Kebudayaan
Hindu-Buddha tak hanya menyebar di Pulau Jawa, tetapi juga di Pulau Sumatera.
Jejak dua kebudayaan itu di antaranya ada pada sebagian tradisi masyarakat
ataupun tinggalan artefak. Salah satu artefak penting yang menguak teknologi
kuno di Sumatera adalah benda-benda berbahan perunggu.
Artefak
perunggu dari kawasan kepurbakalaan Padang Lawas di Sumatera Utara menarik
perhatian Erry Soedewo (40). Peneliti bidang kepakaran Hindu-Buddha dari Balai
Arkeologi Medan itu ingin mengetahui susunan material kuno penyusun benda
perunggu Padang Lawas.
Sejumlah
arca dan artefak perunggu koleksi Museum Provinsi Sumatera Utara yang ditemukan
di Padang Lawas dan Simangambat pun dipinjam. Lalu, diteliti di Badan Tenaga
Nuklir (Batan) di Yogyakarta. Temuan itu berupa pilar relung berukuran 57
sentimeter, potongan gantungan genta, serta beberapa arca Buddha kecil. “Saya
ingin tahu teknologi kuno metalurgi di Sumatera,” kata Erry, Jumat (25/4).
Simangambat
berada di Kabupaten Mandailing Natal, berbatasan dengan kawasan Padang Lawas.
Letak kedua situs itu “dipagari” punggung pegunungan Bukit Barisan. Butuh
sehari semalam berjalan kaki dari Simangambat ke Padang Lawas.
Dua
tahun (2009-2010), Erry menganalisis arca-arca itu. Lalu, menyusun tabel jenis
arca berikut unsur-unsur logam pembentuknya. Kesimpulannya, artefak perunggu di
Padang Lawas dan Simangambat dominan dari tembaga dan timah putih.
Sebelum
menganalisis artefak Padang Lawas, ia mengantongi pengetahuan konsep
tradisional pembuatan benda perunggu di India, akar Hindu-Buddha.
Kenapa metalurgi
Penelitian
metalurgi unsur penyusun artefak perunggu, terutama arca, dilakukan karena
selama ini arca lebih diteliti secara ikonografis, yakni hanya diteliti dari
jenis, bentuk, dan ukuran arca.
“Padahal,
kemajuan suatu budaya juga bisa dilihat dari teknologi metalurginya,” kata
Erry. Penelitian metalurgi artefak di Sumatera itu baru pertama kalinya. Adapun
artefak-artefak perunggu dari Jawa lebih dulu diteliti arkeolog Timbul Haryono.
Erry
menyimpulkan, ketiadaan unsur emas, perak, dan kuningan sesuai konsep pancaloha (tradisi India selatan) pada
benda perunggu Padang Lawas menunjukkan pande
logam setempat punya patokan tersendiri.
“Besar
kemungkinan kemampuan mencampur logam-logam tertentu jadi perunggu merupakan
teknik yang mentradisi, jauh sebelum masuknya pengaruh India ke Sumatera,” kata
dia. Ia juga tak menemukan kesamaan teknologi pencampuran logam di Padang Lawas
dengan artefak perunggu di Pulau Jawa.
Di
Jawa, semua artefak perunggunya mengandung seng (Zn), di Sumatera Utara tak ada
campuran seng. Sebaliknya, di Sumatera hampir semua artefak mengandung perak
(Ag), sedangkan artefak dari Jawa tak satu pun menggunakan perak.
Biara kuno
Selain
benda perunggu, di kawasan kepurbakalaan Padang Lawas, secara administratif di
Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, banyak ditemukan bangunan candi.
Masyarakat lokal menyebut candi sebagai biara.
Adalah
Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis, botanikus, geolog, dan komisaris Hindia
Timur yang pertama menemukan percandian di Padang Lawas (1846). Junghuhn juga
banyak meneliti di daerah Batak.
Masa
itu, Padang Lawas yang kini dataran luas nan kering masih hutan lebat. Bangunan
candi dari batu bata itu terkurung pepohonan besar.
Menurut
Bambang Budi Utomo, peneliti senior pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), situs di Padang Lawas adalah kumpulan
biara. Ia merujuk catatan Kerkhoff yang meneliti setelah Junghuhn.
Data
Balai Arkeologi Medan, ada 20 situs di Padang Lawas. Lokasinya di daerah aliran
sungai Barumun, Pane, dan sungai lain seluas 1.500 kilometer persegi. Bambang
menduga bangunan itu sengaja dibangun di jalur perdagangan ramai.
Percandian
di Padang Lawas semua dari batu bata, hanya saja langgam arsitekturnya jauh
berbeda dengan percandian di Dharmasraya di Sumatera Barat ataupun Trowulan di
Jawa Timur. Menurut Erry, candi-candi itu dibangun berteknik kosot, yaitu
menggosokkan batu bata satu per satu setelah salah satu bagiannya dibatasi.
Dengan cara itu, batu bata saling melekat.
Masyarakat
pendukung Padang Lawas, menurut Bambang, merupakan penganut Buddha Tantrayana.
Itu terlihat dari relief candi yang banyak melukiskan sosok yaksa, makhluk kahyangan berwujud
raksasa.
Asal-usul
Padang Lawas penuh perdebatan. Schnitger, peneliti kepurbakalaan di Sumatera
(1950-an), menyebut Padang Lawas dibangun bersamaan stupa-stupa di Muara Takus
pada abad ke-12 Masehi. Namun, tanpa bukti tertulis.
Satu-satunya
sumber adalah prasasti Batu Gana di Candi/Biara Bahal I. Isinya keterangan
tentang aliran sungai yang dilayari perahu hingga hilir dari abad ke-12-14
Masehi.
Tak
satu penelitian pun menyebut ada jejak permukiman di sana. Temuan artefak
mengarah pada tempat pemujaan. Kebisuan Padang Lawas kini bersanding dengan
perkebunan kelapa sawit. Belum ada upaya menggali temuan baru. [LUSIANA
INDRIASARI]
Sumber:
KOMPAS
Edisi Sabtu, 27 April 2013 hal.14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar