The Story of Indonesian Heritage

Masjid Agung Surakarta

Beberapa daerah di tanah air memiliki riwayat perjalanan pengaruh Islam di daerahnya masing-masing, tak terkecuali dengan Surakarta, atau yang seringkali dikenal dengan Solo. Sebagai bagian dari kota pusakan yang ada di tanah air, Solo juga memiliki bangunan lawas yang menghiasi kotanya termasuk di antaranya adalah bangunan untuk peribadatan umat Islam. Salah satunya adalah Masjid Agung Surakarta. Masjid ini terletak di Jalan K.H. Hasyim Ashari No. 58 Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi masjid ini berada di sebelah barat Alun-alun Lor, atau tepat berada di depan Pasar Klewer.
Masjid Agung ini merupakan masjid Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Masjid Agung adalah suatu bangunan peninggalan purbakala yang pendiriannya berkaitan erat dengan peristiwa pemindahan ibu kota Kerajaan Mataram dari Kartasura ke Desa Sala, yang kemudian bernama Surakarta Hadiningrat. Letak Masjid Agung tersebut tidak jauh dari istana, yaitu di sebelah barat Alun-alun Lor (Utara).
Masjid Agung yang megah ini baru terealisasi pembangunannya pada tahun 1699 J atau 1773 Masehi atas perintah Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) III. Masjid yang merupakan warisan peninggalan kerajaan Dinasti Mataram, selesai pembangunannya secara menyeluruh pada tahun 1768 semasa pemerintahan Sri Susuhunan PB IV (1788 – 1820 M).


Setelah Masjid Agung ini resmi berdiri, perkembangan fisik selanjutnya lebih banyak dilakukan secara bertahap oleh raja-raja di Kasunanan Surakarta. Setelah dilakukan pembangunan oleh PB IV, PB VII (1830-1858) juga melakukan penambahan beberapa ruangan di Masjid Agung, seperti ruang pawestren (1850), serambi (1855), dan pemasangan mustaka dari emas (1856). Selain  PB III, PB IV dan PB VII yang memberikan perhatian besar terhadap keberadaan Masjid Agung ini adalah PB X (1893-1939) dengan menambah beberapa bangunan di antaranya menara dan kulah (tempat wudlu). Menara masjid yang berada di bagian timur laut dibangun pada tahun 1928 dengan mengadopsi gaya arsitektur menara Qutub Minar di New Delhi, India. Denah bangunan menara ini berbentuk segi empat berukuran sisi timur 755 cm, sisi utara 706 cm, sisi barat 705 cm, dan sisi selatan 700 cm (Isman Pratama Nasution, 2004: 36).
Kompleks bangunan seluas 19.180 m² yang dipisahkan oleh lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 m ini, memiliki bangunan-bangunan yang saling membentuk atas keagungan dari masjid ini. Pintu utama masuk ke dalam halaman masjid ini berbentuk gapura. Gapura ini dibangun oleh PB X pada tahun 1908 dengan meniru gaya arsitektur Persia dengan rongga dan tugu atapnya cembung. Di atas pintu gerbang utama terdapat hiasan tempel berbentuk bulat telur dari kayu ukiran yang menggambarkan bulan, binatang, matahari dan bumi sebagai lambang Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang berarti kraton sebagai pemersatu alam. Sedangkan, kata gapura berasal dari bahasa Arab “Ghafuuran” yang artinya Maha Mengampuni. Ampunan ini merupakan sifat yang dimiliki Allah yaitu Ghafuuran, Maha Mengampuni. Sehingga orang yang melewati gapura ini berarti telah diampuni oleh SWT karena telah melakukan shalat.


Usai melewati gapura, pengunjung akan menjumpai dua bangunan berupa pendopo dengan ukuran yang sama. Bangunan tersebut dinamakan pagongan. Pangongan adalah tempat atau bangunan tempat gamelan pada waktu diadakan perayaan Sekaten. Ada dua macam bangunan pagongan yang ada di halaman Masjid Agung, yaitu di sebelah selatan untuk Gamelan Guntur Madu dan di sebelah utara untuk Gamelan Guntur Sari.
Letak pangongan tak hanya di halaman masjid saja, di sebelah utara ruang shalat juga terdapat ruangan yang sama dengan pawestren. Tak jauh dari pagongan ini, dijumpai ruangan kecil yaitu Balai Musyawarah dan Jagaswara. Balai Musyawarah merupakan suatu ruangan yang ada di sebelah utara ruang shalat utara. Balai Musyawarah ini sekarang digunakan untuk ruangan shalat pria, dan juga digunakan untuk para santri putra Masjid Agung sebagai tempat untuk menghafal Al Qur’an. Sedangkan, Jagaswara adalah satu ruangan yang berada di sebelah barat Balai Musyawarah. Ruangan ini hanya dipisahkan oleh dinding penyekat dari Balai Musyawarah. Bangunan ini berbentuk limasan, berfungsi ruangan tempat sound system dan tempat muadzin mengumandangkan adzan.
Sebelum memasuki serambi Masjid Agung dari jalur utama di sebelah timur, pengunjung akan melewati semacam lorong yang menjorok ke depan yang bagian depannya berbentuk kuncung. Bangunan ini dinamakan tratag rambat. Bangunan ini dulu diperuntukkan untuk gerbang masuk raja dan para bangsawan tanpa harus melalui kolam yang ada di sekeliling masjid.


Masuk ke dalam lagi, sampailah pengunjung ke bangunan ruang shalat utama. Bangunan utama ini berbentuk persegi empat dengan ditopang oleh 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab beserta kelengkapan mimbar sebagai tempat khatib pada waktu shalat jumat. Masing-masing saka guru berdiameter 0,57 m, dengan tinggi kurang lebih 16,58 m. Sedangkan saka rawanya berdiameter 0,46 m dengan ketinggian 9,80 m. Keenam belas saka (kolom) di ruang utama Masjid Agung didirikan di atas umpak yang terbuat dari batu andesit. Bagian umpak yang tampak di atas permukaan lantai berbentuk sepermpat bulatan dengan penampang berbentuk lingkaran.
Di atas bangunan shalat utama yang berbentuk joglo ini, terdapat atap yang terbuat dari konstruksi kayu berbentuk tajuk yang terdiri atas tiga tingkat (tajuk tumpang). Antara satu tingkat dengan tingkatan atap lainnya terdapat panil-panil kaca berwarna yang berfungsi sebagai penerangan alami dan kawat untuk mencegah masuknya kelelawar. Tajuk tumpang ini mengadopsi dari atap yang terdapat di Masjid Agung Demak, yang oleh para wali ditafsirkan sebagai pokok-pokok tuntunan Islam, yaitu iman, Islam dan Ihsan. Iman dilambangkan pada atap paling atas, Islam dilambangkan pada atap yang kedua, dan ihsan dilambangkan pada atap yang ketiga.
Di sebelah selatan bangunan utama ini, ada lagi sebuah bangunan yang bernama pawestren. Pawestren adalah ruangan tempat shalat khusus untuk jamaah ibu-ibu (kaum wanita) dalam suatu masjid. Ada tiga pintu yang menghubungkan ruang shalat utama dengan pawestren, dan satu pintu penghubung ke serambi serta satu pintu di sisi selatan untuk menuju ke tempat wudlu wanita.
Dulu, di lingkungan masjid ini juga terdapat istal dan garasi kereta untuk raja ketika shalat jumat dan grebeg mulud. Ada pula bangunan sekolah untuk PGA (Pendidikan Guru Agama) yang didirikan oleh PB X pada tahun 1914. Gedung sekolah ini sekarang dikenal dengan Mambaul Ulum.
Selain itu, di halaman Masjid Agung terdapat pula Tugu Jam Istiwa’ yang berfungsi untuk menentukan waktu sholat berdasarkan paotkan posisi matahari, dan gedang selirang. Gedang selirang ini merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid.
Pada masa lalu Masjid Agung merupakan Masjid Agung Negara. Semua pegawai pada masjid ini merupakan abdi dalem kraton, dengan gelar dari kraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom dan lurah muadzin, Biasanya abdi dalem yang mengurusi masjid tersebut (para kaum) setelah beranak pinak bermukim di sekitar masjid tersebut. Itu sebabnya daerah tersebut dikenal dengan nama Kauman.
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta disebutkan, bahwa tanah dan bangunan Kraton Kasunanan Surakarta berikut segala kelengkapan yang terdapat di dalamnya adalah milik Kasunanan Surakarta yang perlu dilestarikan sebagai peninggalan budaya bangsa (Pasal 1 ayat 1), termasuk dalam pengertian kelengkapan Kraton adalah Masjid Agung dan Alun-alun Kraton (Pasal 1 ayat 2). Sehingga dengan demikian Masjid Agung ini boleh dibilang merupakan bagian cagar budaya Kraton Kasunanan Surakarta yang harus dirawat, dipelihara dan dilestarikan oleh pemerintah. *** [010814]

Kepustakaan:
Ingin, Lilik Budi Santoso. (2008). Karakteristik Bentuk Masjid Kerajaan di Surakarta, Kasus: Masjid Agung Surakarta dan Masjid Al-Wustho Mangkunegaran. Skripsi di FT UMS
Machrus. (2008). Simbol-Simbol Sosial Kebudayaan Jawa, Hindu Dan Islam Yang Dipresentasikan Dalam Artefak Masjid Agung Surakarta. Tesis di Program Pascasarjan UNS
Nasution, Isman Pratama. (2004). Menara Masjid Kuna Indonesia: Suatu Survei dan Studi Kepustakaan. Wacana Vo. 6 No. 1
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami