Manggarai
adalah sebuah wilayah di ujung barat Pulau Flores yang memiliki banyak spot destinasi wisata menarik. Di
Manggarai, Anda bisa mengunjungi Kapel Ruteng yang memiliki arsitektur khas
dengan dua menara yang menjulang tinggi. Lalu, di atas pegunungan berketinggian
1200 meter di atas permukaan laut di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur,
bertengger sebuah kampung kuno bernama Wae Rebo. Kampung kecil dengan 7 rumah
adat berbentuk kerucut, yang telah dihuni turun temurun selama 19 generasi.
Bagi
Anda yang memiliki hobi mendaki gunung, Anda bisa mendaki Gunung Kanaka.
Sementara itu, bagi Anda yang hobi olahraga air bisa menikmati aneka macam
olahraga air di Pantai Sengari atau menikmati ombak Pantai Cepi Watu yang
sangat cocok untuk surfing.
Bukan
hanya bangunan heritage, pantai dan
gunung saja yang ada di sana, namun wisata gua pun ada di Manggarai. Salah satu
gua yang menjadi andalan pariwisata Manggarai yaitu Gua Liang Bua yang ada di
Dusun Rampasasa, Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Liang
Bua merupakan salah satu situs gua yang terletak di daerah perbukitan kapur di
wilayah Manggarai. Nama “Liang Bua” oleh masyarakat setempat diartikan “gua
yang dingin”. Terletak ± 14 kilometer di sebelah utara Kota Ruteng, Ibukota
Kabupaten Manggarai, pada ordinat 08° 31ˈ 50.4″ Lintang Selatan dan 120°
26ˈ
36.9″
Bujur Timur, dengan ketinggian ± 500 meter di atas permukaan laut. Gua
memiliki ukuran maksimum: panjang ± 50 meter dan lebar ±
40 meter serta tinggi atap ± 25 meter. Terletak sekitar 200 meter
di sebelah barat laut pertemuan dua buah sungai (dalam bahasa Manggarai sungai
= wae), yaitu Wae Racang dan Wae
Mulu.
Dilihat dari kondisi fisiknya, gua ini memang layak sebagai tempat tinggal di masa lalu. Permukaan lantai gua luas dan relatif datar, sirkulasi udara sangat baik karena mulut gua lebar dan atap tinggi, serta mendapat sinar matahari yang cukup sepanjang musim karena mulut gua menghadap ke arah timur laut. Di samping itu, keletakannya yang dekat dengan daerah aliran sungai, memberi peluang yang besar bagi manusia penghuninya dalam memperoleh beberapa jenis sumber daya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Saat
itu sebagian Kepulauan Nusantara yang hanya dibatasi oleh laut-laut yang
dangkal seolah akan tergabung dengan benua Asia untuk wilayah barat atau
Australia untuk wilayah timur. Kepulauan tersebut hanya dihubungkan oleh
jembatan-jembatan darat yang sempit.
Pada
saat inilah terjadi proses migrasi manusia dan fauna secara dua arah, baik
untuk wilayah Indonesia Bagian Timur maupun Indonesia Bagian Barat. Proses
bergabungnya pulau-pulau dengan daratan Asia atau Australia ternyata tidak
pernah terjadi di Pulau Flores.
Tidak
pernah tergabungnya Pulau Flores dengan pulau-pulau yang lain menyebabkan para
ahli berkeyakinan bahwa Flores tidak pernah didatangi dan dihuni oleh manusia
sebelum manusia modern yang sudah memiliki kemampuan membuat perahu.
Pandangan
di atas tampaknya perlu ditinjau kembali ketika pada tahun 1950-1960 an Theodor
Verhoeven – Pastor Belanda yang mengajar di Seminari St. Yohanes Berchmans Mataloko,
Kabupaten Ngada, NTT – menemukan artefak batu dalam konteks dengan
tulang-tulang Stegodon di Cekungan Soa, Flores, yang diperkirakan berumur
sekitar 750 ribu tahun.
Dan pandangan Verhoeven tersebut ditentang dan tidak diterima oleh berbagai kalangan karena dianggap Verhoeven tidak memiliki latar belakang yang cukup di bidang arkeologi maupun geologi. Kisah ini akhirnya mengantarkan Verhoeven dalam penemuan manusia purba di Liang Bua.
Menurut
Benyamin – juru pelihara Situs Liang Bua yang dikukuhkan oleh BPCB Bali –
sebelum ditemukan pada tahun 2001, situs Liang Bua ini dulunya digunakan
sebagai lokasi sekolah bagi anak-anak Flores pada akhir tahun 1950-an dengan
pengajar Dr. Theodor Verhoeven, SVD, seorang pastor sekaligus antropolog. Atas
perintah Romo Verhoeven pula, situs Liang Bua digali untuk pertama kalinya pada
tahun 1965 tapi tidak dilanjutkan. Pada ekskavakasi (penggalian) pertama ini,
ditemukan kerangka ikan purba, burung, komodo serta enam kerangka manusia.
Pada
tahun 1976 dilakukan penggalian yang kedua oleh Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (Puslit Arkenas) yang diketuai Raden Panji Soejono. Ekskavasi kedua
ini menemukan tengkorak dan kerangka manusia dewasa. Selain itu, juga ditemukan
kuburan dan beragam artefak yang diperkirakan telah berumur 10.000 tahun.
Penggalian tersebut dilakukan hingga tahun 1989 saja dan kemudian dihentikan
karena kekurangan dana.
Kesulitan
dana yang dialami Puslit Arkenas akhirnya terobati setelah ada tawaran
kerjasama dari University of New England, Australia, pada tahun 2001. Proyek
kerja sama ini ditunjuk Michael john Morwood dari pihak Australia, dan Raden
Panji Soejono bertidak sebagai Ketua Tim Puslit Arkenas. Pada September 2003,
Tim gabungan ini akhirnya menemukan kerangka manusia di Liang Bua. Temuan kerangka
manusia ini akhirnya diberi nama Homo
Floresiensis (Manusia Flores). Manusia purba yang ditemukan di Situs Liang
Bua ini berjenis kelamin perempuan, berumur antara 25-30 tahun. Tinggi badan ±
106 cm, dan kapasitas volume otak 380 cc. Jenis manusia purba ini telah tinggal
di Liang Bua paling tidak sejak 10.000 – 17.000 tahun yang lalu. Ditemukan
bersama-sama dengan alat-alat batu dan tulang-tulang gajah purba kerdil (pigmy Stegodon), komodo, kura-kura,
burung besar (giant marabou stork)
dan tikus besar.
Ciri
Homo Floresiensis yang ditemukan ini
akhirnya manusia purba dari Flores tersebut acapkali dijuluki Hobbit (manusia bertubuh kecil). Di
kedalaman 595 cm inilah para ahli arkeologi menemukan hobbit, sebutan bagi si
‘mungil’ dari Liang Bua yang menghebohkan dunia arkeologi.
Secara
umum tinggalan arkeologis di Situs Liang Bua dibedakan ke dalam 2 kelompok
besar masa, yakni Kala Pleistosen dan Holosen. Peralihan dari Pleistosen ke
Holosen ditandai dengan adanya aktivitas gunung api yang intensif hingga mengendapkan
abu vulkanik tebal di dalam gua.
Hingga
sekarang Homo Florensiensis dan
konteksnya masih menjadi topik bahasan dan perdebatan para ilmuwan di tingkat
dunia. Apapun kondisinya satu hal yang pasti, salah satu situs arkeologi
Indonesia kembali menjadi perhatian dunia dan memainkan peranan penting dalam
rangka menelusuri jejak-jejak kehidupan di masa lalu. Terutama terkait dengan
upaya pemahaman tentang evolusi manusia. ***
[230915]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar