Kompleks
makam Sunan Bonang terletak di Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban, Kabupaten
Tuban, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di belakang Masjid Agung
Tuban. Kurang lebih 300 m dari alun-alun mengarah ke barat daya.
Makam
Sunan Bonang merupakan salah satu dari makam Sunan di Jawa Timur yang menempati
posisi penting setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri. Jika orang berziarah makam
wali, maka dapat dipastikan akan berziarah ke makam ini. Sunan Bonang menempati
posisi kedua setelah Sunan Ampel dalam jajaran kewalian. Ia menjadi guru
beberapa wali lain, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan
Drajat dan bahkan Sunan Giri (Raden Paku) juga pada tahap awal belajar
kepadanya.
Kompleks
makam Sunan Bonang di Tuban, ditinjau dari segi arkeologi cukup menarik. Hal
ini disebabkan karena sebagian besar bangunan yang ada di kompleks makam masih
dalam keadaan asli, walaupun kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.
Kompleks makam Sunan Bonang dikelilingi tembok dan terbagi menjadi tiga halaman yang disusun berurut ke belakang dari arah selatan ke utara, masing-masing halaman dibatasi pagar tembok penghubung antara halaman satu dengan yang lain berupa gerbang berbentuk paduraksa.
Di
halaman dalam banyak ditemukan nisan-nisan kuno dari batu andesit. Di kompleks
tersebut, selain makam Sunan Bonang juga terdapat makam para Bupati dan kerabat
Sunan Bonang. Makam Sunan Bonang terdiri dari jirat dan nisan. Bentuk jirat
makam Sunan Bonang seperti profil candi. Pada nisan makam Sunan Bonang terdapat
hiasan yang menyerupai hiasan surya Majapahit, dan makam Sunan Bonang
dilindungi sebuah cungkup dengan atap sirap dari kayu jati yang berukir. Makam
Sunan Bonang masih ditutupi lagi dengan kelambu, sehingga terkesan sangat
keramat. Di kompleks tersebut juga ada sebuah masjid kecil yang dikenal dengan
Masjid Astana.
Latar Belakang Sejarah
Semasa
mudanya, Sunan Bonang bernama Raden Maulana Makdum Ibrahim, lahir 1448 Masehi
dan wafat 1525 Masehi. Beliau adalah putra Sunan Ampel hasil perkawinan dengan
Nyai Ageng Manila, putri Aryo Tejo, Tumenggung Majapahit yang berkuasa di
Tuban.
Menurut
cerita, Sunan Bonang bersama Raden Paku (Sunan Giri) suatu hari bermaksud pergi
ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Namun dalam perjalanannya mereka hanya sampai
di Samudra Pasai. Di Pasai, mereka berjumpa dengan ayahanda Raden Paku yang
bernama Maulana Iskak (Syeh Wali Lanang). Keduanya diajarkan ilmu agama Islam
dan berbagai ilmu lainnya oleh Maulana Iskak. Setelah selesai belajar pada
Maulana Iskak kemudian Raden Paku (Sunan Giri) diberi gelar Raden Satmapta dan
Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) diberi gelar Raden Tjakrakusuma. Atas
nasehat Syeh Maulana Iskak, keduanya tidak melanjutkan perjalanan mereka ke
Mekkah, tetapi pulang ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Raden Paku
menyebarkan ajaran Islam di daerah Giri, Gresik, yang akhirnya terkenal dengan
sebutan/gelar Sunan Giri.
Raden
Maulana Makdum Ibrahim menyebarkan agama Islam di daerah Bonang, Tuban dan
Lasem, yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan sebutan/gelar Sunan Bonang.
Secara kebetulan pada saat Sunan Bonang mulai aktif berdakwah menyebarkan
ajaran agama Islam, pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit mulai runtuh dan hal
ini dimanfaatkan oleh Sunan Bonang untuk mempercepat penyebaran agama Islam
dengan mendirikan pesantren-pesantren dan masjid-masjid. Selain itu, Sunan
Bonang juga berusaha memasukkan ajaran agama Islam kepada Raden Patah, seorang
putra Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.
Halaman 1
Pada
halaman pertama terdapat dua bangunan pendapa,
dan terletak bersebelahan. Bangunan pendapa
itu bentuknya limasan dengan konstruksi bangunan kayu, namun tidak berdinding.
Unsur
bangunan yang perlu diperhatikan di sini adalah umpak-umpaknya, yang berwarna
putih dan terbuat dari tulang ikan pari. Fungsi bangunan semacam itu selain
untuk istirahat, pada waktu-waktu tertentu dipergunakan sebagai tempat
selamatan.
Di
tempat lain seperti di kompleks makam raja-raja Kota Gede Yogyakarta, bangunan
semacam itu disebut sebagai paseban,
dan dipakai oleh para peziarah mempersiapkan diri sebelum masuk ke makam utama.
Sungguh tepat sekali jika di halaman pertama ini tersedia bangunan seperti itu,
karena di sini kita dapat melepaskan lelah sejenak sambil menyeka keringat
sebelum menuju ke makam utama.
Halaman 2
Untuk
masuk ke halaman kedua, kita melewati sebuah paduraksa yang terbuat dari bata. Jika paduraksa sebagai pintu
gerbang kompleks biasanya beratap sirap, maka lain halnya paduraksa ini yang kesemuanya terbuat dari bata. Pintunya teruat
dari kayu, dan dihiasi dengan ukir-ukiran yang indah. Di kanan kiri gapura
terdapat lubang, sehingga dinding tembok tersebut dapat dipakai untuk jalan.
Besar kemungkinannya bahwa dinding tembok gapura ini dahulu tidak berlubang,
tetapi karena pertimbangan teknis, pada saat ini tembok tersebut dijebol untuk
mengatasi arus pengunjung. Gapura ini mempunyai hiasan yang cukup menarik yang
berbentuk geometris, motif sulur-sulur daun, dan hiasan tumpal. Pada tubuh
gapura tersebut, dihiasi dengan piring-piring China. Hiasan seperti itu,
menyerupai hiasan tubuh candi yang biasanya disebut dengan istilah medallion.
Pada halaman ini terdapat beberapa bangunan fasilitas seperti kamar mandi, WC, serta bangunan masjid yang menurut keterangan dibangun pada tahun 1921. Selain bangunan fasilitas, di sini juga terdapat beberapa tinggalan purbakala seperti tempayan, yoni, pipisan, dan peti batu. Benda-benda purbakala tersebut sekarang disimpan di dalam halaman kecil yang oleh penduduk setempat disebut sebagai pendapa rantai (rante).
Halaman 3
Setelah
puas menikmati keunikan yang terdapat di halaman pertama dan kedua, maka Anda
dapat meneruskan perjalanan ke dalam halaman utama, untuk berziarah ke Makam
Sunan Bonang. Gapura masuk menuju
halaman utama berbentuk sangat indah dan kaya akan hiasan piring-piring China.
Pada
bagian belakang terdapat dinding tembok yang lazim disebut dengan bangunan
kelir. Sesuai dengan mitologi kuno, bangunan kelir itu berfungsi sebagai
penolak bala. Di antara hiasan yang berupa piring China tersebut, beberapa di
antaranya terdapat tulisan dengan huruf Arab. Tulisan-tulisan itu di antaranya
ada yang berbunyi Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
Setelah
sampai di halaman ketiga, maka nampak halaman yang penuh dengan makam-makam.
Sebagian besar makam itu merupakan makam baru, namun beberapa di antaranya
terdapat juga makam-makam kuno. Makam Sunan Bonang berada di dalam cungkup yang
cukup besar dan nampak angker. Bangunan cungkup ini mempunyai mustaka yang terbuat dari perunggu
dengan hiasan motif tumpal, serta dilengkapi hiasan semacam padma.
Bagian
puncak mustaka berbentuk bulat, sedangkan
bagian bawahnya berbentuk persegi. Cungkup makam berbentuk sinom dengan atap
terbuat dari sirap dan dindingnya dari tembok yang diberi lubang semacam
kisi-kisi. Selain mempergunakan dinding tembok, cungkup ini juga mempergunakan
dinding kayu, yang lazim disebut dengan nama dinding gebyok. Jirat makamnya
mempunyai keunikan tersendiri yaitu beberapa hiasannya menyerupai pola-pola
perbingkaian seperti pada candi-candi Hindu. Nisannya terbuat dari batu putih,
dan kondisinya masih baik. *** [190913]
Kepustakaan:
Nurcholis & H. Ahmad Mundzir, 2013, Menapak
Jejak Sultanul Auliya Sunan Bonang, Tuban: Mulia Abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar