Masyarakat Jawa masih mengenal apa yang disebut sebagai “sajen” sesaji, dan masih ada yang meneruskan tradisi tersebut. Namun apa yang telah menjadi tradisi masyarakat Jawa, oleh masyarakat modern dianggap sebagai klenik, mistis, irasional, dan segala jenis sebutan lain yang berkesan negative terhadap tradisi sajen. Hanya sedikit orang yang melihatnya sebagai bentuk lain dari doa. Dalam kata lain, sesaji adalah wujud dari system religi masyarakat Jawa.
Ada beragam jenis sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa. Ragam sesaji tersebut adalah mewakili siklus kehidupan manusia Jawa, yaitu: metu-manten-mati (lahir-pernikahan-kematian). Kesemuanya mempunyai makna sebagai symbol doa dan harapan.
Sajen Kelahiran
Sajen brokohan. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesaji berupa kelapa tidak utuh, gula jawa tidak utuh, cendhol/dhawet dalam periuk kecil, dan telur bebek mentah. Di samping itu, juga sesaji yang berupa sepasang ayam dewasa yang diletakkan dalam kurungan kranji. Makna sajen brokohan merupakan manifestasi dari siklus manusia ketika masih di dalam rahim Sang Illahi. Sebelum embrio terbentuk, embrio tersebut berasal dari pertemuan benih laki-laki yang berupa sperma (dalam bahasa Jawa kuno sukra) dengan benih perempuan yang berupa sel telur (swanita). Kelapa tidak utuh merupakan symbol sel sperma, sedangkan gula jawa symbol sel telur. Ketika keduanya bertemu muncullah bibit kehidupan atau embrio, yang disimbolkan dengan cendhol/dawet dalam periuk kecil. Menurut orang Jawa, embrio-embrio ini (rohnya) masih berada di alam awung-awung atau langit biru, disimbolkan dengan telur bebek yang kulitnya berwarna biru langit. Siklus manusia yang masih berada di rahim Sang Illahi belum bebas adanya, disimbolkan oleh sepasang ayam dewasa dalam kurungan kranji.
Sajen Pisang Sanggan. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk pisang raja setangkep (dua sisir) buahnya berjumlah genap dalam masing-masing sisirnya. Di atasnya terdapat kembang telon (kanthil, melati, kenanga), seikat benang lawe, dan ubarampe kinang atau ganten (daun sirih, injet/kapur, gambir, susur/tembakau, buah jambe, dan daun sogok telik), masing-masing diletakkan dalam sebuah takir dan ditambah dengan boreh. Makna sajen pisang sanggan dan kembang telon adalah ketika sudah mencapai bulan kelahiran, maka jabang bayi akan lahir ke dunia. Ceritanya, saat Dewa Siwa telah mendapatkan air amerta (air kehidupan) dari hasil mengaduk-aduk laut, maka yang digambarkan adalah wujud dunia ini, yang kemudian disimbolkan dengan pisang raja. Orang Jawa kuno sudah beranggapan bahwa, bumi ini bulat tanpa ujung pangkalnya. Sedangkan sesaji kembang telon, melati, kanthil dan kenanga merupakan perwujudan dari ketiga dunia ini. Paham Jawa kuno mengenal tiga dunia, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Sesaji dalam wujud ubarampe kinang dan boreh bermakna bahwa bayi yang lahir pasti disambut dengan suasana suka cita seperti makan kinang akan merasakan manis. Begitulah gambaran manusia hidup di bumi dalam mencari hidup selalu ada pergulatan.
Sajen Tumpeng Gundhul. Sajen ini diwujudkan dengan tumpeng tanpa dihiasi dengan ubarampe apapun, wujudnya putih polos dan dengan dikelilingi tujuh variasi jenang dalam tujuh wadah takir, missal jenang putih, jenang abang, jenang putih palang jenang abang, jenang putih sedikit jenang abang, jenang boro-boro (jenang putih diberi parutan kelapa dan irisan gula jawa) dan separo jenang abang dan putih. Semuanya ditempatkan dalam ‘nyiru’ tampah. Sajen ini sebagai symbol dari bayi yang lahir ke dunia masih dalam keadaan polos, bersih, dan suci lahir batin. Ia lahir ke dunia belum mempunyai apa-apa dan belum ada apa-apanya, yang dimiliki hanyalah jiwa raga yang melekat pada dirinya. Ketujuh jenang mempunyai makna bahwa saat kelahiran bayi, ia akan selalu disertai oleh tujuh saudaranya dalam kehidupannya. Ketujuh saudaranya (dalam tradisi Jawa kuno) berasal dari daerahnya, kawahnya, kotorannya, ari-ari dan lain-lain.
Sajen Pernikahan
Sajen Sega Punar. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk nasi kuning yang dilengkapi dengan lauk pauk, seperti abon, kedelai hitam, bawanga merah goring, ayam goring, irisan telur dadar, sambal goring, mentimun dan daun kemangi. Semuanya diletakkan dalam nyiru. Sajen ini adalah gambaran bersatunya dua hati perempuan dan laki-laki dalam ikatan perkawinan. Keduanya diharapkan dapat seiring sejalan dan harmonis dalam membangun rumah tangga dan saat terhun di dalam kemasyarakatan. Rasa egois harus ditinggalkan jauh-jauh, mereka harus dapat menerima apa adanya, menerima kekurangan masing-masing dan berusaha melengkapinya, sehingga menjadi satu kelebihan. Sajen sega punar ini dalam setiap upacara panggih manten Jawa selalu disertakan dalam acara dhahar walimah, yang menggambarkan bersatunya du hati menjadi satu ikatan batin yang utuh.
Sajen Sega Kebuli. Sajen diwujudkan dalam bentuk nasi putih dengan lauk pauk seperti telur ceplok, abon, aayam goring, sambel goreng, krupuk udang, mentimun dan daun kemangi. Semuanya ditempatkan dalam sebuah tampan ‘nyiru’. Konon, nasi kebuli berasal dari budaya Timur Tengah. Makna sajen ini adalah menggambarkan perjalanan hidup suami isteri yang diharapkan selalu dalam keadaan selamat, mendapat berkah dari Tuhan, dan segala permohonan dan harapannya terkabulkan oleh Tuhan. Setelah pernikahan terjadi, keduanya pasti selalu memohon kepada Tuhan, agar di dalam melaksanakan kehidupan mendapat rahmat, terhindar dari segala mara bahaya dan mudah mendapat rezeki.
Sajen Sega Golong. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian yang berupa dua buah nasi golong, yang masing-masing diselimuti/dibalut dengan telur dadar, pecel panggang ayam, daun kemangi dan dilengkapi dengan jangan menir (sayur menir) dan jangan padhamara. Khusus jangan menir dan jangan padhamara, masing-masing ditempatkan terlebih dahulu dalam cuwo/cowek (cobek) terbuat dari gerabah. Baru kemudian semua sajen ditempatkan dalam sebuah tampah ‘nyiru’. Maka sajen ini adalah menggambarkan kedua insan yang mempunyai niat saling membantu dalam membangun mahligai rumah tangga. Begitu pula dalam kebutuhan lahir batin, mereka saling mengisi, saling member dan menerima. Istilah golong lulut dalam bahasa Jawa kuno mengacu pada hubungan suami isteri atau intercourse. Oleh karena itu, sega golong yang diselimuti oleh telur dadar sebagai symbol hubungan suami isteri tersebut.
Sajen Kematian
Sajen Ketan Kolak. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian yang berupa tujuh buah apem, ketan dan kolak (pisang dan ketela). Semuanya ditempatkan di dalam tampah ‘nyiru’ yang telah diberi alas daun pisang. Makna sajen ketan kolak ini adalah menggambarkan seseorang yang telah meninggal dunia dan siap kembali menyatu dengan Sang Illahi. Agar dapat mencapai dengan selamat dan sempurna di sisi-Nya, dan arwahnya tidak nglambrang atau pergi tak tentu arah, maka disimbolkan dengan sajen ketan kolak apem. Sajen ini juga sering dijumpai pada saat tradisi ruwahan, yang intinya memohon kepada Tuhan agar arwah orang yang diselamati dapat kembali ke Sang Illahi dan tidak nglambrang.
Sajen Kendhi. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian berupa kendhi ditutup dengan daun dhadhap serep. Air tempuran adalah pertemuan dua arus sungai. Makna sajen ini adalah menggambarkan sudah pulangnya kembali arwah yang sudah meninggal di sisi Sang Illahi, seperti sebelum dilahirkan. Dengan demikian, diharapkan arwah tersebut dapat kembali menuju ke dunia kelanggengan, dunia yang kekal abadi.***
Sumber :
Buletin CITRA SOLO edisi 03/V/2011 hal. 10 - 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar