Cengkeh dan pala adalah komoditas unik. Keduanya sangat dibutuhkan, tetapi tidak boleh berlebihan agar harganya tidak jatuh. Mahalnya harga cengkeh dan pala pada masa lalu dipicu oleh langkanya kedua komoditas di pasar dunia. Penyebab utamanya adalah sulitnya akses ke pulau-pulau kecil penghasil rempah itu di Maluku. Jalur perdagangan yang panjang dan berbahaya membuat harga cengkeh dan pala di pasar Eropa setara dengan emas.
Kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), menyadari betul prinsip ini. Oleh karena itu, dengan segala cara mereka berupaya memonopoli perdagangan cengkeh dan membatasi produksi.
Prinsip dagang itu meruyakkan tragedi. Para penguasa setempat yang tidak bersedia menjual rempah hanya kepada VOC dihabisi. Pada 1621, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengirim armada dari Batavia ke Banda untuk menghancurkan masyarakat setempat yang menolak monopoli Belanda.
Williard A Hanna dalam Indonesia Banda, Colonialism and its Aftermath in the Nutmeg Islands (1991) menyebutkan, pasukan VOC terdiri atas 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) ditambah 250 orang dari garnisun di Banda. Sebanyak 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu, terdapat 80-100 orang Jepang, beberapa di antaranya dijadikan algojo pemenggal kepala.
Perlawanan rakyat Banda akhirnya dipatahkan. Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda dihukum mati, sebagian lain dibawa ke Batavia untuk dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia mencapai 883 orang, terdiri dari 287 pria, 356 perempuan, dan 240 anak-anak. Sebanyak 176 orang meninggal dalam perjalanan.
Belanda juga menyingkirkan pesaing-pesaing dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol, dan Inggris dengan kejam. Pada 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, para pedagang Inggris juga dibantai serdadu bayaran VOC, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post dalam buku The Admiral’s Baby (1996): “… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”
Kekejian ini terus berlangsung. Belanda menggunakan armada laut dengan perahu kora-kora yang dilengkapi senjata, lalu menghancurkan cengkeh yang ditanam warga. Pelayaran itu dikenal sebagai Hongi-Tochten. “Hongi-Tochten merupakan pelayaran dengan perahu kora-kora yang tujuannya merusak,” kata Sultan Ternate Mudaffar Syah.
Menurut Mudaffar, akibat pelayaran itu, penduduk Ternate sangat menderita. “Cengkeh itu adalah hidup rakyat Ternate, bahkan hingga kini cengkeh masih menjadi sumber penghidupan utama warga,” katanya.
Sejarawan Universitas Khairun Ternate, Nani Djafar, dalam paper-nya di Historia: Journal of Historical Studies berjudul Maluku sebagai Provinsi Maritim di Indonesia: Perspektif Kajian Sejarah, Ekonomi, dan Modernisasi (2007) menyebutkan, patrol perahu tradisional Maluku, kora-kora, yang digunakan Belanda itu bertujuan untuk mengurangi produksi cengkeh dan memonopoli perdagangannya.
Dalam tulisannya berjudul Mapping Buru: The Politics of Territory and Settlement on an Eastern Indonesian Island (dalam buku Sharing the Earth, Dividing the Land, 2006), Barbara Dix Grimes menyebutkan, pelayaran Hongi dilakukan oleh VOC setelah produksi cengkeh melampaui kebutuhan dunia waktu itu.
Untuk mengontrol produksi, VOC menetapkan Ambon dan Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut) menjadi satu-satunya daerah yang boleh ditanami cengkeh. Setiap kepala keluarga di kepulauan itu diperintah untuk menanam 10 pohon cengkeh per tahun. Untuk memastikan tidak ada pohon cengkeh di tanam di areal lain, setiap tahun VOC melakukan patrol di Maluku.
Patroli inilah yang kemudian dikenal dengan pelayaran Hongi. Menurut Mudaffar, warga yang menentang kemudian menanam cengkeh di hutan-hutan tersembunyi. Salah satu cengkeh tua yang masih selamat adalah cengkeh afo yang berusia lebih dari 300 tahun di Marikurubu, lereng Gunung Gamalama. ***
Sumber:
KOMPAS edisi Sabtu, 28 Juli 2012 hal. 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar