The Story of Indonesian Heritage

Hotel La Tiban

Hotel La Tiban merupakan salah satu hotel yang memiliki nuansa etnik yang kental dengan halaman yang luas dan asri. Halaman depan memiliki aneka tanaman perdu di beberapa pot dengan rerimbunan pohon aur cendani dan dua pohon mangga yang cukup besar. Halaman tengah ditengarai dengan sejumlah tanaman perdu yang berwarna hijau dengan diselingi tanaman kayu putih dan satu pohon mangga besar yang berada di tengah-tengahnya, sedangkan halaman samping memiliki koleksi beberapa tanaman perdu dengan didampingi tanaman aur juga serta di tengah-tengahnya terdapat tiga pohon mangga besar yang berusia lebih dari lima puluh tahunan.


Hotel La Tiban mempunyai 24 kamar tidur dengan fasilitas tempat tidur yang nyaman dan teras untuk bersantai. Empat kamar di antaranya merupakan kamar VIP di bangunan utama, delapan kamar deluxe yang mengitari dan menghadap ke bangunan utama, serta dua belas kamar standar yang berada di samping atau di depan gedung pertemuan besar. Selain itu, hotel ini memiliki fasilitas meeting room yang representatif, yaitu satu meeting room dengan kapasitas 150 orang, dan dua meeting room dengan kapasitas masing-masing dua puluh lima orang.


Hotel ini terletak di Jalan K.H. Ahmad Dahlan No. 62 Kelurahan Nologaten, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi hotel ini berada sekitar 700 meter sebelah timur Pasar Songgolangit (dulu dikenal dengan Pasar Legi).
Hotel ini memang baru didirikan pada tahun 2002 namun bangun yang ditempati merupakan bangunan tua yang telah berusia di atas lima puluh tahun lebih. Hotel yang masih memiliki bentuk asli ini merupakan salah satu bangunan heritage yang ada di Ponorogo. Dulu, bangunan ini adalah rumah milik H.M. Baedhowie, saudagar batik terkemuka di Ponorogo (batikkerij), yang kemudian atas inisiatif putra-putrinya peninggalan rumah tersebut dikembangkan menjadi sebuah hotel.


Berdasarkan catatan sejarah yang ada, batik masuk ke Ponorogo sejak abad ke-15 ketika  Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari menikah dengan salah satu putri Kraton Surakarta. Pada saat itu juga kebudayaan Kraton Surakarta dibawa ke Ponorogo, termasuk di antaranya batik. Daerah perbatikan lama di Pononogo awalnya berada di daerah Kauman, yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Pada waktu itu, bahan-bahan yang digunakan dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan, seperti pohon tom, mengkudu, dan kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putih juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong.


Namun pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah Perang Dunia I yang dibawa oleh seorang Tionghoa bernama Kwee Seng dari Banyumas. Sekitar tahun 1900-1930an merupakan era dimulainya industri batik di Ponorogo.  Dahulu kejayaan sentra industri batik Ponorogo berpusat pada Kelurahan Nologaten, Kelurahan Kertosari dan Kelurahan Cokromenggalan.
Hotel ini dinamakan La Tiban semata-mata untuk mengabadikan daerah di mana hotel tersebut berdiri. Konon, daerah rumah H.M. Baedhowie ini masuk dalam lingkungan La Tiban sehingga semula jalan yang berada di depan hotel tersebut juga dikenal sebagai Jalan La Tiban, kemudian menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan hingga kini. *** [120414]
Share:

3 komentar:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami