Menapaktilasi
jalur semasa SMA dulu sambil memboncengkan dua anak wedok memang mengasyikkan. Kebetulan lokasi SMA penulis, yaitu SMA
N 3 Surakarta, berada di daerah toponim yang sarat dengan historis. Sebut saja
Kampung Jagalan. Kampung Jagalan berasal dari kata jagal, yaitu tempat pemotongan hewan atau tukang penyembelih hewan.
Permintaan
terhadap daging yang terus meningkat untuk konsumsi di kalangan Kraton
Surakarta maupun masyarakat Solo kala itu, menggerakan keinginan Sri Susuhunan Paku
Buwono X atau biasa dikenal dengan sebutan PB X, mendirikan rumah pemotongan
hewan (RPH) di daerah pinggiran Solo pada waktu itu yang berdekatan dengan kerkhof (kuburan orang Belanda). Dulu,
daerah tersebut masih sangatlah sepi dan jauh dari pemukiman penduduk. Namun,
setelah dibangun abattoir (tempat
pemotongan hewan) oleh PB X pada tahun 1903, daerah tersebut kian berkembang.
Sejumlah jagal atau tukang potong
hewan dimukimkan di sekitar abattoir
oleh pihak Kraton Surakarta. Dari sinilah nama Kampung Jagalan berasal, karena
memang nama Jagalan menjadi identitas kampung tempat tinggal abdi dalem kraton,
khususnya abadi dalem jagal.
Sesuai
yang tertera di tembok depan bangunan RPH Jagalan, dulunya tempat pemotongan
hewan ini diberi nama Pembelehan
Radjakaja. Dalam bahasa Jawa, pembelehan
berarti penyembelihan sedangkan pengertian radjakaja
(dalam ejaan lama) menunjuk pada pengertian hewan ternak, seperti sapi, kerbau,
maupun kambing. Jadi, pembelehan
radjakaja maksudnya adalah tempat penyembelihan hewan ternak, atau dalam
istilah sekarang disebut RPH.
RPH
Jagalan terletak di Jalan Jagalan No. 26 Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres,
Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi RPH ini berada di pertemuan Jalan
Suryo dan Jalan Jagalan.
RPH adalah rumah pemotongan hewan yang terdiri dari kompleks bangunan yang digunakan untuk menyembelih ternak. Rumah potong berfungsi sebagai untuk menyembelih ternak sesuai dengan peraturan yang ada. Untuk ternak yang halal (misalnya sapi, kambing dan kerbau) dilakukan pemotongan secara Islami berdasarkan fatwa MUI, sedangkan pemotongan ternak yang haram (misalnya babi) dilakukan dengan pemotongan yang dianggap paling mudah cara pemotongannya. Dalam hal ini, penyembelihan hewan ternak harus mempertahankan banyak sekali prinsip, yaitu dari cara pemotongan hingga sampai cara mengurangi kerusakan karkas (mikrobia, bakteri, dan virus).
Konon,
sewaktu masih menjadi milik Kraton Surakarta, RPH Jagalan memiliki sekitar tiga
puluhan orang jagal. Akan tetapi, setelah di bawah naungan Dinas Pertanian Kota
Surakarta, hanya terdapat lima orang jagal
saja.
Bangunan
berarsitektur kolonial peninggalan PB X ini tergolong cukup luas lahan dan
bangunannya. Bangunan yang berada di depan menghadap ke barat diperuntukkan
bagi hewan ternak, seperti sapi, kerbau maupun kambing. Sedangkan, khusus untuk
babi, bangunannya terpisah. Bangunannya terletak di belakang bangunan utama dan
dipisahkan oleh sungai kecil serta menghadap ke utara.
Dilihat
dari usia bangunannya, RPH Jagalan layak menyandang sebagai heritage yang ada di Kota Solo. Sehingga
memerlukan penanganan dan perawatan yang ekstra untuk bangunan kuno tersebut
dengan alasan pelestarian.
Sayangnya,
ketika penulis berkunjung ke sana dalam suasana lebaran, tepat di tembok pagar
utama RPH tertempel sebuah pengumuman dengan kop Dinas Pertanian Pemerintah
Kota Surakarta bernomor 524.51/442.2 yang menyatakan penjualan aset bangunan
RPH Dinas Pertanian Kota Surakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota
Surakarta Nomor: 032/9/1/2014 Tanggal 22 Januari 2014 tentang Penghapusan
Barang Milik Daerah berupa Sebagian Bangunan RPH, Dinas Pertanian Kota
Surakarta akan melaksanakan lelang bangunan Gedung Rumah Potong Hewan.
Pengumuman
ini tentunya kurang mengenakan bagi yang menggemari masalah cagar budaya atau heritage yang ada di Kota Solo. Karena
di dalam benak mereka, pastilah akan terjadi perubahan bentuk dari bangunan RPH
Jagalan.
Alangkah
baiknya, bila tidak diadakan penjualan sebagian aset bangunan RPH tapi
dimunculkan ide kreatif sesuai “roh” Kota Solo saat ini, “Solo the Past is Solo the Future.” Misalnya, bangunan yang dianggap
tidak berfungsi lagi bisa dimanfaatkan sebagai museum atau galeri yang
berhubungan dengan masalah riwayat RPH, atau bisa juga dijadikan sebagai tempat
festival kuliner berbahan dasar dari hewan ternak yang disembelih di RPH
Jagalan. Mengingat RPH Jagalan ini sebenarnya bisa dijadikan menjadi paket
lokasi wisata yang menyatu dengan pengembangan Stasiun Jebres sebagai kawasan heritage. *** [270714]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar