The Story of Indonesian Heritage

Masyarakat Suku Baduy

Pada umumnya, masyarakat umum mengenal orang Baduy sebagai suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Namun, sebenarnya sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti urang Cibeo.
Kampung Baduy terletak di Provinsi Banten di Pulau Jawa bagian barat. Mendengar kata Baduy segenap cakrawala persepsi muncul di alam pikiran, membayangkan sebuah komunitas suku pedalaman yang menyatu dengan alam dan menggunakan nilai-nilai adat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Bersahaja dalam hidup, bersahaja dalam memandang kehidupan menjadikan Baduy dan aktivitas sehari-harinya sangat eksotis untuk dijadikan sebuah wacana yang menginspirasi kita dalam menjalani hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Mereka bukannya tidak tahu perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar atau perkembangan teknologi, namun justru mereka tidak ingin hanyut bersama arus, artinya keyakinan yang selama ini menjadi nilai-nilai yang mendamaikan dan memakmurkan kehidupan, tidak ingin mereka langgar.
Komunitas suku Baduy meyakini bahwa mereka terlahir sebagai pancer bumi (dalam arti pusat kehidupan). Bila keyakinan itu rusak maka rusaklah kehidupan. Jadi semacam tugas hidup bagi mereka untuk tetap seperti itu. Tulus, berpikir positif, tidak mau mengganggu dan tidak mau diganggu, bila kita pelihara alam maka alampun akan memelihara kita, itu bagian dari keyakinan mereka.
Suku Baduy tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, sekitar 46 Km ke arah selatan dari Kota Rangkasbitung (pintu masuk dari utara Ciboleger Desa Bojongmenteng). Untuk sampai Cibeo sebagai Pusat Pemerintahan ditempuh dengan jalan kaki sejauh 12 Km. Sedangkan dari barat laut (pintu masuk belakang melalui Pasar Karoya di Desa Kebon Cau, Kecamatan Cirinten) jaraknya sekitar 22 Km. Perkampungan suku Baduy dibangun menyusuri aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 Km sebelah barat ibukota Jakarta dan sekitar 65 Km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten.
Baduy yang merupakan masyarakat tradisional, mayoritas mengakui kepercayaan Sunda Wiwitan. Kepercayaan yang mempercayai bagaimana menjadikan kehidupan yang mengandung nilai dalam berperilaku pada kehidupan yang mengagungkan kesederhanaan.
Konon orang-orang Kanekes mengakui dirinya sebagai turunan Batara Cikal yang merupakan satu dari tujuh dewa (batara) yang diutus ke bumi dengan tugas utama bertapa untuk menjaga harmoni dunia.
Masyarakat suku Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, penamping dan dangka. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam, pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat penamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di Desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu yang mengelilingi wilayah Baduy Dalam. Beberapa masyarakatnya sudah tidak sekolot masyarakat Baduy Dalam. Mereka sudah berbaur dengan masyarakat luar dan dengan kebudayaan luar. berciri pakaian dan ikat kepala hitam. Kelompok dangka adalah mereka yang bermukim di luar Baduy, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (Cihandam), yang menurut mereka berfungsi sebagai daerah pelindung (buffer zone) dari pengaruh luar. ***

Kepustakaan:
  • Habsari Budhi Utami, 2012, Suku Pedalaman Banten Indonesia Baduy, Real Green Living, Jakarta: Canting Exploring Indonesia
  • Yulia Nursetywathie, dkk., 2011, Khasanah Keunikan Bumi Jawa, Solo: Tiga Ananda/Creative Imprint of Tiga Serangkai
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami