Prasasti
Dalung merupakan prasasti yang terbuat dari lempengan tembaga. Bertuliskan
aksara Arab Pegon, dan berbahasa Jawa Banten. Prasasti ini dikeluarkan oleh
Sultan Banten untuk mengatur perniagaan dan pelayaran di daerah Lampung.
Prasasti ini terdiri dari 32 baris yang dikelompokkan dalam 12 poin yang bisa disebut pasal. Tiap-tiap pasal ditulis pada baris baru dan diakhiri dengan tanda lingkaran kecil dengan titik di tengahnya. Pada pasal penutup berbunyi: “Dhawuh undang-undang dalem Îki ing akhiring wulan Jumadil awal tahun Be’ séwu satus rong tahun lumaku saking hijrah Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wassalam”
Prasasti
yang sebenarnya berisi hukum laut dan perdagangan ini, ditetapkan pada akhir
bulan Jumadil Awal Tahun Be 1102 Hijriyyah, atau bertepatan dengan akhir
Februari 1691 M.
Prasasti ini ditemukan oleh Abu Bakar Hasirah di Desa Bojong, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Lalu, sepeninggal Abu Bakar Hasirah, prasasti ini dimiliki oleh keturunannya di Desa Bojong, yaitu Dalom Rusdi. Namun, kabar terakhir dari Syaiful, salah seorang petugas Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo, prasasti Dalung yang asli sekarang dipegang oleh Hasan Wakal, Kepala Desa Bojong, yang juga merupakan salah satu keturunan pemegang sebelumnya. Rumah Informasi hanya memasang replikanya saja, termasuk Museum Lampung juga memamerkan replikanya yang dibuat pada tahun 2003 dengan No. Inventaris 3968.
Dengan adanya penemuan prasasti Dalung ini, membuktikan bahwa di Situs Purbakala Pugungraharjo ini telah masuk Islam. Diperkirakan masuknya Islam melalui Way Sekampung dan Way Sekampung (dekat Kota Metro) diketemukan dua buah medali Sam Pho Khong. *** (310313)
Asal usul desa Bojong
BalasHapusKeratuan Pugung telah dihuni penduduk sejak sebelum di-
temukannya peninggalan-peninggalan prasejarah dan sebelum
masuknya agama Islam di Pugung.
Keratuan Pugung telah mengadakan kontak dengan Sultan
Hasanudin, Banten, sejak tahun 1682 atau 1104 H (lihat lampiran).
Ratu Pugung mempunyai dua orang putri yang bemama putri
Penyinar Kaea dan Putri Penyinar Alam.
Sultan Hasanudin melihat dari Banten bahwa di daerah Pu-
gung terlihat sinar terang. Beliau kemudian datang ke Pugung de-
ngan maksud ingin melamar putri Ratu Pugung yang bemama pu-
tri Penyinar Alam.
Dengan tipu muslihat, lamaran Sultan Hasanudin diterima
oleh Ratu Pugung. Putri atau anak Ratu Pugung yang dinikahkan
dengan Sultan Hasanudin bukan putri Penyinbr Alam, melainkan
putri Penyinar Kaea. Pu.tri tersebut kemudian dibawa oleh Sultan
Hasanudin ke Banten.
Setahun kemudian, putri Penyinar Kaea hamil. Sultan Ha-
sanudin merasa telah dibohongi oleh Ratu Pugung karena temyata
ia masih melihat sinar di atas keratuan Pugung. Sultan Hasanudin
kemudian datang kembali ke Pugung untuk melamar putri Penyi-
nar Alam. Ratu Pugung tidak berani menemui Sultan Hasanudin
dan pergi menghilang entah ke mana.
Putri Penyinar Alam pun kemudian hamil. Sultan Hasanudin
kembali ke Banten tanpa putri Penyinar Alam. Sultan Hasanudin
tidak pemah kembali ke Pugung sampai ia mengutus seorang
Wali yang bemama W ali Wenang. Wali Wenang diutus oleh Sultan
Hasanudin ke Pugung dengan maksud untuk menyebarluaskan
ajaran agama Islam di Pugung yang pada waktu itu masih menga-
nut ajaran agama Hindu/Budha.
Tuan Kiyai Wali Wenang mempunyai