Area
perhentian kereta api di Stasiun Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat,
telah lama berubah menjadi lapangan bola voli. Hanya stasiun tua dan terlantar
yang menunjukkan kawasan itu pernah dilintasi jaringan kereta api. Sebagian
besar rel di kawasan itu telah terkubur tanah dan tertutup perumahan.
Pemerintah
kolonial Belanda tentu menggunakan perhitungan matang ketika membangun jaringan
rel kereta api hingga ke Cijulang sekitar 1911-1914. Daerah itu sangat jauh
dari perkotaan, sekitar 82 kilometer dari Kota Banjar ke arah selatan menuju
Pantai Pangandaran. Dari Pangandaran masih terus ke arah barat menyusuri
Samudera Indonesia sepanjang 22 kilometer.
Untuk
menjangkau Cijulang perlu perjuangan karena harus melintasi gunung, lembah, dan
sungai dari Kota Banjar. Tidak heran, saat membangun jaringan rel kereta api
menuju Cijulang, pemerintah kolonial Belanda membangun empat terowongan
menembus bukit, yakni Terowongan Philip sepanjang 283 meter. Terowongan Hendrik
(105 meter), Terowongan Juliana (127,4 meter) dan yang terpanjang Terowongan
Wilhelmina (1.116 meter). Semua terowongan menggunakan nama keluarga Kerajaan
Belanda.
Selain
itu, pemerintah kolonial Belanda juga membangun tujuh jembatan panjang untuk
menghubungkan lembah yang masing-masing memiliki desain dan keunikan
tersendiri. Sayang, jembatan-jembatan itu sebagian besar sudah rusak karena
besi bajanya dijarah dan dipreteli.
Penjarahan
terjadi ketika jalur kereta api Banjar-Pangandaran-Cijulang ditutup tahun 1982.
Penutupan jalur tersebut juga menyebabkan stasiun kereta api yang terdapat pada
lintasan Banjar-Cijulang telantar, termasuk Stasiun Cijulang.
“Padahal,
jujur saja, masyarakat di sini masih mendambakan kereta api Banjar-Cijulang.
Kami rindu mendengar suara peluit kereta api melintasi kawasan ini,” kata
Rohati (53), pemilik warung di pinggir bangunan tua Stasiun Cijulang.
Rohati
menetap di Cijulang sejak tahun 1976. Ayahnya, Wahyo (78), juga pernah bekerja
sebagai karyawan di Stasiun Cijulang. “Setelah Stasiun Cijulang ditutup, Bapak
pulang ke Ciamis,” kata Rohati.
Warga
lainnya, Solikhin (54) punya kenangan manis bersama ayahnya, Hadari
(1928-1996), yang dulu bekerja sebagai petugas wesel (percabangan jalur kereta
api) di Stasiun Cijulang. “Jadwal kereta api selalu tepat sehingga bisa
dijadikan patokan waktu oleh warga,” kata Solikhin.
Solikhin
mengenang terakhir kali menumpang kereta api dari Stasiun Cijulang sampai
Stasiun Pangandaran tahun 1980-an. Seingat Solikhin, jadwal keberangkatan
kereta api dari Cijulang itu empat kali, yakni sekitar pukul 05.00, pukul
08.00, pukul 12.00, dan pukul 16.00.
“Sore
hari, ada kereta api yang datang dan menginap untuk diberangkatkan keesokan
harinya,” kenang Solikhin.
Tanpa “spoor badug”
Stasiun
akhir kerap ditandai dengan keberadaan spoor
badug atau sarana hambatan pada rel guna menghentikan atau menghalangi laju
kereta api. Di Stasiun Cijulang, meskipun merupakan stasiun terakhir di
lintasan Banjar-Cijulang, tidak ada spoor
badug.
“Tanpa
spoor badug terbuka kemungkinan,
jalur kereta api di Stasiun Cijulang akan terus dilanjutkan,” kata Deden
Suprayitno, Koordinator Wilayah Bandung untuk Indonesian Railways Preservation
Society (IRPS).
Jika
dilanjutkan, kemungkinan jalur kereta api dari Cijulang akan tersambung dengan
jalur kereta api Garut-Cikajang yang berada di selatan Jawa Barat. Tinggal
menghubungkan Cikajang-Cijulang, maka jalur kereta api lintas selatan Jawa
Barat sudah bisa beroperasi.
Boleh
jadi, karena krisis ekonomi dunia pada 1930-an, pembangunan lintasan kereta api
selatan Jawa Barat terhenti. Apalagi yang membangun lintasan kereta api di
Jabar selatan itu perusahaan Staatsspoorwegen
(SS) milik pemerintah kolonial Belanda.
Pembangunan
jalur kereta api di selatan Jabar juga membutuhkan biaya mahal karena
topografinya yang berbukit-bukit. Berbeda dengan jalur utara Jawa yang relative
datar. Hanya potensi Jabar selatan, seperti karet, the, kina, kopi dan berbagai
tanaman lainnya yang membuat pemerintah kolonial Belanda mau membangun jaringan
rel kereta api.
Kebutuhan masyarakat
Rohati
dan Solikhin menghadirkan realita kebutuhan masyarakat akan angkutan missal
kereta api seperti yang dulu pernah ada. Penutupan jalur kereta api di wilayah
Jawa Barat sebagian besar terjadi pada 1982, masa terjadinya letusan Gunung
Galunggung.
Penutupan
jalur kereta api itu sebetulnya bersifat sementara. Akan tetapi, sampai
sekarang tidak pernah ada kepastian tentang pembukaan kembali jalur-jalur mati
itu.
Direktur
Utama PT Kereta Api Indonesia /KAI (Persero), Ignasius Jonan mengungkapkan, orientasi
pengembangan perkeretaapian mengacu kebutuhan masyarakat. Namun, prioritas
pengembangan sejauh ini bertumpu pada dua hal, yaitu modernisasi pelayanan dan
menjaga kultur pelayanan kereta api yang sedang aktif berjalan. “Jalur-jalur
kereta api yang mati menjadi aset dan tanggung jawab PT KAI. Saya juga
berharap, jalur-jalur mati itu bisa hidup kembali,” Kata Jonan, Kamis (10/4).
Seperti
Rohati dan Solikhin, masyarakat hanya bisa berharap dan menanti kembali
hidupnya jalur-jalur mati itu. Jika tidak dihidupkan, Stasiun Cijulang Cuma
tinggal kenangan. [NAWA TUNGGAL DAN TRY HARIJONO]
Sumber: KOMPAS Edisi Selasa, 15 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar