yang 3 suwarna emas itu, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya dijadikan sawah untuk tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu.
Tanah pemberian ini sekarang menjadi wilayah di sebelah barat sungai dan di sebelah utara pasar Turen. Di dalam prasasti ini juga disebutkan tentang pengaturan pajak dan perintah kerja bakti untuk membuat bendungan. Sisa pembangunan bendungan masih dapat ditemukan di Sungai Jaruman yang terletak di sebelah barat pasar Turen sekarang. Dari bendungan ini dibuatkan saluran menuju ke tegalan di sebelah barat sungai. Saluran ini oleh masyarakat setempat disebut sebagai Kali Mati. Sedangkan nama desa (wanua) Gurung-gurung, sekarang menjadi Dusun Urung-urung yang terletak di Kelurahan Bakalan Krajan, Kecamatan Sukun, Kota Malang.
Prasasti Turyyan juga menyebutkan beberapa
contoh komoditi yang biasa dipikul pedagang, seperti pakaian, perkakas logam
(tembaga, besi, perunggu, timah), daun untuk pembungkus, kapur, kapas,
mengkudu, minyak, gula, beras, dan lainnya.
Pasar, sesuai yang tercatat dalam prasasti tersebut, pada umumnya
terletak di dekat aliran sungai atau kawasan strategis untuk lalu lintas
perdagangan. Dan di dalam prasasti tersebut juga dituliskan bahwa ibu kota
pertama dari Medang pada zama Pu Sindok adalah Tamwlang (“sri maharaja makadatwan I tamwlang”). Letak Tamwlang , yang hingga
kini hanya ditemui di dalam prasasti Turyyan itu saja, mungkin di dekat Jombang
sekarang, di sana masih ada Desa Tambelang. Desa tersebut diperkirakan merujuk
kepada Desa Tambelang, Kecamatan Tambelang, Kabupaten Jombang. ***
Kepustakaan:
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,
2008, Sejarah Nasional Indonesia II:
Zaman Kuno, Jakarta: Balai Pustaka
Nastiti, Titi Surti, 2003, Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII – XI Masehi, Jakarta: PT.
Dunia Pustaka Jaya
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/06/petualangan-melancongi-pasar-zaman-mataram-kuno
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/06/petualangan-melancongi-pasar-zaman-mataram-kuno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar