Berdasarkan
catatan sejarah yang ada, pada kurun waktu antara tahun 1888 hingga tahun 1912,
perkembangan yang cukup drastis terjadi di kawasan Kesawan dengan tersedianya
kelengkapan fasilitas kota. Perubahan yang cukup drastis tersebut adalah
jalan-jalan telah dibuka dan jalur kereta api telah ditambah oleh pemerintah
kolonial Belanda. Areal hutan telah berubah menjadi perkampungan seperti
Perkampungan Dalam dan Kampung Sawahan.
Kawasan
Kesawan sampai saat ini masih menyisakan bangunan tua yang sebagian besar masih
difungsikan untuk kegiatan ekonomi, seperti kantor, warung, restoran, butik,
toko olah raga, dan gallery. Salah
satunya adalah rumah besar (mansion)
Tjong A Fie.
Rumah
Tjong A Fie terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani No.105 Kelurahan Kesawan,
Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Lokasi bangunan ini
berada di samping Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera
Utara.
Rumah
Tjong A Fie merupakan bangunan dengan perpaduan gaya tiga kultur, yaitu
Tionghoa, Melayu, dan Eropa. Unsur Tionghoa ditandai dengan adanya sejumlah
ukiran kayu pada dinding, pintu masuk dan bentuk atap yang khas bangunan rumah
di daratan Tiongkok. Sedangkan, unsur Melayu tampak pada warna kuning menyala
yang menjadi warna dominan pada rumah serta bentuk jendela yang khas Melayu,
dan unsur Eropanya bisa dilihat dari fasad bangunan dengan pilar-pilar besar
menjulang berlanggam art deco.
Rumah terkesan unik dan mempesona ini dibangun pada 1895 dan selesai pada 1900. Rumah ini acapkali dikenal dengan mansion atau rumah besar karena memang rumah ini berdiri di atas lahan seluas 6.000 m² di mana luas bangunannya sekitar 5.000 m² yang terdiri atas dua lantai serta memiliki 40 ruang.
Desain
rumah Tjong A Fie mirip dengan rumah pamannya yang ada di Pulau Penang,
Malaysia, bernama Cheong Fatt Tze. Tjong A Fie datang dari Guangdong, Tiongkok,
untuk menyusul saudaranya, Tjong Yong Hian, yang sudah terlebih dahulu berada
di Medan. Pada abad ke-18, bersama dengan saudaranya tersebut, Tjong A Fie
berhasil membangun usaha perkebunan yang sukses. Ketika itu, jumlah pekerja
telah mencapai 10.000 karyawan.
Selain
sukses dalam dunia usaha, ia juga dikenal sebagai sosok yang dermawan kepada
semua orang tanpa pandang bulu, baik suku maupun agamanya. Selama hidupnya, ia
telah banyak menyumbangkan hartanya untuk kepentingan sosial dengan membangun
sarana-sarana untuk kepentingan umum seperti jembatan, klenteng, tempat
pemakaman, dan rumah sakit. Kedekatan dan rasa hormatnya kepada Sultan Deli,
Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah, Tjong A Fie membantu mendirikan Masjid Raya
Medan dengan menyumbangkan sepertiga dari seluruh biaya pembangunannya. Ia
berjasa juga dalam menyumbangkan menara lonceng untuk gedung Balai Kota Medan
yang lama.
Tjong
A Fie juga dikenal pandai bergaul, tidak hanya dengan orang Tionghoa namun juga
dengan orang dari suku lain, seperti Melayu, Arab, India dan orang Belanda.
Kepiawaiannya inilah yang mengantarkan Tjong A Fie kemudian menjadi Majoor der Chineezen menggantikan saudaranya
yang telah meninggal pada tahun 1911.
Selain
itu, dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie juga diangkat menjadi anggota gemeenteraad (dewan Kota) dan cultuurraad (dewan kebudayaan) selain
menjabat sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tiongkok.
Tjong A Fie juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Colonial Institute di Amsterdam yang saat ini bernama Koninklijk Instituut voor de Tropen.
Empat
bulan sebelum meninggal dunia, Tjong A Fie telah membuat surat wasiat di
hadapan notaris Dirk Johan Facquin den Grave. Isinya
adalah mewariskan seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera
kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada saat ia meninggal dunia.
Yayasan yang berkedudukan di Medan diminta untuk melakukan lima hal. Tiga
diantaranya untuk memberikan bantuan keuangan kepada kaum muda yang berbakat
dan berkelakuan baik serta ingin menyelesaikan pendidikannya, tanpa membedakan
kebangsaan. Yayasan ini juga harus membantu mereka yang tidak mampu bekerja
dengan baik karena cacat tubuh, buta, atau menderita penyakit berat. Juga
yayasan diharapkan membantu para korban bencana alam tanpa memandang kebangsaan
atau etnisnya.
Bisa
dibayangkan betapa megah dan kayanya si pemilik rumah kala itu. Pada pertengahan
2009, bangunan tersebut mengalami alih fungsi. Kini tidak hanya sebagai rumah
kediaman bagi keturunan Tjong A Fie, akan tetapi juga menjadi bangunan cagar
budaya (BCB) yang berfungsi sebagai objek wisata museum yang dibuka untuk umum
, atau semacam Tjong A Fie Memorial
Institute. Hal ini bertujuan agar BCB ini dapat dilestarikan, mengingat
biaya untuk merawat bangunan ini tidaklah sedikit. *** [140314]
Kepustakaan:
Damardjati Kun Marjanto, Ernayanti, Robby Ardiwijaya,
2013,
Permasalahan dan Upaya Pelestarian Kawasan Kota Lama di Medan, dalam
Jurnal Kebudayaan Vol. 8 No. 1 Tahun 2013
Yuanita F.D. Sidabutar, 2007, Pemanfaatan Keberadaan Bangunan
Bersejarah Dalam Mendukung Aktivitas Pengembangan Wilayah di Kota Medan (Studi
Kasus: Kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka), dalam Wahana Hijau Jurnal
Perencanaan & Pengembangan Wilayah Vol. 3 No. 1, Agustus 2007
http://id.wikipedia.org/wiki/Tjong_A_Fie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar