Kain
tenun bergaris banyak dipergunakan di berbagai daerah di Indonesia, hanya saja
memiliki nama-nama sendiri disesuaikan oleh kondisi masyarakat setempat. Bagi
masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa, dikenal dengan kain lurik.
Dalam
bahasa Jawa kuno lorek berarti lajur atau garis, belang dan dapat
pula berarti corak. Maka dapat dipahami mengapa di Jawa Tengah dan Jawa Timur
kain tenun bercorak lajur atau lajuran dan belang-belang, akhirnya
dinamakan kain lurik, berasal dari kata
lorek. Mungkin karena corak
kotak-kotak terdiri dari garis-garis yang
bersilang, maka corak kotak-kotak atau cacahan
dinamakan pula lurik.
Walaupun
corak lurik terdiri dari garis-garis dan kotak-kotak, namun sangat menarik
untuk dikaji. Hal ini adalah dikarenakan lurik memiliki makna, tradisi, adat
dan kepercayaan bagi orang Jawa, baik dari kalangan atas/ningrat maupun rakyat,
terutama di daerah Solo-Yogya. Di samping itu masih ada kepercayaan lama yang
menganggap kain tenun bercorak garis-garis mempunyai kekuatan magis yang
melindungi. Ada yang dianggap sakral yang memberi tuah, ada pula yang
mensiratkan nasehat, petunjuk, harapan dan sebagainya. Kesemuanya ini
diungkapkan dengan berbagai nama corak atau ragam hias kain yang bersangkutan.
Temuan-temuan
atau berbagai petunjuk perihal penggunaan kain lurik ini, ada yang berupa
alat-alat untuk keperluan memintal, menenun dan sebagainya. Serta ada pula yang
berupa prasasti, arca dan relief pada beberapa candi Hindu, dan ada pula yang
berupa karya sastra. Antara lain terdapat prasasti yang menunjuk adanya kain
lurik pakan malang, antara tahun
851-882 M, di zaman kerajaan Hindu Mataram. Prasasti Raja Airlangga dari
Kerajaan Panjalu tahun 1033 M, menyebutkan kain tuluh watu, yang adalah nama salah satu kain lurik. Pada relief
yang mencerminkan kehidupan masyarakat pada zamannya, dapat dilihat telah
adanya pemakaian kain tenun.
Menurut
beberapa ahli purbakala, hasil temuan situs prasejarah, antara lain situs
Gilimanuk di Bali, Gunung Wingko di Yogyakarta, Melolo di Sumba Timur,
membuktikan bahwa pertenunan sudah dikenal di Indonesia sejak zaman prasejarah.
Demikian pula terlihat pemakaian selendang tenun pada arca terracotta asal
Trowulan di Jawa Timur, yang diperkirakan berasal dari abad ke 15 M serta
pemakaian kain tenun pada relief dan arca di berbagai candi.
Salah
satu cerita rakyat yang terkenal dari suku Sunda di daerah Parahiyangan atau
Bumi Para Dewa di Jawa Barat adalah kisah Nyi Pohaci Sang Hyiang Sri dari
Kahyangan. Beliau ingin melihat manusia hidup penuh kesejahteraan, cukup
sandang dan cukup pangan. Karena itu diutusnyalah seseorang untuk memetik buah
bertuah yang tumbuh di Gunung Galuh. Setelah buah tadi didapat dan
dipersembahkan pada Nyi Pohaci, dan setelah dibuka, maka bermunculan
serat-serat putih berupa kapas.
Untuk
dapat menenun agar mendapatkan sehelai kain, maka Nyi Pohaci menjadikan
tubuhnya sebagai alat tenun. Menurut cerita, antara lain tulang rusuknya
dijadikan sisir atau suri dan kedua pahanya jadi penyanggah
penggulung benang lungsi yaitu apa yang dinamakan patek. Demikianlah menurut alkisah terjadinya alat tenun pertama.
Di
daerah Batak Toba, terdapat cerita rakyat yang mengisahkan turunnya Dewi Si
Boru Daek Parujar dari langit ke bumi. Menurut kepercayaan setempat beliau
mengajarkan seni menenun kepada keturunannya, yang hingga kini masih mereka
laksanakan. Kain tenun tersebut dinamakan kain ulos, dengan berbagai corak yang mengandung falsafah hidup suku
Batak, yang mereka jadikan pedoman dan pegangan dalam daur kehidupan mereka.
Hal ini tercermin dari aturan-aturan penggunaan kain ulos pada berbagai upacara adat dan sakral. ***
Kepustakaan:
- Nian S. Djoemena, 2000, Lurik: Garis-garis Bertuah, Jakarta: Djambatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar