Suku
Sahu, pada mulanya bernama Ji’o Japung Malamo kemudian berganti nama menjadi
Sahu. Perubahan nama ini, konon berhubungan dengan Sultan Ternate. Pada waktu
itu, salah seorang sangaji (kepala pemerintahan wilayah) dipanggil menghadap
Sultan Ternate. Ketika bertemu dengan sultan, Sultan Ternate sedang makan
sahur, dan beliau pun dengan menggunakan bahasa Ternate “Hara kane si jou sahur, jadi kane suku ngana si golo ngana jiko sahu.” (Karena
kau sangaji datang pada waktu sultan sedang makan sahur maka kemudian hari ini
kau akan mendirikan daerahmu dan namailah sahu). Sejak saat itulah, daerah yang
didiami berubah menjadi Sahu, dan masyarakat yang mendiami wilayah tersebut
dikenal dengan Suku Sahu.
Pada
masa kesultanan Ternate sesudah Baab Mansyur Malamo, suku Sahu terdiri atas dua
kelompok masyarakat adat, yaitu Tala’i dan Padasua (Ji’o Tala’i re Padasua). Tala’i,
bermula ketika Sultan Ternate menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut,
mereka menyambut dan berdatangan ke hadapan sultan. Tala’i, artinya berhadapan
(dengan sultan). Sedangkan, mereka yang tidak terpengaruh dan tetap
mempertahankan kepercayaan nenek moyangnya dikenal dengan Padasua. Padasua, artinya
dipanggil tapi tidak menyahut.
Meskipun mereka berbeda sebutan, mereka tetap patuh terhadap sultan, dan kedua kelompok masyarakat ini memiliki kesamaan budaya dalam wujud benda-benda hasil karya manusia. Salah satunya adalah arsitektur khas masyarakat setempat yang dinamakan sasadu (rumah adat) Golo.
Rumah
Adat Sasadu Golo ini terletak di Desa Golo, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten
Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Sama halnya dengan Rumah Adat Sasadu di
Kampung Idam Gammalamo, rumah adat ini juga sudah dibangun ratusan tahun lalu
secara turun temurun oleh nenek moyang masyarakat Sahu. Fungsi Rumah Adat
Sasadu Golo ini pun tidak berbeda, yaitu sebagai tempat berkumpul dan
bermusyawarah, juga tempat dilaksanakannya upacara dan ritual adat.
Bentuk
konstruksi Rumah Adat Sasadu Golo ini hampir sama dengan konstruksi Rumah Adat
Sasadu Idam Gammalamo, hanya saja rumah adat ini memiliki ukuran yang lebih
kecil dan sebagian atapnya telah menggunakan semen. Tiang-tiang kayu Gufasa di
Rumah Adat Sasadu Golo ini telah diwarnai merah dan kuning serta pada salah
satu tiang melintang penyangga atapnya terdapat hiasan ukiran naga dan bunga.
Kini,
Rumah Adat Sasadu Golo telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi
oleh UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar