Di
mana tepatnya bangunan tiga toko berarsitektur China nan megah dan legendaries
yang kini menjadi nama jalan, yaitu Jalan Toko Tiga, di Roa Malaka, Tambora,
Jakarta Barat? Lalu, di mana toko tembakau merangkap rumah milik Letnan Oey
Thay, ayah Oey Tambahsia? Tambahsia dikenal sebagai Casanova China di Batavia
di awal abad ke-19.
Lokasi
ketiga toko itu tepatnya di Jalan Toko Tiga nomor 28-30, dan 32. Namun, kini
jejak kemegahan ketiga bangunan itu sudah sirna. Aroma wangi tembakau pun tak
tercium lagi seperti pada tahun 1830-an.
Kala
itu, di tepian jalan ini berderet toko dan gudang tembakau terbaik dari seluruh
Nusantara, terutama tembakau asal Temanggung, Jawa Tengah. Namun, menurut Anton
Wisnu Sudewo (64), pemilik salah satu toko mesin jahit dan mesin obras terbesar
di Jalan Toko Tiga, sejak awal 1970-an, kawasan ini berubah menjadi deretan
toko mesin jahit dan mesin obras yang memanjang sampai di Jalan Perniagaan Raya
(dulu bernama Jalan Pa Tek Kwan).
Lebih dua juta gulden
Tentang
Oey Thay, awalnya dia adalah pedagang tembakau asal Pekalongan, Jawa Tengah.
Kala itu, berdagang tembakau sangat menguntungkan sebab hampir seluruh penduduk
Nusantara, termasuk para penghuni Batavia, menyirih dengan tembakau.
Satu
dari empat anaknya kemudian menikah dengan putri seorang bupati Pekalongan.
Posisi Oey Thay sebagai pengusaha tembakau pun kian kuat. Apalagi, setealah ia
ditunjuk pemerintah Hindia Belanda sebagai letnan bagi orang-orang Tionghoa.
Kala itu, posisi letnan merupakan pembantu kapitan yang memimpin setiap kampung
etnis.
Ketika
Oey Thay meninggal, ia mewariskan harta senilai lebih dari dua juta gulden.
Harta sebanyak itu disebut-sebut bisa menghidupi sampai keturunannya yang
ketujuh. Tapi, belum lagi sampai ke keturunannya yang kedua, salah seorang
putranya, Oey Tambahsia, nyaris menghabiskannya.
Sejak
remaja, seperti ditulis dalam buku Batavia
1740 (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010), Tambahsia yang berparas tampan
itu sudah dekat dengan kehidupan malam, pesta, perempuan, candu, dan
kereta-kereta kuda. Hidupnya berakhir di tiang gantungan setelah dinyatakan
terlibat pembunuhan terhadap seorang perempuan.
Era Butterfly
Meredupnya
usaha konglomerat Oey di Toko Tiga membuat banyak deretan toko dan gudang
tembakau tutup. Di tengah kelesuan bisnis, mulai bermunculan usaha jasa
menjahit yang diiringi tumbuhnya toko-toko mesin jahit.
Ketika
itulah, pada 1978 Anton yang kala itu berusia 23 tahun membuka toko mesin jahit
setelah beberapa tahun bekerja di usaha impor mesin jahit keluarga besarnya.
Awalnya,
setiap bulan ia hanya mampu menjual 20 mesin jahit “kaki” merek Butterfly
buatan Shanghai, Tiongkok, dengan harga setiap mesin Rp 12.500. Tapi, saat booming tahun 1995, tokonya mampu
menjual 1.000 unit dengan harga setiap mesin, Rp 200.000.
“Kala
itu, pesanan sampai dua kali lipat, tapi toko saya hanya mampu memenuhi
permintaan separuh. Itu sudah maksimal karena toko saya baru tutup pukul
24.00,” ucap Anton.
Booming Butterfly itu menandai
bangkitnya usaha konfeksi di Tanah Air, terutama Jakarta. Jasa menjahit yang
awalnya hanya bermunculan di sekitar Toko Tiga berubah menjadi jasa konfeksi
yang meluas sampai hampir ke seluruh Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, hingga
kini.
Pada
1997 kembali terjadi booming industri garmen. Industri konfeksi terdesak,
sementara industri garmen meluas dari Jakarta sampai Tangerang.
“Kami
pun menjadi importer mesin jahit dan mesin obras berkomputer untuk melayani
industri garmen yang tiga tahun terakhir ini sudah pindah ke Jawa Tengah,”
ungkap Anton.
Usaha
tokonya menyuplai mesin jahit dan mesin obras ke lingkungan usaha konfeksi,
antara lain di kawasan Kecamatan Tambora, ia hentikan.
Toko-toko
mesin jahit dan mesin obras di kawasan Toko Tiga pun tumbuh menjamur mengambil
alih pelanggan Obor dengan melayani kebutuhan para pemilik usaha konfeksi.
Menurut
pantaun pada Rabu (19/3), belasan toko mesin jahit, mesin obras, toko penjual
suku cadang, dan bengkel tampak sibuk melayani puluhan pelanggan.
Salah
seorang pengusaha garmen di Kecamatan Tambora, Yupiter, yang dihubungi terpisah
mengamini kisah Anton. Kini, sejumlah pengusaha di Tambora sudah beralih ke
industri garmen, sementara sebagian lain masih di area usaha konfeksi.
Yupiter
menambahkan, toko mesin jahit, mesin obras, suku cadang, dan bengkel yang ada
di Toko Tiga kini lebih banyak melayani pelanggan di luar lingkungan Tambora.
“Dulu
memang iya, tapi sekarang usaha konfeksi dan industri garmen Tambora, toko, dan
bengkel juga menjamur lebih banyak di Jalan Jembatan Lima, Jembatan Besi, Jalan
Kerendang, dan Jalan Persima. Lokasinya memang tidak populer karena lebih
banyak melayani pelanggan Tambora,” ujar Yupiter. (WINDORO ADI)
Sumber: KOMPAS Edisi 20 Maret 2014 hal. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar