Prasasti
Waharu IV berangka tahun 853 Çaka atau 931 M yang terdiri dari enam
lempeng tembaga berukuran 36 cm x 10 cm. Setiap lempeng memuat 7 baris tulisan
yang ditulis pada kedua sisinya, kecuali lempeng pertama.
Prasasti
yang ditemukan di daerah Gresik, Jawa Timur, merupakan prasasti dari Raja Pu
Sindok yang disalin kembali pada masa Majapahit. Kini disimpan di Museum
Nasional, Jakarta, dengan nomor E 20 a-f. Prasasti ini telah dialihaksarakan
oleh A.B. Cohen Stuart (1875) dalam KO, prasasti nomor 7; serta Boechari dan
A.S. Wibowo (1985/1986) dalam Prasasti
Koleksi Museum Nasional.
Prasasti
ini menyebutkan “sambandha. gati wargga /II.a.1/
haji an nityasa suṣṭu
bhakti mamrihakên
ri ṡri mahārāja riŋ
samarakāyya makacihna saňjata wargga haji /2/ sarā dhirotsahā
saňukasuranya maka rahineng wňi saha doja. tabêtabêhan
umiring bala pāduka ṡri
mahā /3/ rāja
aňrarah umilaňakên
sakahananing ṡatru kaňkên
andhakārāwaṡarira”, yang artinya penduduk Desa
Waharu telah mendapat anugerah raja, karena penduduk Desa Waharu di bawah
pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja, ikut berusaha agar
raja menang dalam peperangan dan mengerahkan senjata, tanpa ingat siang ataupun
malam dalam mengikuti bala tentara raja sambil membawa panji-panji dan segala
macam bunyi-bunyian, pada waktu raja hendak membinasakan musuh-musuhnya yang
dianggap sebagai perwujudan kegelapan.
Wanua I waharu atau Desa Waharu
diperkirakan adalah Lowok Waru yang terletak di wilayah Kecamatan Lowok Waru,
Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Secara toponimi, perubahan nama dari
waharu atau waru menjadi Lowok Waru kiranya merupakan suatu gejala yang sudah
lazim.
Selain
itu, prasasti Waharu IV juga memuat hukuman berupa kutukan. Kutukan, menurut
prasasti ini adalah “yan apara paran
umaliwat ing tgal sahutên
dening ulâ mandhi, ring alas dmakên dening wyâghra
… ring wwai sahutên
dening wuhaya …” (jika pergi melewati tegalan agar dipatuk oleh ular
berbisa, jika pergi ke hutan supaya ditubruk macan … jika pergi ke sungai
supaya dimakan buaya …). Malahan ditambahkan “yan hudan sâmbêrên
dening glap yan angher ing umah katibana bjrâgni
glap tanpa hudan liputên
gêsêngana
de sang hyang agni …” (jika sedang turun hujan supaya disambar petir, jika
sedang di rumah supaya kejatuhan halilintar dan petir tanpa hujan supaya
terbakar oleh api). ***
Kepustakaan:
Marwati Doened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,
2008, Sejarah Nasional Indonesia II:
Zaman Kuno, Jakarta: Balai Pustaka
Timbul Haryono, 1999, Sang Hyang Watu Têas dan Sang
Hyang Kulumpang: Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sîma pada Masa Kerajaan Mataram Kuna, dalam Humaniora No. 12 September-Desember 1999
Titi Surti Nastiti, 2003, Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII – XI Masehi, Jakarta: PT.
Dunia Pustaka Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar