Pada
awal perkembangannya, Kota Malang masih berupa kota kabupaten kecil di bawah
Karesidenan Pasuruan. Seiring dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah Hindia
Belanda berupa Undang-undang Desentralisasi, Malang memperoleh status Gemeente (Kotamadya) pada tanggal 1
April 1914 berdasarkan Staadsblad No.
297. Pemisahan pemerintahan kota dan kabupaten tersebut mendasari munculnya Bouwplan-II, yaitu membentuk daerah
pusat pemerintahan baru. Daerah ini kemudian terkenal dengan sebutan daerah
Alun-Alun Bunder, karena intinya berupa lapangan terbuka berbentuk bulat (bunder – dalam bahasa Jawa). Di tengah
Alun-Alun Bunder tersebut dibuat kolam mancur.
Orang
Belanda pun menganggap Alun-Alun Bunder ini tempat yang menawan. Oleh orang
Belanda, Alun-Alun Bunder ini diberi nama Jan Pieterzoen Coen, nama seorang
gubernur jenderal yang pernah memerintah di Hindia Belanda, tetapi lebih sering
disebut sebagai Coenplein saja.
Sedangkan, lidah penduduk pribumi menyebutnya dengan Alun-Alun Bunder.
Alun-alun
ini terletak di Jalan Tugu, Kelurahan Kidul Dalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang,
Provinsi Jawa Timur. Lokasi alun-alun tepat berada di depan Balai Kota Malang,
dan tidak begitu jauh dari SMAN 1 Malang.
Dipilihnya
Coenplein oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk dijadikan pusat kota sekaligus pusat pemerintahan yang baru
karena Alun-Alun lama yang berbentuk persegi itu tidak lagi dianggap sebagai
pusat kota karena dipandang masih berbau Indisch
oleh sebagian besar orang Belanda. Ketika itu, kesan Indisch kurang mendapat tempat di hati orang Belanda pada umumnya.
Coenplein, yang mengadopsi sistem penataan grid (yang menyerupai jejala) adalah sistem yang luwes karena bisa dikembangkan ke segala arah. Coenplein dikelilingi oleh jalan melingkar yang bercabang banyak menuju kawasan permukiman di sekitarnya. Jalan yang mengarah ke utara dinamakan Idenburgstraat (sekarang Jalan Suropati). Pada sisi barat laut taman, sebuah jalan menghubungkan Coenplein dengan Van Oudthoormstraat (sekarang Jalan Brawijaya) yang bertemu dengan Hospitaalstraat (sekarang Jalan Rumah Sakit). Sedangkan di sisi timur adalah Riebeeckstraat (sekarang Jalan Kahuripan) yang menuju Kajoetanganstraat (sekarang Jalan Basuki Rahmat). Tidak jauh dari situ Speelmanstraat (sekarang Jalan Majapahit) menuju ke arah barat daya. Sisi timur terdapat Daendels Boulevard (sekarang Jalan Kertanegara) menuju Stasiun Kota Baru Malang dan Van Imhoffstraat (sekarang Jalan Gajah Mada) mengarah ke tenggara.
Semua yang telah dibangun di Coenplein, baik bentuk taman beserta penataannya maupun sistem sirkulasi lalu lintasnya adalah hasil rancangan ahli tata kota Ir. Herman Thomas Karsten, yang memang diminta untuk membantu Wali Kota Malang kala itu dalam membuat perencanaan dan perluasan kota.
Setelah
Indonesia merdeka, Coenplein ini
mulai berubah fungsinya dari taman yang ditumbuhi aneka bunga yang warna-warni
menjadi alun-alun yang ditengahnya didirikan tugu. Pada 17 Agustus 1946
diletakkan batu pertama sekaligus ditempatkan Oorkonde (prasasti) dalam fondamen pembangunan tugu peringatan
proklamasi kemerdekaan di Malang yang ditandatangani oleh Dulaenowo sebagai
Wakil Gubernur Jawa Timur, Mr. Soenarko sebagai Residen Malang dan AG Soeroto
sebagai ketua panitia pembangunan tugu. Di saat pembangunan tugu mencapai 95 persen
terjadi Clash I yang memaksa pembangunan
dihentikan. Keyakinan yang berkembang di kalangan masyarakat saat itu selama
tugu peringatan proklamasi masih berdiri, maka perjuangan arek-arek Malang
tidak dapat dipatahkan. Keyakinan itu justru berubah petaka sesaat setelah
tentara Belanda mendengarnya, tugu tersebut dihancurkan pada tanggal 23 Desember 1948 hingga tinggal pondasinya
saja.
Setelah
perang usai, kedaulatan kembali ke pemerintahan Kota Malang. Kemudian dibentuk
kepanitiaan untuk membangun kembali tugu yang hancur. Begitu pembangunannya
selesai, tugu tersebut diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Mei
1953 dengan nama Tugu Nasional, dan daerah tersebut akhirnya dikenal dengan
nama Alun-Alun Tugu. *** [260415]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar