“Kusir andong biyen duwe omah gedong … saiki
mung kari senthong ..... (Kusir andong dulu punya rumah gedung, kini cuma
punya sepetak kamar)”. Itulah sepenggal lirik lagu yang sering terdengar dari
warung makan nasi pecel Bu Wiryo di kompleks kampus Universitas Gadjah Mada,
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lagu
berjudul “Kusir Andong” itu merupakan salah satu lagu karya Neo Akustik,
kelompok musik asal Yogyakarta, yang sehari-hari mangkal di warung tersebut
dengan mendapatkan imbalan uang.
“Lagu
itu diciptakan sesepuh kami, seorang pemusik keroncong, almarhum Giyono. Kepada
kami, dia meninggalkan wasiat tentang latar belakang penciptaan lagu tersebut
dan pandangannya tentang kusir andong yang kini semakin terpuruk,” ujar Dwi Nugroho,
salah seorang personel Neo Akustik, saat ditemui di warung yang berdiri sejak
1959 itu.
Menurut
Dwi, lagu itu mengisahkan nasib andong atau kereta kuda beserta kusirnya yang
hidupnya kini berbalik 180 derajat dibandingkan pada masa lalu. Kusir andong
yang dulunya merupakan simbol status sosial seorang priayi Jawa, yang terhormat
dan kaya raya – khususnya di Yogyakarta – kini hanya menjadi rakyat jelata.
Mereka dulu dikenal sebagai priyagung
(orang besar karena kekayaannya, bukan pangkatnya), sekarang hidup benar-benar
pas-pasan dan hanya sebagai rakyat biasa.
Andong
yang masih menghiasi jalanan di Yogyakarta memang telah berubah fungsi. Selain
sebagai alat transportasi turisme dan bakul pasar, andong juga menjadi sarana
kegiatan kesenian, serta aksesori rumah dan hotel. Namun, nasib kusirnya tetap
marjinal. Di jalanan, mereka harus mencari uang siang dan malam untuk mencukupi
kebutuhan hidup. “Padahal, pada zaman dahulu, andong milik para priayi yang
kalau disewa sehari saja bisa untuk makan seminggu,” ujarnya.
Berubahnya
simbol priayi bagi kusir tampaknya sejalan dengan cerita tentang turangga. Dwi mengatakan, salah satu
ciri priayi Jawa pada waktu itu yakni selalu memilki turangga atau kuda. Saat itu, kuda menjadi cerita pelengkap bagi
seorang priayi Jawa. Jika Priayi tanpa turangga,
berarti dia bukan lagi priayi.
Perkembangan andong
Manggalayudha
Keraton Yogyakarta Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat yang menaruh
perhatian terhadap perkembangan andong menyatakan, istilah andong sebenarnya
hanya ada di Yogyakarta. Andong awalnya bukan seperti kereta kuda. Bentuk
andong waktu itu lebih pendek, tetapi tetap beroda dua. Sebab, jalan di Kota
Yogyakarta saat itu sempit. Penumpangnya pun hanya satu orang. “Namun, sekarang
hampir semua bentuk andong berubah menjadi kereta meskipun sebutannya tetap
andong,” ujar Yudhaningrat, yang juga Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DI
Yogyakarta.
Sejak
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1920), andong yang semula
sepenuhnya kendaraan milik Keraton Yogyakarta mulai digunakan masyarakat,
tetapi masih terbatas. Saat itu, andong digunakan raja hingga ke bawahannya di
tingkat wedana untuk meninaju desa-desa.
Namun,
pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), andong boleh dimiliki warga
biasa, terutama untuk perdagangan. Sejak saat itu, pembuatan adong semakin
marak. “Ada dua perusahaan pembuat andong asal Belanda yang ada di Indonesia,
yaitu Barendsch di Semarang dan Yo Hap di Yogyakarta,” ujar Yudhaningrat.
Setelah
munculnya dua perusahaan Belanda, pembuatan andong pelan-pelan dipelajari kaum
pribumi. Namun, karena masih sulit, harganya menjadi mahal sehingga para
pemodalnya menjadi priayi-priayi baru.
Di
Yogyakarta, ujar Yudhaningrat, banyak bermunculan pengusaha andong yang pada
waktu itu boleh disebut seperti pengusaha taksi.
“Ada
yang sampai memiliki 10 andong yang kemudian disewakan sebagai alat
transportasi penumpang atau untuk mengangkut barang-barang dagangan. Dengan
andong, status sosial mereka menjadi meningkat,” ujarnya.
Namun,
dalam perkembangannya, andong semakin lama semakin terdesak oleh adanya
angkutan modern seperti bus kota dan taksi. Usaha para priayi pun tak bisa
dipertahankan. Mereka banyak menjual andongnya karena tak kuat membiayai
perawatan yang waktu itu relatif mahal. “Memberi makanan kuda dengan rumput
saja biayanya sangat mahal. Para pengusaha andong pun semakin terpuruk dan
akhirnya bangkrut,” ujarnya.
Pada
tahun 1990, jumlah andong yang tercatat di Yogyakarta mencapai sekitar 700
buah. Jumlah it uterus menurun karena banyak yang dijual keluar Yogyakarta.
Misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli 50 andong untuk melayani
wisatawan di Taman Monumen Nasional.
Meskipun
di Yogyakarta sekarang tidak lagi memberikan kehidupan yang berlimpah bagi
pemiliknya seperti dulu, andong masih tetap memberikan kehidupan kepada
pemiliknya dan kusir andong.
“Bagi
kita, yang penting sekarang adalah usia andong yang lebih dari 50 tahun. Inilah
yang perlu dijaga kelestariannya,” kata Yudhaningrat, yang juga Ketua Persatuan
Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia Provinsi DI Yogyakarta. [ALOYSIUS BUDI
KURNIAWAN dan THOMAS PUDJO WIDIJANTO]
Sumber:
KOMPAS
Edisi Sabtu, 15 Juni 2013 hal. 1 & 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar