Semenjak
Sumatera Timur dibuka perkebunan oleh pemerintah Hindia Belanda, Medan menjadi
kota yang multietnis lantaran banyaknya sejumlah suku yang ada di Nusantara
maupun Mancanegara kala itu berdatangan untuk mengadu nasibnya di tanah-tanah
perkebunan tersebut.
Dari
berbagai etnis yang ada, maka muncullah keberagamaan dari bentuk fisik, sistem
religi, hukum, arsitektur, makanan dan keseniannya.
Namun
dari sekian keberagaman tersebut, yang paling terlihat keunikan dan
keberagamannya adalah dari segi arsitektur. Hal itu dapat diamati dari tempat
ibadah yang tersebar di seluruh Kota Medan. Salah satunya adalah Gereja
Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel.
Gereja
ini terletak di Jalan Dipnegoro No. 25 – 27 Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan
Medan Polonia, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Lokasi bangunan gereja
berada di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara.
GPIB
Immanuel merupakan bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI). Teori gereja ini
didasarkan pada ajaran reformasi dari Yohanes Calvin, seorang reformator
Perancis yang belakangan pindah ke Jenewa dan memimpin gereja di sana.
Dalam
memenuhi salah satu semboyannya dalam menjadikan Nusantara sebagai daerah
koloni, yaitu glory melalui penyebaran
agama, pemerintah Hindia Belanda yang berada di Nusantara meminta kepada Kerajaan
Belanda untuk mengirimkan sejumlah pendeta ke Nusantara. Selain pekabaran
Injil, pengutusan ini juga untuk memelihara kerohanian para saudagar, pegawai,
dan militer Belanda. Lalu, timbullah ide untuk membangunan sebuah gereja di
seluruh Nusantara, termasuk Medan.
Pada 21 Oktober 1921 dilakukan pembangunan sebuah gereja di Medan dengan menempati sebuah lahan kebun tembakau. Setelah selesai, gereja tersebut dikenal dengan Indische Kerk atau Staatskerk. Bangunan ini menjadi tempat peribadatan bagi komunitas Belanda yang asli dari Negeri Belanda maupun keturunan Belanda yang ada di Medan yang dulunya berasal dari Ambon dan sekitarnya (kini dikenal dengan istilah Indonesia Bagian Timur). Maka, kala itu oleh masyarakat setempat, gereja ini dikenal dengan nama “Gereja Ambon”.
Pada
masa pendudukan Jepang (1942-1945), gereja ini sempat digunakan sebagai gudang
perlengkapan bagi pasukannya. Namun, ketika Indonesia sudah merdeka, gereja ini
dikembalikan fungsinya menjadi rumah peribadatan oleh Pemerintah Kota (Pemko)
Medan kala itu.
Pada
tahun 1959, Pemko Medan akhirnya menyerahkan bangunan gereja tersebut kepada
GPIB, dan sejak itu gereja ini pun beralih nama menjadi GPIB Immanuel hingga
sekarang.
GPIB
Immanuel ini merupakan gereja tertua yang berada di Kota Medan. Arsitektur
bangunannya yang bergaya renaissance
masih dipertahankan. Desain interior yang masih dipenuhi material dengan gaya
klasik masih menghiasi di dalam bangunan gereja tersebut, seperti altar, mimbar
khotbah, kursi jemaat maupu gantungan lampu pada langit-langit.
Selain
itu, gereja ini memiliki kubah di bagian menaranya yang membedakan desainnya
dengan gereja-gereja lain di Medan. Di bagian menara yang menjulang sekitar 20
meter ini dipasang jam dan sebuah lonceng buatan Belanda tahun 1922. Pada masa
itu, kalau jarum jam menunjukkan jam dua belas siang, bandul pada lonceng
tersebut akan langsung berdentang secara otomatis dan sekaligus memecah
keheningan Kota Medan hingga sejauh 3 kilometer.
Bangunan
gereja yang mampu menampung 300 jemaat ini, masih mempesona bagi siapapun yang
melintas di lokasi tersebut. Bangunan tua yang sarat akan nilai historis ini juga
telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) yang senantiasa harus
dijaga kelestariannya, serta juga menjadi salah satu tujuan dari wisata religi
yang memamerkan bangunan bersejarahnya dengan sebutan Gereja Lama. *** [140314]
Kepustakaan:
Nora
Asteria, Bing Bedjo Tanudjaja dan Baskoro Suryo, Perancangan Buku Wisata
Arsitektur Bangunan Religi Sebagai Aset Kota Medan, dalam hasil laporan
penelitian di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain, Universitas
Kristen Petra, Surabaya
http://www.gpib.org/tentang-gpib/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar