Pagi
itu saya pulang dari rumah teman di Sukorejo, Pasuruan, menuju Surabaya.
Memasuki Sidoarjo, tampak asap mengepul laksana membentuk awan. Asap itu
ternyata berasal dari dua cerobong asap milik sebuah pabrik gula yang berada
tepat di jalan besar Sidoarjo. Pabrik Gula tersebut bernama Pabrik Gula Candi
Baru (PG Candi Baru). Pabrik gula ini terletak di Jalan Raya Malang-Surabaya
No. 10 Desa Candi, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur.
Lokasi pabrik gula ini berada di sebelah utara UD Gili Young.
Menurut
sejarahnya, PG Candi Baru ini dibangun pada tahun 1832 oleh keluarga Goen Jing
yang bernama Kapten Tjoa, tapi kemudian dikelola oleh orang Belanda. PG Candi
ini dinyatakan sebagai badan hukum yang legal oleh Pengadilan Negeri Surabaya
melalui Surat Keputusan (SK) Pengadilan Negeri Nomor 122 tanggal 31 Oktober
1991 dengan nama NV Suikerfabriek Tjandi.
Nama ini diperoleh dari lokasi di mana perusahaan itu berada.
Setelah
Perang Dunia (PD) II, PG Candi dikendalikan oleh Perusahaan Perkebunan Negara XXII
(PNP XXII) untuk beberapa tahun, tetapi manajemennya masih tetap ditangani oleh
Kapten Tjoa. Pada periode tersebut, kapasitas giling perusahaan adalah 750 ton
tebu dan menghasilkan produksi gula jenis Superior
Hooft Suiker (SHS).
Menjelang
kedatangan Jepang, pada tahun 1941 pabrik gula ini ditutup, dan baru dibuka
kembali pada tahun 1950. Pada 1962 diadakan Rapat Umum Pemegang Saham di mana
para pemegang saham menyetujui perubahan nama menjadi PT PG Tjandi. Hasil rapat
pemegang saham ini kemudian didaftarkan ke Kementerian Kehakiman kala itu, yang
kemudian terbitlah Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
Y.A.5/122/1 tanggal 14 Oktober 1962 yang menyatakan persetujuannya akan
perubahan nama tersebut.
Setelah adanya perubahan status nama dari Naamloze Vennootschap (NV) menjadi Perseroan Terbatas (PT) ini, beberapa pengusaha berkeinginan membeli saham pabrik gula ini. Pada 1963, H. Wirantono Bakrie membeli beberapa bagian saham perusahaan, kemudian pada 1972 semua saham pabrik gula ini dibeli oleh keluarga H. Wirantono Bakrie, yang terdiri dari H. Wirantono Bakrie, H. Ahmad Badawi Bakrie, dan Dr. H. Faruk Bakrie.
Dalam
meningkatkan kapasitas giling menjadi 1.250 ton tebu per hari, manajemen
melakukan rehabilitasi pada tahun 1975. Pada 1981, kapasitas meningkat menjadi
1.500 ton tebu per hari dengan kualitas Superior
Hooft Suiker (SHS).
Pada
1991, PT PG Candi dikelola oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI), dan
kemudian pada tahun 1992 PT RNI berusaha membeli 55% saham dari H. Wirantono
Bakrie. Di tahun 1993, PT PG Candi berubah nama menjadi PT PG Candi Baru, dan
di tahun tersebut mampu meningkatkan kapasitas gilingnya menjadi 1.800 ton SHS
1-A per hari.
Tahun
1998, kondisi PG Candi Baru mulai memburuk. Enam tahun kemudian pabrik gula ini
didera kerugian yang besarnya Rp 4 miliar hingga Rp 13 miliar per tahun. Hal
ini lantaran ada gangguan jarinagan kabel listrik yang ditanam di bawah tanah
sejak era Hindia Belanda ini, terendam banjir. Kegiatan pabrik pun otomatis
terhenti. Di samping itu juga karena kondisi mesin uap yang menjaditenaga utama
pabrik itu sudah usang, karena dibuat pada tahun 1921. Kemampuan mesin uap
tersebut telah menurun hingga 50 persen.
Melihat
kondisi itu, manajemen RNI mengambil langkah nekat, yaitu membeli seluruh saham
PG Candi Baru yang dikuasai perorangan sehingga kepemilikannya menjadi 98,2
persen di akhir tahun 2004. Langkah ini sempat mengundang kemarahan pemerintah
sebagai pemegang saham RNI, karena saat sembilan pabrik gulanya merugi malah
menambah saham. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyediakan dana Rp 14,1
miliar sebagai dana investasi untuk memperbaiki seluruh pabrik dengan satu
motto: Inovasi atau Mati!
Investasi
yang dilakukan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah tua dan memperbaiki jaringan
listrik bawah tanahnya ini, mulai membuahkan hasil. Efisiensi mesin meningkat
74 persen menjadi 91 persen. Selain itu, untuk pertama kalinya sejak enam
tahun, PG Candi Baru meraup untung sebesar Rp 10, 663 miliar pada akhir tahun
2005.
Adapun
kapasitas giling tebu meningkat dari 1.700 ton tebu per hari menjadi 2.000 ton
tebu per hari. Kemudian, jumlah tebu yang digiling bertambah dari 240.000 ton
menjadi 340.000 ton sepanjang masa giling tahun 2006 sebanyak 174 hari.
Investasi dilanjutkan pada 2006. Kali ini, fokus investasinya diarahkan pada
program zero waste, atau tidak ada
satu limbah pabrik pun yang terbuang.
Produk
utama dari pabrik gula ini adalah Superior
Hoot Suiker (SHS) dan produk sampingannya adalah tetes tebu dan ampas.
Tetes tebu tersebut dijual kepada perusahaan pembuat penyedap rasa, karena
tetes tebu merupakan bahan dasar yang digunakan untuk membuat Mono Sodium Glutamat (MSG). Sedangkan,
ampasnya yang bisa dijadikan bahan baku kertas ini dijual kepada perusahaan
lain yang bergerak dalam produksi kertas. ***
[020815]
Kepustakaan:
Jurnal
Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 8 No.
2, Maret 2014
http://www.bumn.go.id/rni/berita/208/PG.Candi.Baru,.Inovasi.atau.Mati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar