Sukadana
terletak 30 Km sebelah Timur Kota Metro dan 80 Km dari Bandar Lampung. Kota
kecil ini dapat ditempuh dengan bus dari terminal Rajabasa Bandar Lampung
dengan lama perjalanan sekitar 2 jam.
Dulu,
Sukadana adalah kota tua yang merupakan onder
afdeling pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun, usai kemerdekaan
Sukadana dimasukkan dalam wilayah adminstratif Lampung Tengah yang beribukota
di Kota Metro. Baru pada 27 April 1999, Sukadana resmi menjadi pusat
pemerintahan Lampung Timur setelah adanya pemekaran wilayah administratif baru
dari Lampung Tengah. Sehingga, Sukadana akhirnya ditetapkan menjadi ibu kota
pemerintahan Kabupaten Lampung Timur.
Pemilihan
Sukadana sebagai pusat pemerintahan Lampung Timur didasarkan dengan sejumlah
pertimbangan yang bermuara pada semangat otonomi daerah. Sukadana adalah
merupakan daerah dengan kebudayaan Lampung, adat perkawinan, dan tari-tarian.
Di sini juga masih terdapat rumah tradisional Lampung di mana di dalamnya masih
tersimpan barang-barang kuno peninggalan leluhur.
Menurut
Hj. Uzunuhir, S.Pd yang bergelar Suttan Lepus, menerangkan bahwa sejarah
Sukadana bermula dari seorang bernama Minak Punya Bumi bin Minak Krio Penegeng
di Buyut Tua (sekarang sekitar Pabrik Gula Gunung Madu Kecamatan Terbanggi
Besar).
Kala
itu, ia beserta keluarga naik perahu menyusuri Way Seputih dan sesampainya di
cabang Way Seputih, rombongan menuju ke arah Sungai Pegadungan. Ketika
menyusuri Sungai Pegadungan, rombongan singgah di Kertosano, sebuah
perkampungan yang terletak di pinggir Sungai Pegadungan.
Minak
Punya Bumi ini memiliki 3 putra, yaitu Minak Rio Ujung, Minak Maring Bumi, dan
Minak Rio Kudu Islam serta seorang putrid yang bernama Inten Miyani. Setelah
orang tua mereka meninggal, mereka naik perahu menyusuri kembali Sungai
Pegadungan lantaran tidak tahan akan adanya gangguan bajak laut yang kerap
mengintai mereka. Dalam penyusuran tersebut, akhirnya mereka menemukan tebing ghatcak (tebing tinggi) di simpang
Sungai Sukadana. Di tempat ini, mereka berhenti dan menambatkan perahunya di
pinggir sungai yang masih diliputi belantara.
Pada
malam harinya, mereka berdoa meminta petunjuk kepada Allah SWT, apakah
diizinkan untuk membuat kampung di tempat itu. Pada tengah malam mereka
mendapat sasmita mendengar suara (masyarakat
di sana meyakini seperti suara burung) … sukoano
… sukoano … sukoano. Sukoano dalam
bahasa Lampung berarti boleh ditempati, atau diizinkan. Hal ini ditafsirkan
oleh mereka berarti daerah ini boleh atau diizinkan untuk dijadikan sebuah
perkampungan.
Keesokan
harinya mereka memulai membabat hutan untuk membuat syarat-syarat kampung,
seperti membuat kumbung (dermaga
kecil untuk menambatkan perahu), kuwayan
(tempat mandi untuk pria dan wanita secara terpisah), jalan, surung bubu, atau
cabang empat (perempatan), lapangan sessat,
rumah adat, mushola, dan pembagian wilayah (bilik)
kampung, antara lain: Bilik Ghabo, Bilik Libo, Bilik Tengah, dan lain-lain.
Setelah
syarat-syarat kampung terpenuhi, mereka mengundang tokoh-tokoh kampung di
sekitar Way Seputih dan Way Pengubuan – antara lain di Kampung Buyut, Serbayo,
Terbanggi, dan Kampung Mataram – untuk menghadiri upacara adat meresmikan
kampung (ngebaten anek) dengan diberi
nama Sukadano sekitar tahun 1650 M. Atas kemufakatan bersama maka Minak Rio
Kudu Islam menjadi Pimpinan Kampung dengan pepadun
(singgasana) di tengah-tengah rumah adat (pemegat).
Lokasi yang diceriterakan dalam sejarah ini masih bisa dijumpai di daerah Sukadana Darat. Darat yang menjadi kata ikutan hanya sebagai penanda karena posisinya yang lebih tinggi, lokasinya berada di atas sungai seolah-olah menanjak bukit (ghatcak). Namun demikian, Sukadana Darat tersebut sebenarnya terletak di Dusun Sukadana, Kelurahan Sukadana, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur. Suasana kampung ini dipertahankan sebagai kampung etnik yang masih banyak berdiri bangunan kuno khas Lampung . *** (110213)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar