Di antara sekian banyak tinggalan bangunan kuno, Candi Pari ini termasuk yang terbagus dan terlengkap konstruksinya. Candi ini terletak di tengah-tengah perumahan penduduk yang relative padat dan ramai, pernah dipugar oleh BP3 Jawa Timur pada tahun 1994 hingga 1999. Candi Pari yang terletak di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, didirikan pada tahun 1293 Saka (1371 M) pada masa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Di dalam candi ini ditemukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganesa dan 3 arca Buddha yang semuanya disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Dari berbagai temuan arca tersebut membuktikan bahwa Candi Pari berlatar belakang agama Hindu.
Arsitektur Candi Pari terdiri dari kaki candi, badan candi, bilik candi dan atap candi. Secara keseluruhan dibuat dari batu bata hanya ada beberapa bagian yang dibuat dari batu andesit. Kaki candi terdiri dari dua bagian, bagian pertama berdenah empat bujur sangkar. Mempunyai 2 pintu masuk ke dalam bilik, dengan arah utara selatan dan selatan utara, hal seperti ini tidak pernah ditemukan dalam arsitektur percandian Jawa Timur. Kaki candi kedua berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang 10 m dan lebar 10 m dengan tinggi 1,95 m. Pada salah satu sisinya terdapat tangga naik menuju ke bilik, tangga ini sudah hasil renovasi yang dilakukan oleh BP3 Jawa Timur. Badan candi berbentuk bujur sangkar sedangkan pintu masuk candi berbentuk segi empat.
Bilik candi, merupakan tatanan baru hasil pemugaran BP3, dengan menggunakan batu lama susunan lantai asli masih tampak di sudut barat daya dan sudut barat laut. Ukuran bilik 6 x 6 m. Atap candi, sebagian telah runtuh, dengan ukuran panjang 7,80 m dan lebar 7,80 m serta tinggi 4,05 m. Hiasan yang masih tampak pada dinding atap berupa hiasan menara-menara pajal walaupun sudah tidak lengkap lagi dan antefik yang sudah aus.
Sebagaimana bangunan kuno, pada umumnya ada beberapa legenda yang dihubungkan dengan Candi Pari ini. Konon, pada zaman dahulu kala, ada seorang tua yang hidup di pertapaan bernama Kyai Gede Penanggungan dan adiknya seorang janda yang bernama Janda Ijingan. Kyai Gede Penanggungan mempunyai dua orang puteri bernama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin, sedangkan adiknya Janda Ijingan mempunyai putera yang tampan bernama Jaka Walang Tinunu. Ketika sedang memancing ikan bersama dua sahabatnya, Satim dan Sabalong, mereka menemukan ikan deleg yang ternyata adalah jelmaan manusia tampan yang kemudian diberi nama Jaka Pandelegan.
Kedua pemuda tersebut kemudian membuka lahan di sekitar tempat tinggal Kyai Gede Penanggungan dan membuat kedua putrinya jatuh hati. Walaupun tanpa izin orang tuanya, kedua pasang kekasih tersebut tetap menikah dan mengerjakan sawah hingga berhasil panen dengan baik. Ketika itu Kerajaan Majapahit sedang paceklik dan raja mendengar bahwa di Kedung Soko ada orang arif yang memiliki padi berlimpah. Raja meminta supaya orang itu yaitu Jaka Walang Tinunu diminta menghadap beliau, dan diketahui bahwa ternyata Jaka adalah putra raja. Maka raja meminta Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan hidup bersama di kerajaan.
Jaka Pandelegan dan istrinya Dewi Lara Walang Angin ternyata tidak bersedia, dan mereka memilih moksa. Karena kekagumannya kepada suami istri tersebut, Raja Brawijaya memerintahkan untuk didirikan candi di tempat moksa kedua orang tersebut.
Candi Pari didirikan di tempat Jaka Pandelegan moksa sedangkan Candi Sumur didirikan di tempat Dewi Lara Walang Angin moksa. ***
Kepustakaan:
- Endang Prasanti dalam Buletin Museum Mpu Tantular Nawasari Warta edisi Desember 2011 hal. 4 – 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar