Situs
Candi Padangroco di Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya,
Sumatera Barat, merupakan persinggungan peradaban Minangkabau dan kerajaan dari
Tanah Jawa. Kisah dialektika rumpun Melayu di Nusantara berlanjut dengan
pergulatan imperium kebudayaan masing-masing.
Terletak
sekitar 180 kilometer dari Kota Padang, Sumatera Barat, di daerah hulu aliran
Sungai Batanghari, situs itu terdiri atas empat candi dengan satu di antaranya
tinggal reruntuhan. Candi Padangroco I dengan ukuran 21 meter x 21 meter adalah
induk yang mengarah ke barat daya dan timur laut. Data ini tercantum dalam buku
Menguak Tabir Dharmasraya oleh Budi
Istiawan dan Bambang Budi Utomo (2011).
Tak
jauh dari situs Candi Padangroco terdapat situs Candi Pulau Sawah. Dari
sekurangnya 11 gundukan yang diduga candi, baru dua yang diekskavasi dengan
fungsi sebagai tempat pemujaan dan pendukungnya.
Posisinya
berdekatan dengan pinggir aliran hulu Sungai Batanghari. Situs ini diduga
sebagai pusat Kerajaan Melayu (Malayupura) di Dharmasraya, terutama saat
Adityawarman berkuasa pada abad XIV.
Agak
terpisah dari kedua situs itu, terdapat pula situs Candi Awang Maombiak. Situs
ini berada di dataran tinggi dengan kawasan rawa di bawahnya.
Pohon
karet yang tengah disadap getahnya mengelilingi situs itu. Letaknya dekat
kawasan permukiman, berbeda dengan situs Padangroco dan Pulau Sawah yang
cenderung jauh dari akses jalan.
Juru
pelihara situs Awang Maombiak, Abdul Wahab Datuk Rajo Malano, mengatakan,
seusai diekskavasi, situs itu kerap didatangi peneliti asing. “Mereka, antara
lain, dari Jepang, Singapura, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat,” katanya.
Selain
itu, imbuh Wahab, situs itu kerap didatangi pencari harta karun. “Mereka
mencari guci yang terbenam dalam rawa, tetapi belum ada yang mendapatkannya.
Ada juga yang datang diam-diam dengan maksud tertentu,” sebutnya.
Ketertarikan
pengunjung dan terutama peneliti itu tentu tidak sekadar pada Awang Maombiak.
Menurut Budi Istiawan, arkeolog yang fokus pada peninggalan di kawasan aliran
Sungai Batanghari, semua situs itu saling berkait. Kompleks Candi Pulau Sawah
diduga sebagai tempat menggelar upacara keagamaan. Adapun Awang Maombiak
sebagai tempat peristirahatan dan Padangroco sebagai pusat kerajaan.
Selain
itu terdapat pula situs Bukik Braholo, Rambahan, di wilayah Nagari IV Koto
Pulau Punjung, Dharmasraya. “Di Rambahan ini ditemukan Arca Amoghapasa dengan
tulisan oleh Adityawarman di punggung Amoghapasa. Adapun alas Amoghapasa berada
di Padangroco dan Arca Bhairawa juga berada di Padangroco,” kata Budi, yang
pernah menjabat Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar.
Ekspedisi Pamalayu
Amoghapasa
adalah arca yang dikirimkan Kertanegara kepada Raja Melayu pada 1286. Adapun
Bhairawa merupakan arca perwujudan Adityawarman.
Adityawarman,
Padangroco, dan Amoghapasa tak bisa dilepaskan dari Ekspedisi Pamalayu yang
dilakukan Kertanegara dari Kerajaan Singosari tahun 1275. Ekspedisi dilakukan
sebagai bagian perluasan kekuasaan untuk menahan ekspansi dari Kubilai Khan.
Kitab
Pararaton menuliskan, ekspedisi itu
mengirimkan arca Amoghapasa ke Kerajaan Melayu pada 1286. Ini seperti tercantum
dalam buku Replika Arca Adityawarman
Koleksi Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat yang ditulis Syafril Mulyadi
dan kawan-kawan pada 1993/1994.
Pengiriman
arca Amoghapasa dilakukan sesudah dua putrid Melayu dari kerajaan yang saat itu
dipimpin Tribhuwanarajamauliwarmadewa, yakni Dara Petak dan Dara Jingga,
diperistri penguasa di Jawa. Dara Petak diperistri Raden Wijaya, pendiri
Kerajaan Majapahit. Dara Petak melahirkan Jayanegara yang meneruskan kekuasaan
di Majapahit. Dara Jingga melahirkan Adityawarman setelah diepristri
Adwayawarman, sekalipun versi lain masih mempertanyakan siapa ayah
Adityawarman.
Namun,
yang pasti, Adityawarman lebih dulu digodok di Majapahit sebagai menteri dengan
posisi penting, dan pernah dikirim sebagai perwakilan ke China. Peran
Adityawarman yang penting terlihat tatkala bersama Gajah Mada dan Arya Tadah
memadamkan pemberontakan Sadeng tahun 1331.
Adapun
pemindahan pusat kerajaan dari hulu Sungai Batanghari ke pedalaman Tanah Datar
itu sebelumnya diawali pada masa Ekspedisi Pamalayu. “Jadi saat itu, selain
melakukan ekspedisi ke Kerajaan Melayu, dilakukan pula perjalanan hingga jauh
ke dalam sehingga yang dilakukan Adityawarman saat memindahkan pusat kerajaan
ialah dengan melacak jejak nenek moyang,” ujar Budi.
Jejak matrilineal
Arkeolog
dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang, Prof Dr Herwandi,
menambahkan, saat Adityawarman menjadi raja Melayu, saat itu juga praktik
sistem kekerabatan matrilineal mulai diterapkan. Karena yang melanjutkan
kekuasaan Tribhuwanarajamauliwarmadewa ialah Akawarmadewa yang tak lain ialah mamak (paman) Adityawarman. “Ini
diperkuat dengan isi prasasti Ombilin, yang menyebutkan Adityawarman bukanlah
keturunan raja,” katanya.
Padahal,
baik Tribhuwanarajamauliwarmadewa maupun Akawarmadewa masih mewarisi kekuasaan
lewat nasab laki-laki. Pendapat bahwa Akawarmadewa merupakan mamak Adityawarman juga ditulis Uli
Kozok dalam Kitab Undang-Undang Tanjung
Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (2006).
Aditywarman
yang sebelumnya dipersiapkan di Majapahit juga mengadopsi sejumlah sistem dari
tanah leluhur ayahnya dengan pengubahan istilah, antara lain Basa Ampek Balai
dan Rajo Tigo Selo.
Persinggungan
dengan sistem kekerabatan matrilineal ini dimungkinkan karena, kata Herwandi,
sistem itu sudah dipakai di wilayah Minangkabau sejak masa prasejarah. Hal itu
bisa dilihat pada situs kursi batu Balai Adat Guguak di Nagari Guguak,
Kabupaten Limapulu Kota, Sumatera Barat. Sejumlah batu menhir disusun dalam
formasi U di situs itu. [INGKI RINALDI]
Sumber:
KOMPAS
Edisi Sabtu, 22 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar