Desa
Wairterang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Waigete,
Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Topografi ketinggian desa ini
adalah berupa pegunungan, dataran dan pantai, yaitu sekitar 750 meter di atas
permukaan air laut. Berdasarkan keadaan geografis desa, curah hujan rata-rata
mencapai 11,25 mm dengan suhu rata-rata 32° C.
Berdasarkan
data administrasi pemerintahan Desa Wairterang hingga 31 Desember 2011, jumlah
penduduknya adalah 1.937 orang dengan jumlah 495 KK dengan luas wilayah 2.934
hektar. Desa Waiterang terdiri atas tiga dusun, yaitu Dusun Watubala, Dusun
Waihekang, dan Dusun Wodong. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian dalam
pertanian, utamanya perkebunan dan petani ladang atau tegalan.
Jarak
tempuh Desa Wairterang ke ibu kota Kecamatan Waigete yaitu sekitar 4 kilometer.
Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Sikka adalah sekitar 28 kilometer.
Secara
adminstratif, Desa Wairterang dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di
sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores. Di sebelah barat berbatasan dengan
Desa Nangatobong. Di sisi
selatan berbatasan dengan Desa Natakoli,
Kecamatan Mapitara, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Runut.
Dalam
Profil Desa Wairterang, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, diceriterakan bahwa
pada zaman dahulu kala ada tiga bersaudara, yaitu Keso, Kuit dan Bore
Dopeng. Mereka berasal dari Nelle, sekitar Kota Maumere. Mereka bertiga
berangkat ke arah timur Kota Maumere dan ketika perjalanan mereka sudah sekitar
32 kilometer, mereka menemukan jalan buntu karena ada lautan menghadang atau
dengan kata lain waktu itu Pulau Flores panjangnya dari barat ke timur hanya
sampai di Desa Wairterang yang sekarang ini. Laut menghadang mulai dari pantai
Wairterang sekarang ke arah selatan sampai di Pantai Rung. Solusi yang ditempuh
waktu itu adalah dengan membuat ritus adat, yaitu potong ayam jantan yang
bernama Toka lain. Namun ritus ini sangat tidak berhasil.
Karena
menunggu terlalu lama dan mereka kehabisan air maka ketiga bersaudara tersebut
berusaha untuk mencari air dengan ritus yang dibuat internal dan rahasia.
Ketiganya memanggil air lalu karena airnya datang terlalu lama mereka melangkah
sekitar 25 meter ke arah barat dan duduk istirahat untuk menunggu datangnya
air. Pada saat itulah bebatuan dan wadas pecah dan keluarlah air dari
dalam pecahan wadas dan lempengan batu di dua tempat sekaligus yaitu di tempat
pertama yaitu tempat ketiga bersaudara memanggil air (wair topo) dan tempat mereka menunggu
air (wair bui).
Setelah
mereka menikmati air untuk melepaskan dahaga maka mereka mulai memikirkan
bagaimana caranya agar mereka dapat melanjutkan perjalanan. Akhirnya Keso dan
Kuit sepakat membunuh adik mereka yang bernama Bore Dopeng dalam ritual adat supaya
tanah terbelah dan dasar laut terangkat keatas membentuk daratan. Mereka
menyatakan dengan kalimat adat bahwa dengan membunuh adik mereka maka “Odi nian naha
bitak, tana naha boga. Nian bitak ganu pigang, tana lalang ganu bera. Ba lau
nan ngera lau main”, “Tana bitak nian boga, ba lau dadi nuhan Wawi, reta nan
makor nora maran” (Biar bagaimanapun tanah harus pecah
seperti piring dan bumi terbelah seperti timah, sebagian daratan hanyut keluar
membentuk Pulau Babi dan sebagian ke mari menjadi daratan menyatu dengan
Daratan Wairterang).
Bukti alam
yang memperkuat cerita rakyat ini adalah terdapatnya aneka karang laut yang
sudah mati yang ditemukan di perbukitan atau dataran tinggi sekitar timur
Wairterang ke arah timur yang menyebar mulai dari pantai utara sampai ke pantai
selatan. Selain itu, adanya tipe relief yang berbentuk bukit melintang panjang
dengan dinding kiri kanan menukik terjal seperti patahan lempeng tanah yang
tersisa dan karena ketinggiannya maka jika kita berada di atas lempengan tanah tersebut
maka kita hanya melihat lautan yang berada di sisi kiri dan kanan kita.
Masyarakat
sekitar lokasi Wairterang tetap menami tempat ini adalah Wair Topo-Wair Bui sampai ketika penjajahan Jepang masuk dan
berusaha menggunakan kedua mata air ini dengan memasang pipa parlon menyerupai
pancuran kecil atau dalam bahasa setempat disebut Wair Terang maka masyarakat dalam keseharian menyebutnya
Wairterang.
Pada zama
dahulu, kurang lebih pada abad ke-19, dilakukan kegiatan pembukaan jalan Trans
Flores yang dimulai dari Labuan Bajo menuju Larantuka. Semua laki-laki dewasa
dan sudah kena pajak, dipaksa untuk kerja Rodi (kerja paksa), ketika pekerjaan
jalan sudah sampai di kampung Wodong (kampung tertua di Desa Wairterang), para
pekerja terpaksa bermalam dan tinggal menetap untuk sementara waktu di sana,
pada saat itu kampung Wodong mengalami kekurangan air minum bersih, dan
kebetulan di sekitar lokasi tempat tinggal para pekerja, terdapat salah satu
mata air yang berada tepat di atas perbukitan, karena lokasi mata air berada di
atas perbukitan dan daerahnya agak terjal maka para pekerja memasang terang
(pancuran) yang terbuat dari bilah batang pinang dan ditarik ke daerah yang
lebih rendah. Dalam kesehariannya masyarakat kampung Wodong menggunakan air
pancuran tersebut sebagai tempat untuk mengambil air minum, mencuci, mandi, dan
lain-lain. Dan dari sinilah masyarakat memberi nama Wairterang
yang dalam bahasa daerah Sikka, Wair artinya air, dan Terang artinya pancuran.
Nama
Wairterang kemudian disepakati dalam musyawarah LKMD bersama Tokoh Masyarakat,
sebagai nama desa Persiapan (tahun 1997). Dan pada tahun 2000, desa Persiapan
Wairterang dikukuhkan menjadi Desa Definitif dengan Surat Keputusan (SK) Bupati
Sikka atas persetujuan DPRD Sikka. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar