Tempo doeloe Jalan HOS Cokroaminoto
Madiun sudah menjadi kawasan yang ramai. Wilayah ini merupakan jantung ekonomi
masyarakat baik dulu maupun sekarang. Sisa-sisa bangunan kuno yang menunjukkan
bahwa daerah tersebut merupakan Pecinan masih dapat ditemui meski yang bisa
ditemui hanya beberapa saja. Salah satunya adalah tempat ibadah bagi pemeluk
Tri Dharma yang bernama Klenteng Hwie Ing Kiong.
Klenteng
ini terletak di Jalan HOS Cokroaminoto No. 63 Kelurahan Kejuron, Kecamatan Taman,
Kota Madiun, Provinsi Jawa Timur, atau tepat berada di depan SMPN 6 Madiun.
Pada zaman dulu, ada seorang tokoh Tionghoa yang ingin membangun sebuah tempat ibadah. Mereka adalah Tan Bik Swat bersama kawan-kawan lainnya. Karena belum mendapatkan lokasi yang tepat, awalnya klenteng pemujaan yang sangat sederhana didirikan di sebelah barat Sungai Madiun, terletak di samping jembatan sebelah barat. Mereka membawa patung Ma Zu Thien Shang Shen Mu setinggi 97 sentimeter langsung dari Tiongkok guna disembahyangi di klenteng tersebut.
Lalu,
mereka berusaha lagi untuk mencari sebidang tanah guna mendirikan tempat ibadah
yang lebih luas dan representatif. Kisah ini bermula, pada tahun 1887 didapati
seorang istri Residen Belanda yang ditunjuk sebagai penguasa tertinggi wilayah
Madiun saat itu, sedang menderita suatu penyakit yang cukup serius. Semua
dokter Belanda yang bertugas di Jawa menyarankan agar istri Residen Belanda
dibawa pulang ke Negeri Belanda guna mendapatkan perawatan yang intensif di
sana. Saran tersebut membuat Residen pusing tujuh keliling lantaran jaraknya
yang begitu jauh dengan kondisi transportasi yang ada ketika itu tentunya
memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai di sana.
Di saat galau tersebut, datanglah seorang teman Sang Residen, Kapiten Liem Koen Tie. Dia adalah pemimpin masyarakat Tionghoa yang ada di Madiun. Kapiten Liem Koen Tie menawarkan untuk mencoba menyembuhkan penyakit istri Residen Belanda dengan ramuan obat tradisional yang didapat dari kumpulan resep obat Ma Zu Thien Shang Shen Mu melalui metode Djiam Sie dan Pak Pwee, semacam metode penyembuhan melalui spiritual dengan bantuan sepasang bandul serta bilah bambu. Alhasil, istri Residen Belanda bisa sembuh.
Oleh
karenanya sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih Sang Residen Belanda,
kemudian beliau bersedia memberi kemudahan kepada perhimpunan masyarakat
Tionghoa saat itu untuk mendapatkan tanah di tengah kota seluas kurang lebih
satu hektar guna pembangunan klenteng yang lebih layak.
Setelah
tanah berhasil dibeli, lantas dimulailah pembangunan klenteng tersebut pada
tahun 1887. Dana yang dipakai untuk membangun klenteng ini berasal dari
sumbangan masyarakat Tionghoa yang bermukim di Madiun kala itu. Seperti halnya
dengan klenteng megah lainnya yang ada di Jawa, pengerjaan dilakukan oleh para
arsitek yang didatangkan secara khusus dari Tiongkok, dan memakan waktu sekitar
10 tahun untuk menghasilkan bangunan klenteng yang megah, anggun, dan indah.
Setelah selesai, klenteng ini diberi nama Hwie
Ing Kiong yang secara harafiah memiliki makna “Istana Kesejahteraan.”
Pada peresmian Klenteng Hwie Ing Kiong pada tahun 1897, Sang Residen berkenan mendanai pembuatan tiang-tiang penyangga utama klenteng serta menghibahkan pula sejumlah keramik asli dari Negeri Belanda yang ditempatkan di altar Ma Zu Thien Shang Shen Mu, altar Dewa Gay Chiang Shen Ong, dan altar Dewa Guan Ze Zun Wang.
Seiring
perkembangan zaman, klenteng ini terus diperluas dan dimajukan bangunannya
hingga berbentuk seperti sekarang ini. Di bagian depan dibangun 4 pilar dengan
ukiran naga, dan di belakang didirikan pagoda berlantai empat. Sebelum di
bangun pagoda, di belakang klenteng ini menjadi tempat magersari bagi masyarakat Tionghoa di sana, sehingga tampak kumuh.
Lalu,
di samping kiri dan kanan bangunan utama klenteng ini dibangun gedung untuk
kantor dan sebagai balai pertemuan yang cukup luas. Balai pertemuan tersebut
memberikan pemasukan bagi yayasan pengelola tempat ibadah ini. *** [030214]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar