Pulang
dari arisan keluarga di daerah Manggung, Boyolali, saya bersama istri dan anak wedok yang kecil, menyempatkan menengok
salah satu bangunan yang masuk daftar cagar budaya yang ada di Kota Surakarta,
atau biasa disebut dengan Kota Solo yang berada di daerah Nayu, Nusukan. Bangunan
cagar budaya tersebut bernama Astana Oetara. Astana Oetara ini terletak di
Jalan Astana Utara, Kampung Nayu, Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Kota
Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi makam ini berada di depan Kantor
Pegadaian Nusukan.
Sebelum
mengetahui riwayatnya, alangkah baiknya kita mengenal dulu apa arti Astana
Oetara tersebut. Kata Astana Oetara
berasal dari serapan bahasa Jawa, yang terdiri dari kata astana dan oetara. Astana berarti makam atau kuburan, dan oetara atau lor berarti utara. Jadi, secara harfiah Astana Oetara bermakna pemakaman yang berada di sebelah utara.
Astana
Oetara, atau lebih dikenal dengan Pasarean
Nayu ini adalah sebuah kompleks pemakaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Aryo (KGPAA) Mangkunegoro VI beserta para kerabatnya, garwa padmi (permaisuri), garwo
ampil (selir) dan para putranya. Sebelum menjadi makam, areal ini dulunya
berupa sebuah bukit kecil sehingga ada juga yang menyebutnya dengan Pasarean Giri Yasa. Nama ini juga
menggunakan bahasa Jawa, pasarean berasal dari kata dasar sare yang artinya tidur dan pasarean
berarti tempat tidur panjang alias tempat membaringkan orang yang telah
meninggal atau kuburan/makam. Sedangkan, giri
artinya gunung atau bukit yang menyerupai gunung, dan yasa artinya pembuatan atau dibuat. Jadi, Pasarean Giri Yasa berarti makam yang dibuat atau lokasinya di atas
bukit.
Menurut RM Haryanto, juru kunci makam yang juga buyut Mangkunegoro VI ini, menerangkan bahwa makam ini sudah ada sejak tahun 1928 ketika jenazah Mangkunegoro VI dibaringkan di pemakaman ini. Namun, membentuk kompleknya yang seperti saat ini tentunya berdasarkan tradisi Jawa adalah setelah seribu harinya, berarti selang tiga tahun setelah wafatnya.
Pertanyaan
yang sering muncul adalah kenapa penguasa Pura Mangkunegaran ini tidak
dimakamkan di Astana Girilaya Mangadeg, seperti pada umumnya penguasa
Mangkunegaran yang lainnya? Sang juru kunci akhirnya mengisahkan perjalanan
hidup Mangkunegoro VI.
KGPAA
Mangkunegoro VI lahir pada Jumat Pon, 17 Rejeb Wawu 1785 (13 Maret 1857) dengan
nama Gusti Raden Mas (GRM) Soejitno. Beliau adalah putra keempat Mangkunegoro
IV dengan permaisuri. Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Dhayaningrat
disandangnya saat berusia 17 tahun, yaitu Sabtu Legi, 17 Rejeb Alip 1803 (29
Agustus 1874), dan naik tahta pada Sabtu Legi, 15 Jumadilakir Jimakir 1826 (21
November 1896).
Sebenarnya
beliau tidak berhak atas tahta Pura Mangkunegaran. Tapi karena Mangkunegoro V
meninggal setelah mengalami kecelakaan di Wonogiri pada 2 Oktober 1896 dalam
usia 41 tahun, kekosongan tahta ini dipegang oleh KPA Dhayaningrat, yang tak lain
adalah adik kandung Mangkunegoro V atas persetujuan dan arahan dari ibundanya
Gusti Raden Ayu (G.R.Ay.) Dunuk. Pertimbangannya bukan saja karena putra
mahkota yang sesungguhnya masih kecil tapi juga karena mengemban tugas
menyelamatkan keuangan kerajaan yang terjebak dalam hutang kepada Belanda.
Kebetulan KPA Dhayaningrat piawai dalam bidang ekonomi. Setelah dikukuhkan
sebagai punguasa Mangkunegaran untuk menggantikan kakaknya Mangkunegoro V, KPA
Dhayaningrat menyandang gelar KGPAA Mangkunegoro VI, yang menurut tradisi
kraton seharusnya jatuh kepada putra Mangkunegoro V.
Dalam
memegang tampuk Praja Mangkunegaran selama 19 tahun 8 bulan, beliau berhasil
mengembalikan kebangkrutan ekonomi yang dialami oleh Pura Mangkunegaran pada
masa Mangkunegoro V. Keberhasilannya ini
dilakukan dengan upaya penghematan secara ekonomis di segala bidang dan
ditujukan bagi keluarga serta seluruh Pangreh
Praja Mangkunegaran. Selain itu, beliau juga menarik pajak tanah yang
digunakan Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij (perusahaan kereta api swasta Belanda) hingga ketika kolonial
tidak mampu membayar kereta api jurusan Solo-Surabaya disita sebagai miliknya.
Itu juga menjadi tengara mengenai sikapnya yang anti-Belanda.
Kemudian, beliau juga melakukan perluasan areal perkebunan tebu untuk dua pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produksi gula yang selama ini menjadi primadona Pura Mangkunegaran.
Begitu
putra mahkota telah cukup usia, atas kehendak sendiri beliau turun tahta pada
Selasa Kliwon, 3 Mulud Je 1846 (11 Januari 1916) . Pada saat turun tahta, hasil
dari memimpin Pura Mangkunegaran ini, beliau berhasil meninggalkan efecten (warisan) 10 juta gulden. Jumlah
itu dari upaya penghematannya selama memangku tahta. Setelah itu, beliau ambegawan sebagai Satria Pinandhita di Palmenlaan
(sekarang Jalan Panglima Sudirman), Surabaya, hingga meninggal 24 Juni 1928.
Karena
jasa-jasa yang dilakukan oleh KGPAA Mangkunegoro VI, maka pada saat beliau
meninggal, Pangreh Praja
Mangkunegaran berikutnya, yaitu KGPAA Mangkunegoro VII, yang tak lain adalah
keponakannya sendiri, memberikan tanah seluas 1 hektar untuk mengebumikan jasad
KGPAA Mangkunegoro VI. Karena sebelum meninggal, beliau memang berkeinginan
dimakamkan di daerah yang tak jauh dari Pura atau Istana Mangkunegaran sehingga
dekat dengan kawulo atau rakyatnya.
Pengunjung
yang memasuki kompleks makam ini akan melewati gerbang yang di atasnya terdapat
lengkungan besi berornamen, yang di tengah-tengahnya tertulis Astana Oetara.
Setelah itu, pengunjung akan menjumpai patung anak kecil bergaya Eropa, dan
dibelakangnya ada patung KGPAA Mangkunegoro VI.
Di
sebelah timur kedua patung tersebut terdapat pendopo besar sebagai tempat menerima tamu dan singgah sementara,
sedangkan di sebelah barat patung adalah sebuah masjid. Di sepanjang jalan
utama areal kompleks pemakaman ini begitu rindang dan asri karena berjajar
pohon tanjung yang sudah berumur puluhan tahun menaungi jalan tersebut.
Melanjutkan
langkah, pengunjung akan berjumpa dengan pintu gerbang berwarna kuning dan
hijau yang dihiasi lengkungan pada ketiga pintunya. Pintu gerbang ini merupakan
pintu gerbang untuk masuk ke dalam kompleks makam utama. Setelah masuk,
pengunjung akan menemukan bangunan nisan KGPAA Mangkunegoro VI yang lokasinya
berada di atas dengan ditandai cungkup
yang didominasi warna hijau dengan pelisir kuning. Di situlah, KGPAA
Mangkunegoro VI disemayamkan dengan tenang.
Kini,
kompleks Astana Oetara ini telah ditetapkan Pemerintah Kota Surakarta melalui
Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang Kota Nomor 646/40/I/2014 tentang Penetapa
Bangunan-Bangunan yang Dianggap telah Memenuhi Kriteria sebagai Cagar Budaya
sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, dengan register No. 11/BJS/B.3/44. ***
[030416]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar