Berkunjung
ke Ende, buat sebagian orang terasa belum lengkap tanpa mengunjungi Taman
Nasional Kelimutu (Kelimutu National Park).
Sebuah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.
Taman
Nasional Kelimutu mencakup luas wilayah sekitar 5.356,50 hektar yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 679/Kpts-II/1997 Tanggal 10
Oktober 1997. Taman nasional ini merupakan yang terkecil dari enam taman
nasional di kawasan Bali dan Nusa Tenggara. Secara administratif lokasinya
berada di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru, dan
Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Untuk
menuju Taman Nasional Kelimutu tidaklah sulit karena jalan utama menuju kawasan
tersebut berada di tepi jalan arteri Ende-Maumere. Bisa menggunakan bis jurusan
Maumere tapi harus berjalan lumayan jauh menuju ke pintu masuk Taman Nasional
Kelimutu. Jika rombongannya terdiri dari 6-8 orang bisa carter mobil ke sana
dengan biaya sekitar 750 ribu dari Kota Ende, tapi kami memilih menggunakan
jasa ojek dengan biaya hanya 100 ribu sekitar 6 jam pulang pergi. Selain irit,
juga bisa menikmati perjalanan dengan seksama karena pada waktu kami ke sana,
cuaca cukup bersahabat. Perjalanan dengan ojek dari Hotel Safari tempat kami
menginap sampai ke areal parkir kawasan Taman Nasional Kelimutu, memerlukan
waktu sekitar dua jam.
Sekitar
satu kilometer lebih sebelum sampai ke areal parkir, kami harus membayar karcis
masuk pengunjung Taman Nasional Kelimutu sebesar 5 ribu dan pengojeknya pun
harus membayar karcis masuk juga. Setelah itu, kami akan melalui jalan hotmix seukuran 4 meter menanjak dan
berkelok-kelok sampai areal parkir. Dalam perjalanan ini, kami melintasi
kawasan agrowisata. Di kiri-kanan jalan tersebut, kami bisa menyaksikan aneka
tanaman yang ada di kawasan argowisata yang membentuk hutan tersebut, seperti
pohon ampupu (Eucalyptus urophylla),
cemara (Casuarina junghuniana), aro (Wendlandia paniculata), poni atau pakis
gunung (Cyatea sp), dan lain-lain.
Ada sekitar 250 tanaman dan 3 tanaman endemik. Semua itu terdiri dari 79 jenis
pohon dan 15 jenis tanaman bawah.
Tanpa terasa perjalanan yang berkelok-kelok tersebut, sampailah kami di areal parkir. Kami harus berpisah sementara dengan tukang ojek, karena kedua tukang ojek ingin beristirahan dan menunggu di areal parkir sampai minum kopi. Sementara, rasa penasaran akan keingintahuan berikutnya kami terpaksa melanjutkan perjalanan terus hingga ke atas dengan jalan kaki, karena memang kendaraan tidak diizinkan naik ke atas kecuali para petugas rescue atau Tim SAR dari Taman Nasional Kelimutu.
Dalam
perjalanan ini, kami akan melintasi arboretum
seluas 4,5 hektar. Dalam bahasa Latin, arboretum
berasal dari kata arbor yang berarti
pohon, dan retum yang berarti tempat.
Sedangkan arboretum menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai tempat berbagai pohon
ditanam dan dikembangkbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan.
Arboretum memiliki fungsi sebagai tempat
koleksi keanekaragaman jenis flora Taman Nasional Kelimutu. Dari yang dilalui
tersebut, kami melihat tanaman mboa (Melastoma
malabatricum), poni atau pakis gunung (Cyatea
sp), aro (Wendlandia paniculata), bongo (Ficus
Fistulosa), singgi (Litsea resinosa),
gari (Schefflera lucida), dan mera
meke (Pittosporum molucanum).
Setelah
melintasi arboretum, kami menjumpai
banyak pohon cemara (Casuarina
Junghuniana). Orang setempat menyebutnya dengan tanaman bu, dan beberapa tanaman endemik
Kelimutu, yaitu uta onga (Begonia kelimutuensis),
turuwara (Rhondodenron renschianum),
dan arengoni (Vaccinium varingiaefolium).
Selain keanekaragaman flora, di Taman Nasional Kelimutu juga banyak terdapat
jenis fauna yang mendiaminya, seperti kelelawar (Cynopterus nusatenggara), tikus lawo atau teu lawo (Rattus hainaldi),
tikus besar Flores atau deke (Papagomys armandvillei), cacurut munggis
rumah (Suncus murinus), musang luwak
atau beku (Paradoxurus hermaphroditus), babi hutan (Sus scrofa), ular (Trimeresurus
albolabris), elang coklat (Accipiter
fasciatus wallacii), perkutut loreng (Geopeli
striata maugeus), burung bondol atau hijau dada merah ( Erythrura hyperythra obscura), burung
Kancilan Flores (Pachycephala nudigula
nudigula Hartert), ayam hutan hijau (Gallus
varius), burung perkici pelangi (Trichoglossus
haematodus weberi), dan anis hutan (Zoothera
andromedae). Selain itu, di Taman Nasional Kelimutu juga terdapat burung
Garugiwa (Monarcha sacerdotum).
Burung ini memiliki suara merdu mengiringi matahari terbit di sekitar danau.
Burung yang tergolong endemik Flores ini sekarang sudah sangat langka,
masyarakat setempat menyakini burung tersebut sebagai burung arwah. Burung
tersebut mempunyai ciri-ciri: kepalanya berwarna hitam, paruh warna hitam
dengan garis putih, gelambir kulit warna merah, dan menggelembung saat
berkicau, bulu hitam di bawah gelambir, bulu bagian sayap punggung dada dan
ekor berwarna hijau kekuningan pada bagian atas, kaki berwarna hitam serta bulu
sayap dan ekor bagian bawah berwarna hitam.
Perjalanan kaki sepanjang 3 sampai 4 kilometer tersebut, akhirnya sampai juga kami puncak gunung yang ditandai dengan adanya tugu Soekarno sebagai monumen. Di sekitar tugu tersebut dipasang pagar tralis, agar supaya keselematan pengunjung terjaga karena di atas kecepatan angin cukup kencang. Sehingga bila tidak hati-hati, pengunjung bisa tergelicir masuk ke dalam danau-danau yang terdapat di kawasan puncak tersebut. Inilah Gunung Kelimutu! Kelimutu merupakan gabungan dari kata “keli” yang berarti gunung, dan kata “mutu” yang berarti mendidih.
Gunung
Kelimutu yang berada di ketinggian 1.640 meter di atas permukaan laut (dpl),
tumbuh di dalam Kaldera Sokoria atau Tubusa bersama dengan Gunung Kelido (1.641
m dpl) dan Gunung Kelibara (1.630 m dpl). Ketiganya membangun kompleks yang
bersambungan kecuali Gunung Kelibara yang terpisah oleh lembah dan kaldera
Sokoria. Letak puncak-puncak gunung api ini terjadi karena perpindahan titik
erupsi melalui sebuah celah yang menjurus lebih kurang utara-selatan.
Dari
ketiga gunung tersebut, Gunung Kelimutu merupakan kerucut tertua dan masih
memperlihatkan aktivitas sampai sekarang yang merupakan kelanjutan kegiatan
gunung api tua Sokoria.
Tubuh
Gunung Kelimutu dibangun oleh batuan piroklastika (bom, lapili, scoria, pasta, abu, awan panas dan
lahar) serta lelehan lava. Permukaan lerengnya berkembang ke arah timur,
tenggara dan barat daya dengan topografi kasar sedang dibangun oleh aliran
piroklastika dan lahar serta lelehan lava andesit, penyebaran lereng barat
selatan berelief sedang, dibangun oleh kegiatan Kelimutu muda tapi terhalang
oleh Gunung Kelibara, sedangkan lereng barat dan utara memperlihatkan morfologi
berelief kasar.
Pada
puncak Kelimutu terdapat 3 buah sisa kawah yang mencerminkan perpindahan puncak
erupsi. Ketiga sisa kawah tersebut kini berupa danau kawah dengan warna air
yang berlainan dan mempunyai ukuran diameter yang bervariasi, bernama Tiwu Ata Polo (danau merah), Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai (danau hijau)
dan Tiwu Ata Mbupu (danau biru). Tiwu Ata Polo atau Ata Polo Lake dianggap sebagai tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang
yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai atau Nuwa Muri Ko’o Fai Lake merupakan tempat
berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Sedangkan, Tiwu Ata Mbupu atau Ata Mbupu Lake adalah tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang
telah meninggal.
Itulah
kenapa Danau Kelimutu kerap dikenal sebagai Danau Tiga Warna, artinya ketiga
danau yang memiliki warna yang berbeda-beda tersebut berada di kawasan yang
dikenal dengan Gunung Kelimutu meski sebenarnya ketiga danau tersebut memiliki
nama sendiri-sendiri.
Sejarah Gunung Kelimutu memang kurang dikenal, namun menurut keterangan penduduk setempat gunung dengan ketiga danau berwarna ini telah ada sepanjang sejarah di mana dinding di antara 2 danau di bagian timur dahulunya bisa dilalui orang, tetapi sekarang dinding semakin menipis dan hampir lenyap akibat peristiwa vulkanik berupa letusan dan gempa.
Berdasarkan
catatan sejarah, Gunung Kelimutu meletus dahsyat pada tahun 1830 dengan
mengeluarkan lava hitam Watukali, kemudian meletus kembali pada tahun 1869-1870
disertai aliran lahar dan membuat suasana gelap gulita di sekitarnya di mana
hujan abu dan lontaran batu hingga mencapai Desa Pemo.
Gunung
Kelimutu pertama kali ditemukan oleh B.C.Ch.M.M. van Suchtelen, seorang controleur onderafdeling Ende dan
sekaligus peneliti, pada tahun 1915. Namun, Gunung Kelimutu baru dikenal oleh
masyarakat luas ketika salah seorang pastor bernama Y. Bouman, SVD menuliskan
kekagumannya pada Gunung Kelimutu yang menyimpan pesona Danau Tiga Warna dalam
sebuah tulisannya pada tahun 1929. Sejak itulah Gunung Kelimutu dikenal dunia
dengan indahnya Danau Tiga Warna yang memikat hati pengunjung. Mereka
berkunjung untuk menikmati keindahan Danau Tiga Warna yang oleh masyarakat
setempat dianggap angker.
Ketika
dalam masa pengasingan di Ende, Flores, dari tahun 1934 sampai dengan tahun
1938, Soekarno atau Bung Karno pernah mengunjungi Gunung Kelimutu.
Keterpesonaan akan Gunung Kelimutu dan situasi masyarakat setempat yang
menganggapnya masih angker mengilhami Bung Karno dalam menulis naskah drama
yang diberi judul Rahasia Kelimutu. Naskah yang terdiri dari 7 babak ini
akhirnya dipentaskan di Gedung Imaculata, milik Katedral Ende. Pementasan ini
dilakukan oleh Toneel Club Kelimutu
yang didirikan oleh Bung Karno bersama sahabat-sahabatnya di Ende, dan
distrudarai langsung oleh Bung Karno. Naskah drama Rahasia Kelimutu ini
mengisahkan kepecayaan masyarakat akan hal-hal tahyul, yang dinilai menghambat
kemajuan dan merintangi langkah menuju modernitas. Tentunya dalam 7 babak
tersebut diselipkan drama yang mengisahkan keindahan dan keelokan Gunung
Kelimutu dengan Danau Tiga Warna tersebut.
Ketiga
danau kawah selalu mengalami perubahan warna air. Perubahan warna air kawah
erat kaitannya dengan aktivitas vulkanik dan perubahannya tidak mempunyai pola
yang jelas tergantung kegiatan magmatiknya.
Kalangan
ilmuwan dan peneliti memberikan informasi bahwa kandungan kimia berupa garam
besi dan sulfat, mineral lainnya serta tekanan gas aktivitas vulkanik dan sinar
matahari adalah faktor penyebab perubahan warna air. Tercatat beberapa peneliti
ketiga danau tersebut, seperti B.C.Ch.M.M. van Suchtelen (1915), Ch.C.F.M. Le
Roux (1916), H. Horneman (1922), G.L.L Kemmerling (1929), O. Jaag (1938), Ch.
E. Stehn (1940), M.N. van Padang (1951), G.A. de Neve (1952), N.I. Adnawidjaja
(1958), J. Matahelumual (1960), E. Abdul Patah Amidjad (1961), dan K.
Kusumadinata.
Peneliti-peneliti
tersebut yang mencatat adanya perubahan warna air yang terjadi pada ketiga
danau kawah yang terdapat di Gunung Kelimutu. Di Kelimutu Documentary Board terpampang beberapa kronologis perubahan
warna yang pernah terjadi pada ketiga danau tersebut. Jadi, jangan heran bila
antara kunjungan Anda dengan temen Anda di lain waktu akan menghasilkan gambar
foto yang menunjukkan perbedaan warna airnya. *** [250915]
Kepustakaan:
Kelimutu Documentary Board
www.tnkelimutu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar