Trinil
sebenarnya adalah nama suatu kawasan yang banyak ditemukan fosil dan menjadi
obyek penelitian Eugene Dubois yang meliputi 3 desa yaitu Desa Kawu, Gemarang,
dan Desa Ngancar. Ketiga desa ini berada di lekukan sungai Bengawan Solo, yang
kala itu sungai Bengawan Solo masih memiliki debit air yang lumayan banyak
laksana sungai Nil di Mesir. Karena itulah, kawasan obyek penelitian Dubois itu
dinamakan Trinil. Trinil berasal dari kata tri
dan nil. Tri bermakna tiga, artinya kawasan tersebut terdiri atas 3 desa
yang menjadi obyek penelitian Dubois, dan nil menggambarkan sungai Nil. Karena
kala itu, sungai Bengawan Solo merupakan sungai yang besar dengan volume air
yang melimpah, dan terpanjang di Pulau Jawa.
Kawasan ini menjadi terkenal dengan sebutan Trinil memang tidak terlepas dari kiprah Dubois. Pada waktu itu, teori akbar tentang evolusi membahana dilontarkan oleh Charles R Darwin pada abad 19 telah mengusik pikiran cemerlang seorang bocah kelahiran Eijden, Belanda pada tahun 1858 yaitu Eugene Dubois.
Sewaktu
kecil, Dubois memang telah menunjukkan minat besar akan masa lalu. Di waktu
senggang, dikorek-koreknya tanah pekarangan dan hutan di sekitar rumahnya untuk
mengumpulkan contoh batu, tulang-tulang binatang dan lain sebagainya. Setelah
lulus sekolah kedokteran, ia berminat sekali untuk mendaftarkan diri bekerja di
Hindia Belanda dengan tujuan utama mencari missing
link, yang menurutnya harus dicari di daerah tropis yang tidak pernah
tersentuh dinginnya es. Namun minat besarnya sebagai ilmuwan tidak serta merta
bisa terwujud lantaran ada aturan bahwa orang Belanda yang ingin bekerja di
Hindia Belanda diwajibkan untuk masuk militer dulu. Akhirnya, Dubois mengikuti
pelatihan camp militer di Belanda
sebagai wajib militer, dan lulus sebagai dokter militer.
Pada 29 Oktober 1877, Dubois bertolak ke Sumatera dengan menumpang kapal The SS Prinse Amalia. Dua tahun lebih, Dubois mengeksplorasi gua-gua di Sumatera, tetapi tulang-tulang yang ditemukan tidak sesuai dengan keinginannya. Pencarian missing link diarahkan ke Pulau Jawa setelah mendengar temuan Manusia Wajak di Tulungagung oleh BD van Rietschoten pada 24 Oktober 1889. Di Pulau Jawa, Dubois tertarik dengan endapan Sungai Bengawan Solo yang diyakininya menyimpan kronologi kehidupan selama jutaan tahun. Pada tahun 1891, di daerah Trinil, Ngawi, Jawa Timur, ditemukan atap tengkorak dan gigi manusia “yang menyerupai kera”. Dan setahun kemudian ditemukan pula tulang paha kiri dari individu yang sama. Temuan tersebut oleh Dubois diberi nama Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berjalan tegak). Pithecanthropus erectus adalah homo erectus dari Jawa. Fosil ini dimasukkan dalam genus homo erectus, yang mulai muncul ke dunia pertama kali pada periode 1,8 juta tahun yang lalu di Afrika dan menyebar ke seluruh permukaan dunia hingga mencapai Pulau Jawa, dan punah sekitar 100.000 tahun silam. Jawaban pasti tentang polemik berkepanjangan akan missing link terjawab telak di tangan Dubois. Sejak itu, nama Pithecanthropus erectus dan Trinil, Ngawi, Jawa Timur bergema nyaring di dunia ilmiah dan kisahnya telah ditulis dengan tinta emas dalam lembaran publikasi dunia.
Selama
adanya aktivitas ekskavasi di Trinil, seorang warga bernama Wirodiharjo
tertarik untuk ikut mengamati aktivitas tersebut. Beliau berpikir, untuk apa
fosil-fosil tulang itu digali dan dikumpulkan. Setelah mengetahui tujuan
eksakvasi yang dilakukan oleh Dubois dengan dibantu tentara bawahannya yang
tinggal di Benteng Van Den Bosch, Wirodiharjo sejak tahun 1967 mempunyai
gagasan mengumpulkan/melestarikan tinggalan fosil-fosil yang sering dijumpai di
tepian Sungai Bengawan Solo. Kemudian fosil tersebut disimpan di rumahnya
hingga 1/3 rumahnya terisi fosil. Sehingga, Wirodiharjo lebih dikenal sebagai
Wirobalung, karena aktivitasnya yang suka mengumpulkan balung buto atau fosil-fosil manusia purba.
Akhirnya,
pada tahun 1980/1981 Pemda mendirikan Museum Mini untuk menampung fosil koleksi
Wirodiharjo. Lalu, mengingat hasil penggalian/penemuan serta tugu sebagai
monument penunjuk arah tempat
ditemukannya fosil Pithecanthropus
erectus tinggalan Dubois yang sudah dikenal sejak tahun 1891 maka
Pemerintah Provinsi Jawa Timur membangun Museum Trinil, dan diresmikan
bersamaan dengan peringatan 100 tahun penemuan Pithecanthropus erectus oleh Gubernur Jatim Soelarso pada tanggal
20 November 1991.
Museum
ini terletak di Dusun Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten
Ngawi, Provinsi Jawa Timur, ± 15 Km dari Kota Ngawi jalan menuju ke arah Solo.
Museum ini menempati bekas rumah dan pekarangan milik Wirodiharjo yang telah
dilakukan ganti rugi, dan persis berada di tepian Sungai Bengawan Solo.
Museum
ini memiliki beberapa fasilitas penunjang dalam menyelenggarakan permuseuman,
yaitu: Pendopo, Ruang Pamer Tetap, Ruang Kantor Museum, Storage (gudang koleksi), beserta fasilitas penunjang lainnya,
termasuk halaman museum yang sangat luas yang bisa dipergunakan untuk kegiatan
pendukung permuseuman. Museum ini menempati areal tanah seluas 2,5 Ha, dengan
luas bangunan publik 500 m² dan 200 m² untuk bangunan non publik. Bangunan
publik merupakan bangunan untuk fasilitas umum, seperti tempat penjualan tiket,
ruang informasi, ruang pameran tetap, taman bermain anak-anak, sarana ibadah,
toilet, dan tempat parker. Sedangkan, bangunan non publik terdiri atas kantor
museum, ruang studi koleksi, storage,
dan laboratorium.
Selain
fosil manusia purba, museum ini juga memamerkan fosil tulang rahang bawah macan
(felis tigris), fosil gigi geraham
atas gajah (stegodon trigonocephalus),
fosil tanduk kerbau (bubalus
palaeokerabau), fosil tanduk banteng (bibos
palaeosondaicus), serta fosil gading gajah purba (stegodon trigonocephalus). Fosil-fosil hewan ini umumnya lebih
besar dan panjang daripada ukuran hewan sekarang. Dan juga, terdapat koleksi
berupa batu andesit, batu putih, bata, keramik, terakota dan logam
Dengan dibangunnya museum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, pendidikan, tempat rekreasi serta mengangkat kehidupan perekonomian masyarakat sekitar. *** (070413).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar