Danau
Limboto berada di Provinsi Gorontalo. Danau ini menjadi sumber penghidupan
hampir sebagian rakyat di sekitar Gorontalo. Paling tidak bagi penduduk di lima
kecamatan (Limboto, Telaga, Telaga Biru, Batudaa, dan Kota Barat) atau di 27 desa
di sekitarnya. Mereka hidup sebagai nelayan darat, pemburu burung liar, petani
di tanah timbul di pesisir danau serta penjualan jasa angkutan penyebarangan
maupun pariwisata.
Dulu,
menurut masyarakat yang telah lanjut usia yang berdiam di sekitarnya, bermacam-macam
ikan air tawar dapat kita jumpai di danau ini. Kini yang tersisa hanyalah
mujair, nila, gabus atau sepat. Ikan nila dan mujair amat populer dalam menu
orang Gorontalo. Umumnya ikan ini dibakar dan disantap dengan dabu-dabu. Atau dapat juga dimasak pakai
bumbu bawang merah, bawang putih, cabai dan sebagainya.
Luas
Danau Limboto kini tinggal 2.357 hektar dengan kedalaman 2,5 meter. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh sedimentasi dan enceng gondok yang mempengaruhi proses
pendangkalan dan penyempitan luasan danau saat ini. Adalah David Henley,
seorang ahli Sulawesi ternama yang menulis buku Food, Fertility and Fever yang
berhasil merangkum data lingkungan, penduduk dan ekonomi di kawasan utara dan
tengah Sulawesi periode 1600 – 1930.
Dalam
buku ini, data Danau Limboto cukup lengkap ditabelkan, termasuk kondisi
lingkungan Gorontalo secara luas. Di buku ini tidak terdapat data danau 1932
yang menunjukkan luasnya 8 ribu hektar, dan kedalamannya 30 meter. Yang ada
datanya adalah tahun 1934, di mana luas permukaan Danau Limboto sekitar 70
kilometer persegi, dengan kedalaman sekitar 14 meter, serta pada tahun 1939
luas permukaan danau sempat mencapai 100 kilometer persegi. Dan, jauh
sebelumnya, tahun 1863, luas permukaan danau sekitar 80 kilometer persegi, dengan
kedalaman 4,5 meter. Data yang ditemukan bukti-bukti dokumennya oleh David
Henley memperlihatkan angka-angka tersebut, sekaligus menyatakan bahwa faktor
musim sangat menentukan perubahan permukaan Danau Limboto, dan hanya pada
beberapa tahun tertentu saja yang jelas laporannya tentang kedalaman danau ini,
misalnya yang terdalam adalah data tahun 1934 (14 meter) dengan luas 70
kilometer persegi.
Legenda Danau Limboto
Tempo
dulu Limboto masih berupa lautan. Yang muncul di permukaan laut hanyalah dua gunung,
yaitu gunung Boliohuto dan gunung Tilongkabila. Di atas kedua gunung itu diam
manusia pertama. Dapat dikatakan yang di sebelah barat dan yang di sebelah
timur. Ketika air telah surut, maka terjadilah daratan dan tumbuh
pohon-pohonan,
Pada
waktu itu turunlah orang dari barat dan orang dari timur. Orang dari barat
mengembara di dalam hutan. Ia mencari tempat untuk dijadikan tempat tinggal.
Tiba-tiba ia menemui tujuh orang bidadari.
Diperhatikannya,
betapa cantik bidadari itu, maka disembunyikannya sayap dari salah seorang
bidadari. Setelah menyembunyikan maka ia pun mendekat kepada bidadari yang
sedang mandi itu. Ketika bidadari mengetahui ada orang, mereka pun terbang ke
khayangan. Hanya seorang yang tidak dapat terbang lagi.
Ia
didekati oleh orang dari barat itu. “Engkau dari mana dan siapa namamu?”
“Aku
ini dari khayangan, dan namaku Buqi-buqingale. Aku adalah anak ke tujuh dari
raja khayangan”.
Lalu
kata orang dari barat: “Mari kita hidup bersama”. Dipanggilnya bidadari itu ke
suatu tempat.
Pada
suatu ketika Buqi-buqingale itu mendapat kiriman dari khayangan. Kiriman itu
seperti mustika. Besarnya seperti telur itik. Dicarikannya air tempat menyimpan
mustika itu. Tepat di depan tempat itu ada sebuah mata air. Disimpan di situ
mustika itu.
Tidak
berapa lamanya mereka di tempat itu, datanglah orang dari timur. Diketemukannya
sebuah mata air yang tertutup dengan tudung, lalu dikatakannya sebagai
miliknya. Katanya: “Kamilah pemilik mata air ini”. Mereka itu empat orang.
Buqi-buqingale
pada saat itu datang melihat mustikanya. Setelah berhadapan dengan mereka, maka
berkatalah Buqi-bungale: “Kenapa kamu menjaga mata airku?”
Dijawab
oleh salah seorang: “Mata air ini milik kami”.
“Kalau
benar ini milik kamu mana tandanya?”
“Tandanya
bahwa itu milik kami adalah pohon besar itu”.
“Bagiku
bukan hanya pohon besar. Tandanya bahwa ini milikku, ada yang tersembunyi di
dalam mata air ini. Selain dari itu adalah kapuk”.
Maka
kata mereka itu: “Tidak ada kebenarannya apa yang kau katakana itu”.
“Kalau
tidak benar, coba kamu buktikan apa yang kamu katakana. Panggillah air ini.
Panggillah ia agar bertambah banyak. Kalau kamu bisa lakukan seperti itu, benar
yang ini adalah milik kamu”.
Dicoba
oleh salah seorang dari yang datang dari timur permintaan itu. Dipanggilnya air
laut: “Hai air, engkau membesarlah”. Tidak berhasil.
Orang
kedua: “Hai mata air, lebarlah”. Tidak berhasil.
Yang
ketiga: “Hai air, memancarlah”. Tetap tidak berhasil.
Akhirnya
yang keempat: “Hai air mata air, membesarlah”. Namun tidak juga berhasil.
Mereka
pun berkata. “Kami benar-benar tidak sanggup. Tetapi cobalah engkau
memanggilnya, kalau benar ini milikmu. Kalau benar ini milikmu, tentu engkau
mampu memperbesar mata air ini”.
“Baiklah.
Tetapi sebelum aku memanggil air ini, akan aku perlihatkan kepadamu mustikaku
yang tersimpan di dalam mata air itu”.
Lalu
diambilnya mustika itu dari mata air. Ketika mustika itu telah berada di
telapak tangan Bu’i Bungale, maka pecahlah mustika itu dan keluarlah seorang
perempuan. Perempuan itu, pada saat itu juga, menjadi gadis, dan betapa
cantiknya. Ia diberi nama si Tolangohula. Perempuan itu segera diberikannya
kepada ayahnya, orang dari barat.
Kemudian
kata Bu’i Bungale: “Sekarang aku akan memanggil. Dan kamu saksikan akan menjadi
besar mata air ini. Kamu segera lari ke pohon besar yang menjadi tanda bagimu.
Dan aku dengan suami dan anakku akan pergi ke kapuk itu”.
“Cobalah
kau panggil”. Kata keempat orang itu.
Maka
dipanggillah oleh Bu’i Bungale. “Hai air membesarlah kau, agar menjadi sumber
hidup bagi orang di belakangku”.
Menjadi
besarlah air itu. Bertambah besar air itu, dan diiringi ejekan dari Bu’i
Bungale: “Membesarlah kau, membesarlah kau”.
Adapun
karena air itu makin bertambah besar, maka mereka itu pun memanjat pohon yang
besar. Bu’i Bungale, suami dan anaknya naik di atas kapuk. Mereka hanya
terapung-apung. Air itu bertambah terus, sehingga melewati puncak pohon besar
itu. Keempat orang itu minta ampun, sebab mereka akan tenggelam. Mereka
berkata: “Kami minta ampun kepadamu. Sudah jelas bagi kami bahwa mata air milikmu.
Kami akan mati”.
Bu’i
Bungale berkata: “Karena kamu sudah mengaku, maka aku sampaikan di situ air
ini. Sehingga air ini menjadi danau bagi semua orang. Hai air berhentilah kamu,
agar kamu akan menjadi sumber hidup bagi manusia”.
Begitulah,
maka telah terjadi sebuah danau.
Setelah
danau itu telah ada, maka timbul lagi masalah mencarikan nama danau itu. Kata
suami Bu’i Bungale: “Apa nama yang akan kau berikan pada danau yang kau buat
itu?”
Sementara
mereka memikirkan nama danau itu, tampaklah oleh mereka lima biji buah yang
bulat. Mereka ambil biji yang bulat itu. Dicubit sedikit oleh Bu’i Bungale lalu
diciumnya biji itu. Ternyata ada baunya. Katanya: “Baunya seperti bau buah
sebatang kayu yang ada di khayangan yang bernama “Limu” (limau). Kalau demikian
ini benar-benar limau. Tapi ujungnya seperti puting susu payudara atau “tutu”.
Itulah
mulanya danau itu diberi nama “Limutu” yaitu dari “Limututu” atau limu puting
susu/payudara.
Kepustakaan:
Basri Amin, 2012, Memori Gorontalo: Teritori, Transisi dan
Tradisi, Yogyakarta: Penerbit Ombak
Farha Daulima, 2008, Antalogi Cerita Rakyat Daerah
Gorontalo, Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Tidak ada komentar:
Posting Komentar