Jika
sedang melintas Jalan Dukuh Surabaya, telinga kita akan disapa oleh alunan musik
yang mendanyu-dayu yang terkadang diselingi oleh seruak tambur dan kecer. Sabtu
pagi (18/01), suara alunan musik tersebut menghantarkan saya untuk mampir di
klenteng itu. Ternyata suara musik tersebut adalah suara musik pengiring bagi
pertunjukkan wayang potehi. Beberapa menit saya sempat menikmati wayang potehi
dari kursi yang berada di gang sambil melihat orang-orang yang mengerjakan Kim Chu atau tempat bakar kertas
sembahyang bagi warga Tionghoa. Lalu, keinginan tahu, mengantarkan saya
meninggalkan kursi untuk berkeliling klenteng yang diberi nama Hong Tek Hian
atau dikenal juga dengan Klenteng Dukuh, sambil bertanya-tanya bila tidak
mengerti maknanya.
Wayang
Potehi merupakan salah satu sarana dalam ritual keagamaan umat Tridharma (Khong
Hu Cu, Tao dan Buddha). Dalam bahasa Hokkian, potehi berasal dari kata poo yang berarti kain, tay yang bermakna kantung, dan hie yang berarti pertunjukkan. Selain
itu, wayang potehi juga memiliki beberapa fungsi, yaitu berfungsi rekreatif,
edukatif, ekonomi, dan berfungsi sosial keagamaan, di mana fungsi sosial keagamaan
ini merupakan fungsi yang paling penting dalam wayang potehi.
Kisah
dalam wayang potehi biasanya disajikan berdasar ajaran Khong Hu Cu maupun
repertoar klasik China, seperti Sin Ji Kwi, suatu riwayat penaklukan Kerajaan
See Liang Kok. Ada lakon Poei Sie Giok, yang berkisah tentang pembelaan suku
lewat adu kemampuan di atas panggung. Jhi Gu Nau Tong Tiauw tentang dua siluman
kerbau yang membuat gaduh Kerajaan Tay Tong Tiauw. Dan ada pula lakon Khong Han
Bun yang mengulas percintaan siluman ular putih di danau Si Hu.
Klenteng Hong Tek Hian ini terletak di Jalan Dukuh No. 23 RT.01 RW.V Kelurahan Nyamplungan, Kecamatan Pabean Cantikan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Klenteng ini dibelah oleh Gang II yang tergolong sempit. Di sebelah utara gang, klenteng yang paling awal dibangun menghadap langsung ke Jalan Dukuh, sedangkan bagian klenteng yang lainnya menghadap ke utara atau ke klenteng yang pertama kali didirikian.
Menurut
cerita yang beredar saat ini, mengatakan bahwa klenteng ini dibangun oleh
tentara Mongol pada zaman Khu Bilai Khan ketika akan melakukan penyerangan ke
Kediri sekitar tahun 1293. Namun, dari sejumlah literatur yang ada, tidak
diketemukan keterkaitan dengan kedatangan tentara Mongol atau dikenal juga
dengan pasukan Tar-Tar, karena kala itu situasinya dalam fokus melancarkan
serangan ke Kerajaan Kediri (sebenarnya Singasari, akan tetapi Kertanegara sudah
dibunuh oleh Jayakatwang), dan diyakini tempat merapat kapal-kapalnya berada di
tepi Kalimas di kawasan Jagir. Sehingga, diperkirakan keberadaan Klenteng Hong
Tek Hian ini lebih mendekati tatkala orang-orang Tionghoa mulai mendarat di
Surabaya pada akhir abad 17. Ketika itu, orang-orang Tionghoa meninggalkan daratan
Tiongkok dengan perahu-perahu jung
untuk mencari masa depan yang lebih baik di Chura Bhaya (nama lawas dari Surabaya).
Klenteng ini praksis tidak memiliki halaman yang cukup bagi jemaat yang menggunakan mobil karena Jalan Dukuh tergolong sempit dan padat lalu lintasnya mengingat daerah ini masuk kawasan China Town Kembang Jepun. Sepintas memang bangunan klenteng ini tidak terlihat dengan jelas seperti bangunan klenteng pada umumnya, namun masih beruntung karena di depan klenteng yang sudah mepet dengan jalan, terdapat penanda berupa Kim Lo atau menara berwarna merah sebagai tempat pembakaran kerta di sebelah kiri yang berlantai tujuh, dan sebuah gapura kecil bertuliskan huruf China di bagian depan.
Yang
mengelola tempat ibadah ini adalah Yayasan Sembahyang Hok Tik Hian yang
berinduk pada Himpunan Tempat Ibadah Tridharma Se-Indonesia. Bangunan klenteng
ini terdiri dari dua bangunan berbeda yang dijembatani oleh jembatan yang
dijaga 2 ekor naga.. Di dalam klenteng yang lama terdapat altar sembahyang Sien
Beng dan Kong Co yang dipujanya terdiri dari: Kong Tek Tjun Ong, Boen Tjiang
Tee Koen, dan Hok Tik Tjing Sien.
Sedangkan
di ruang altar sembahyangan bangunan baru terdapat pujaan dari Mak Co Thian
Siang Sien Boo, Oen Wan Sue dan Ma Wang Sue, Thio Wan Sue dan Khong Wan Sue.
Sementara itu, di lantai dua terdapat altarnya dari Hiap Thian Siang Tee,
Buddha Avalokitesvara didampingi oleh Buddha Gautama, Namo K. Bodhisatva, O Mi
To Hoed, Namo Aryayi Bodhisatvaya dan Buddha Maitreya. ***
[180114]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar