Secara
adiministratif, Masjid Muttaqien terletak di Jalan Letjend Suprapto Sukowati
No. 122 Dusun Kauman, Desa Ngunut, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo,
Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini berada di jalan yang menghubungkan Ponorogo –
Magetan.
Masjid
ini tidak terlalu besar, akan tetapi memiliki kisah yang menarik. Konon, masjid
ini didirikan pada 1359 H atau 1940 M oleh H. Abdul Manani bersamaan dengan
berdirinya pondok pesantren (ponpes) yang ada di sebelah masjid tersebut. Masyarakat
setempat menyebutnya dengan ponpes Kauman, disesuaikan dengan keberadaan ponpes
tersebut.
Awalnya,
ponpes tersebut hanya sekadar tempat mengaji bagi masyarakat sekitar, namun
lambat laun berkembang menjadi sebuah ponpes yang sederhana, Begitu pula,
dengan masjidnya. Mulanya tidak seluas seperti sekarang ini. Kala itu, hanya
berukuran 8 meter x 8 meter saja, yang sekarang masih dipertahankan bentuk
bangunannya pada ruang utama masjid tersebut. Kemudian diperluas sesuai dengan
jumlah jamaahnya yang makin berkembang dengan menambah bangunan teras di muka
ruang utama.
Ruang utama masjid ini ditopang oleh empat buah tiang kayu atau soko guru di bagian bawahnya terdapat umpak semen yang membalut keempat soko guru yang tinggi umpaknya sekitar seperempat dari ketinggian soko guru tersebut. Bentuk ruang utama ini mirip dengan ruang utama pada masjid-masjid bersejarah di Pulau Jawa, sepert Masjid Agung Surakarta namun ukurannya kecil.
Menurut
H. Burhanuddin, salah seorang putra dari pendiri masjid tersebut, ponpes dan
masjid ini pernah mengalami pasang surut. Pernah ditinggalkan jamaahnya karena “dicurigai”
oleh birokrasi Orde Baru (Orba). Segala aktivitasnya senantiasa dimonitor dan
terkadang mengalami penetrasi, dan klimaksnya ponpesnya mengalami kolaps jamaah
atau ditinggalkan. Begitu pula, masjidnya juga mengalami hal yang sama tatkala
di dinding pembatas antara teras menuju ruang utama dipasangi lambang
Muhammadiyah di bagian roster atas yang berfungsi sebagai sirkulasi udara.
Kemudian
seiring berjalannya sang waktu, masjid tersebut akhirnya pada berdatangan lagi.
Lalu ponpesnya juga dihidupkan kembali dengan menerima para pemondok perempuan
yang sudah tak berayah ibu atau dalam bahasa religusnya, yatim piatu. Seiring
itu pula, masjid ini pernah mengalami renovasi pada 1419 H atau 1998. Memasuki
ruang utama masjid ini terasa kita memasuki bangunan tradisional Jawa yang
sejuk dan teduh. *** [110414]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar